Mengutip

0 komen

Ide menulis tentang ini muncul ketika saya hendak menulis sebuah artikel. Sebelumya saya ragu hendak menulis, lantaran setiap kali—meski jarang—membaca, saya selalu menemukan nama-nama orang yang asing buat saya dalam tulisan yang saya baca. Bahkan hampir selalu ada kutipan-kutipan yang saya sama sekali blank terhadapnya. Saya jadi mangkel dan ingin mengumpat rasanya.
Ya jelas! Saya membaca disebabkan hasrat ingin banyak tahu, kok malahan banyak tidak tahunya. Ini bukan bualan saya saja. Saya sempat mengamati beberapa tulisan. Di dalamnya banyak sekali kutipan-kutipan atau nama seseorang yang disinggung-singgung. Orang yang dianggap pemikir, tokoh berjasa, atau apalah saya tidak mau ikut campur.  
Kalau boleh jujur, mungkin saya orang pertama yang segera mengacungkan tangan ketika ada orang yang meminta kesetujuan bahwa kutipan itu harus diminimalkan. Atau mungkin juga—lebih ekstrim—dihilangkan saja.
Lantaran dari kebanyakan tulisan yang pernah saya baca mengandung unsur kutipan, saya merasa diambangkan. Akankah saya mempertahankan keyakinan saya untuk tidak mengutip atau ikit-ikutan menuliskan kutipan panjang dalam tulisan saya. Kalau jawabanya memang ia, lalu nama siapa yang akan saya tuliskan di situ? Kalau menuliskan nama mbah saya yang lugu dan tua atau tetangga saya yang selalu ngarit, sudah barang pasti akan diketawai.
Itu masih pada tataran sederhana, tentang harus ada kutipan atau tidak. Lalu muncul pertanyaan, “apa guna dari kutipan dalam tulisan?” Banyak sekali jawaban yang akan dan pasti muncul dari masing-masing kepala jika tanya itu diluncurkan. Saya rasa, menurut pikiran saya pribadi, seorang yang menulis dengan menaruh kutipan dalam tulisannya itu tidak lebih dari seorang pemalu atau seorang yang tidak punya rasa percaya diri. Karena masih membutuhkan suara seseorang untuk meneguhkan segala yang ia curahkan. Seperti itu. Atau malahan bertolak dengan pikiran saya yang awam ini. Mungkinkah mengutip dianggap sebagai prestise tersendiri untuk menunjukkan seberapa mumpuni pengetahuan yang telah dikantongi. Atau masih ada lagi usulan jawaban yang lebih jitu untuk merubuhkan argumen lainnya.     
Tapi itu tidak penting, buat saya, yang terpenting ialah apa-apa yang kita serukan adalah sesuatu yang nyata dan benar secara logika. Menurut saya, mereka yang dikutipi dalam tulisan, juga sama seperti orang kebanyakan, bahkan saya. Mungkin bedanya hanaya karena mereka adalah orang yang bisa dan berani meneguhkan pemikirannya, dan yang pasti lahir lebih dulu dari saya. Seorang  beginer yang menyuarakan tentang kebenaran di masanya, bukan yang mengada-ada atau gemar menggosip.
“Tapi keseringan, dengan mengutip atau menaruh nama seseorang dalam tulisan, kita tidak akan dipandang sebelah mata, agak merem bila perlu.” Lagi-lagi pikiran semacam ini muncul dalam benak saya, dan mungkin ada juga dalam benak beberapa kawan, atau malah mereka berpikiran sebaliknya. Namun tidak masalah, yang saya kawatirkan, justru tidak peduli dan menganggap ini ebagai sebuah kewajaran yang mengalir sesuai iramanya dan posisi kita hanya tinggal melanggengkan itu.
Saya akui, sebenarnya saya tidak mau peduli pada hal-hal (remeh-temeh) semacam ini. Namun tetap saja kalau tidak saya utarakan, akhirnya menjadi kerikil yang terus mengganjal. Kembali lagi, seberapa besar sih makna atau kekuatan yang tertimbun dalam sebuah kutipan? Kalau saya tadi hanya menyebut, karena kita kurang percaya diri saja, mungkin tidak begitu buat kebanyakan orang. Yang jelas, sepintas memang seperti itu. [t]

