Sampai saat ini, saya masih terngiang-ngiang dengan perkataan Haes (singkatan nama) tadi malam. Sebenarnya dia juga korban. Korban ulah seseorang yang tinggal jauh di pulau Sumatra sana. Saat dia coba menunjukkan beberapa karyanya yang berupa tulisan-tulisan. Dia dikatain,”Lek cuma nulis ngene, arek teka yo iso.”
Teng. Saya diam. Pikiran saya mulai ngelantur. Ini yang nulis Haes. Kok sampai segitu-ex dikatainnya. Saya tahu sendiri kapasitas seorang Haes seperti apa. Yang jelas bertrap-trap jauh di atas saya yang lugu ini. Lucu. Guoblok. Atau saya salah duga. Saya harap tidak. Karena saya lebih banyak takjubnya ketika denger dia bercerita.
Wah, saya jadi bertanya-tanya. Seperti apa rupa tulisan itu. Kalau-kalau ada dan dibawa, saya ingin sekali membacanya. Maklum, saya sukanya juga iseng-iseng menulis. Buat barometerlah. Saya takutnya, kalau kira-kira tulisan itu jauh begitu elegan dari tulisan saya yang amburadul mirip rambut saya yang kriwul dan jarang disisir. Lalu masih saja dicerca. Lantas bagaimana dengan nasib hasil keisengan saya ini. Bisa berabe.
Hingga pulang, rasa penasaran saya belum terjawab. Si Haes tidak banyak cerita tentang tulisannya. Tapi dari kejadian itu, dia ambil baiknya saja. katanya, ketika orang masih memberikan tanggapan pada tulisan atau apapun yang kita buat, maka masih ada daya pengaruh magisnya. Gitu katanya. Sedikit saya bumbuhi sih. Berarti si Haes ini masih dipandang, entah sebelah mata, atau empat mata. Tapi bukan empat matanya tukul. Ada yang runyam ya. Cari…
Lalu setelah pikir yang agak panjang, lantar polo saya ada di dengkul, saya cuek abis. Saya nulis, ya nulis. Tak peduli urusan orang. Apalagi kata orang. Kalo yang baca bisa nyengir, itu yang saya harapkan. Tapi kalo bisanya manyun, saya sarankan mending segera cari tulisan yang lebih mutuan dikit.
Saya gak dong. Kan orang sudah cukup dibuat pening dengan rutinitasnya. Apalagi dengan kabar berita yang isinya derita melulu. Denger kabar gembira, malah tanggapanya jelek. Kan iya. Ketika anggota dewan kita sibuk mengadakan renovasi dan pambangunan sana-sini. Kan itu menandakan uang kita banyak. Negara kaya. Kaya monyet. Hahaha…*ketawapuas*
Oia, ini alasan saya menyarankan segera cari tulisan yang lebih mutuan. Kan gini, saya punya beberapa teman. Saya tahu betul bagaimana muka mereka satu persatu. Nah, saya tak habis pikir kalo membayangkan muka kawan-kawan saya ini. Lha wong muka gak manyun aja udah pada rusak, apalagi kalu habis baca tulisan saya, mukanya dilipet-lipet kaya tisu toilet. Hwaduh…
Memang ya, tiap polo memilliki isi yang berbeda. Eh, tapi kata orang yang saya anggap bisa nulis, tiap-tiap pembaca berhak datang pada tiap-tiap tulisan, dan kembali dengan diri masing-masing. Itu yang tidak akan pernah saya abaikan. Biasalah, tulisan saya dicerca. Jelek. Yang nulis homo. Tulisan ngawur. Dan apalah.
Tapi, I’m is me. Hehe, minjem istilah yang dipakai temen-temen beberapa lama lalu. Emang enak kok kalo nulis itu dilandasi rasa senang dan kasih humor. Karena tidak ada deadline. Dan juga tidak ada tuntutan harus bagus. Paling mentok ya beberapa orang yang keseret dalam tulisan, jadi mangkel-mangkel sendiri. Ada yang bilang, ”Kenapa saya jadi tampak sangat aneh ya di tulisan ini? (dan bodoh) :D :D :D” Tapi gakpapa. Kan masih ada emoticon ketawanya, berarti tak semanyun yang saya bayangkan.
Saya kepaksa harus ngaku. Saya orangnya suka tidak terimaan. Apalagi kalo sama orang yang saya anggap polonya lebih kecilan. Wah, saya harus melayang-layang di atas angin terus. Maklum, darah muda. Sedikit foya-foya dan busung dada. Kadang kalo tak punya uang, ya jadinya busung lapar.
“Untuk yang sedang sibuk mengejar mimpi,,,jangan lupa jaga kesehatan,, :)” Nah, kalo tanggapannya seperti itu, bisa membunuh saya. Dengan rasa ge er yang berlebihan. Saya langsung klepek-klepek ditimpanya. Saya baca berulang-ulang tulisan saya. Saya teliti dengan cermat. Apa hebatnya. Lha saya nulis itu untuk alibi saya yang sukanya bangun kesiangan.
Mungkin si dia punya pandangan yang beda. Atau jangan-jangan sengaja menjebak saya. Biar saya bener-bener ge er abis. Eits, tapi apa benar dia nulis gitu buat saya. Ah, biar saja. Saya anggap iya. Jarang-jarang saya dapat apresiasi sebaik itu.
Inilah lucunya. Panulis. Pembaca. Jadi kalo saya paksa polo saya untuk mikir, benar apa yang dikatakan pak Sulak. “Tiap-tiap pembaca berhak datang pada tiap-tiap tulisan, dan kembali dengan diri masing-masing.” Itu yang tidak bisa dan boleh diganggu gugat. Dan saya harap, tidak lagi ada pencekalan. Hehe..
0 komen:
Post a Comment