Melompat Batas

0 komen

Lagi-lagi saya bingung. Apa memang harus orang yang tua dan berpengalamanlah yang bisa melahirkan suatu yang bagus dan berbeda. Dari sekian yang saya ketahui dan pahami, nyatanya memang demikian adanya. Jujur, saya akui, memang pikiran saya saat ini belum sampai pada yang mereka karyakan. Bahkan isi otak para sejawat saya pun demikian. Lalu bagaimana cara untuk melampaui batas yang tak kentara namun nyata adanya ini?
Ini bulan saatnya mengajukan pertanyaan atau tambah memperkeruh pikiran. Tapi coba untuk melompati batasan tak tampak itu. Mungkinkah? Atau beranikah?
Sedikit menggantungkan angan untuk menebak arah gerak laju waktu. Mampukah? Silahkan dicoba dulu. Karena, sudah tahu jalan membentang luas pun jikalau kaki tak dilangkahkan, maka setitik cita tak kan pernah tergapai.
Namun persetan dengan itu semua. Betapa indah ketika mata menatap ikan yang sedang berenang sambil bersenda gurau sesama jenisnya. Membuat angan berhenti. Memantulkan fatamorgana keindahan yang dalam menggoda.
Lalu apa mungkin seorang yang namanya menghiasi rute sejarah, kala mudanya dihabiskan demikian? Tak ada jawaban pasti yang bisa menerangkannya. Namun begitu banyak yang bilang,”semakin kita keras pada dirikita, kehidupan akan semakin melembek pada kita”. Ah, itu hanya buaian belaka. Manis diucap namun tidak gampang dilakukan.
Sama kalanya mudah kita menatap bulan, namun sulit untuk menyentuhnya.
Nah itu kuncinya. Jika saya ingin melampaui keterbatasan yang tak hingga. Angan. Kita punya angan yang bisa membaca arah gerak waktu. Kita juga bisa meletakkannya sebagai tangga menanjak untuk menggapai bulan. Bukan begitu?
Kini saya tahu apa yang saya pikirkan. Orang yang tahu di tahunya adalah saya.
 

Mari Bermusik

0 komen

Mari ngomong yang agak baik. Kalau kemarin saya dicekal, itu lantaran perbuatan saya yang tidak seronok. Kini, saya akan banting setir. Saya akan membicarakan beberapa musik yang belakangan ini setia menemani saya.
Enaknya dimulai dari mana ya. Gini, saya bukan musisi. Saya hanya penikmat beberapa musik. Bukan sefanatik efpei kepada agamanya. Saya tidak tahu apakah ada penyetaraan antara musik dan lagu. Yang jelas, saya suka bunyi-bunyian yang berirama. Cerita ini sebenarnya sudah berjalan lama. Ketika saya masih dungu, dan duduk dibangku esema.
Satiap hari saya belajar. Biar tidak dungu-dungu amat. Nah, ketika saya belajar, saya sambil mendengarkan radio. Atau malah sebaliknya ya. Saya tidak ingat betul. Yang jelas, belajar dan bunyi-bunyian selalu menyatu. Dengan begitu, rumus-rumus menjadi seperti lantunan lagu mengalir ke otak. Keesokan harinya kalau ada ulangan, gampil deh.
Tapi lagu apa? Bukan lagu yang tenar. Apalagi yang keren-keren. Seperti yang saya bilang tadi, asal berbunyi. Mulai dari lagu campur sari hingga lagu campur ngebeat. Pokok bisa berbunyi. Tapi, saya lebih tidak suka lagu hau syang hau syang. Lagu sereal drama singkek yang dulu ngehit banget. Sampai-sampai dilirikkan versi dangdut koplo.
Kebiasaan lama saya sebagai pendengar setia radio ternyata belum punah. Masih bertahan hingga sekarang. Kalau disuruh milih radio apa televisi, jelas. Saya milih televisi. Tapi kalau hanya siaran sepak bola, mincing mania, dan aneka yang berbau petualangan. Kalau yang lainnya, ah lewat sama siaran Silvi.
Enaknya gini, kalau dengar radio, banyak lagu tak terduga yang distel. Jadi kalau punya lagu favorit, bisa harap-harap cemas. Diputar, gak. Tapi apapun lagunya, minumnya tetap air putih. Bukan vodka yang dicampur mixmax.
Dan selalu kebablas. Saat saya kesirep, radio menjumpai saya keesokan paginya. Malahan, seperti ibu-ibu yang dulu tergila-gila sama tayangan telenovela yang kini beralih drama korea, saya punya jam-jam spesial.
Kalau pagi betul, kiss bisa menyajikan lagu-lagu penyemangat. Baik yang indo maupun manca. Kalau di prosalina, ada gober yang menurut saya gak jelas tapi asik. Baru jam sembilan jamnya ajeb-ajeb. Kalau yang suka ngemix, bisa gabung sama prosalina. Ini Cuma sejam. Cukuplah buat keringat mengalir. Siang-siang enaknya menikmati sajian campur sari. Ada pula osing mania. Bisa di putar kiss atau mutiara. Biasannya jam satuan.
Kalau setelah itu, hingga menjelang magrib, banyak lagu religi. Ini yang tak seberapa saya suka. Tapi kiss menyajikan irama beda. Coba saja. Ajeb-ajeb malah. Nah, kalau malam tiba yang enak diatas jam sepuluhan. Kalau diprosalina denga  simponi malamnya. Khusus untuk lagu-lagu indo. Bagi yang hobi sama lagu manca, mending gabung sama kiss aja.
Oia, ini beberapa lagu yang menempati trap teratas liga katulistiwa ala gue. Maksudnya yang sering saya dengar sih. Lagu-lagu Lolita. Yang remix, egepe, tmt, dan jangan gila dong. Lalu Nidji, laskar pelanginya. Kalau lagu campus sarian, masih leyeh-leyehnya Souljah. Nah kalau lagu manca baru sedikit yang saya kenal. Maklum orang desa. Jason Mras dengan I’m yours. Linkin Park dengan Numb, dan maroon 5 This Love. Sebenarnya ada lagi sih dari Avril Levigne, tapi saya lupa judulnya.
Ya, kalau tulisannya kaya gini, gak bakal dicekal. Tapi apa serunya?

Jaim

0 komen

Sejak beberapa hari lalu pikiran saya sesak, penuh rasanya. Muatan gagasan-gagasan dan ide yang tak pernah tertuangkan serasa semakin membuat saya linglung. Menjadikan pikiran kethul. Tidak bisa sejernih dan sedingin air dalam kulkas yang siap membasuh dahaga menjelang berbuka nanti. Terang saja, setiap ada sesuatu yang mejeng di hadapan kedua bola mata, atau nyentring masuk gendang telinga, membran-membran di otak langsung mengolahnya sedemikian rupa hingga akhirnya tumpukan hasil dari perahan otak memenuhi seluruh sudut-sudut di kepala. Kalau perut di isi terlalu banyak akan terasa mual. Mau ngapa-ngapain rasanya tidak nyaman. Ya, seperti itu juga rasanya.
Pada gilirannya, urusan klasik itu menjelma kembali. Meski ide dan gagasan di kepala sudah menumpuk, bahkan ada beberapa yang berserakan, saat hendak saya rapikan, semua ide dan gagasan tadi berlomba berebut untuk segera keluar. Mungkin karena sudah terlalu penat menunpuk di dalam batok kepala yang sempit. Ujungnya, saya bingung sendiri. Saya tidak bisa mengendalikan dan menertibkannya. Semua berlompatan zigzag tak beraturan.
Saking banyaknya, terkadang itu justru seperti senjata makan tuan, membikin saya seperti orang yang tak makan beberapa hari. Malas. Ya, bagi saya bukan karena alasan lain lagi, melainkan lantaran isi kepala masih penuh sesak.
Bukankah jalan keluarnya mudah, sabar, sabar, dan sabarlah dalam menertibkan pikiran. Seperti tumpukan buku yang berserakan di almari sebelah kiri saya itu. Begitu penuh dan tidak rapi. Hanya perlu sedikit sentuhan penuh kesabaran untuk menyederhanakan tatanan buku itu supaya mudah jika hendak diperdayakan. Saya kira sama, hanya buku-buku dalam otak sering timbul-tenggelam. Karena mengiranya seperti mengandung kegaiban, yang tidak dapat benar-benar dijamah seperti buku di almari. Kalau dalam diskusi up-grading beberapa waktu lalu disebutnya absurd.
Memang tak terkira panjang ulasan tentang itu, isi kepala yang kepenuhan atau kadang semua isi kepala ngumpet entah kemana. Sama-sama membingungkan. Tapi saya tak panjang pikir menyoal itu, hanya saja ketika saat-saat genting, saya harap ada yang menghampiri untuk menolong memecahkan guci tempat kegentingan itu bersembunyi.
Saya jadi ingat saat makan mie ayam di warung dekat kampus. Ketika sajian mie berendam kaldu berlemak dan aroma nikmat mengepul di permukaannya dihadapkan dengan perut keroncongan, saya bingung. Harus mulai menyantapnya menggunakan sendok, garpu atau sumpit. Sejujurnya bukan masalah yang amat penting. Kalau pun disebut sebagai masalah mungkin kerterlaluan, atau saya dikira mengada-ada. Bukankah intinya mengantarkan atau memindahtempatkan mie dengan kaldunya itu ke dalam perut berirama keroncong tadi.
Lagi-lagi saya ingat, seorang senior saya  bilang, ”Suatu yang pernah dilakukan dan itu dianggap berhasil untuk menyelesaikan sebuah masalah, maka di lain kesempatan, cara jitu itu juga akan digunakan untuk mengahadapi permasalahan yang sama.” Kalau saya boleh menambahkan, ”Mungkin mirip atau hampir sama juga bisa dicoba.” Saya juga tanpa sadar telah lama mengamini dan memraktekkannya. Ya, salah satunya dalam hal makan. Untuk menjawab bagaimana saya akan mengantarkan sajian mie ayam berkaldu tadi, saya belajar banyak dari pengalanam sehari-hari. 
Karena kebiasaan di rumah saya sering menggunakan sendok dan kalau-kalau kepepet baru minta bantuan garpu, saya memutuskan meminta bantuan keduanya untuk menghadapi mie ayam berkaldu kali ini. Tanpa waktu yang panjang, sepanjang untaian mie, sajian itu sekejap berpindah tempat. Melindas permainan keroncong dalam perut.
Karena kebiasaan juga dirumah, saya sering menyantap makanan sambil menyantap pula tontonan acara di televisi, maka tak jarang saya melihat orang menyantap mie dengan beralat sumpit. Padahal mie tadi berkaldu. Kalau saya yang menyantap, pasti dan selalu hanya menyisakan mangkuk kosong. Heran saya, mereka yang menggunakan sumpit, apa tidak menyukai kaldu? Karena saya pikir, bagaimana mencicipi kaldu kalau sumpit tidak dilubangi tengahnya, dirancang mirip sedotan namun lebih kaku.
            Atau mungkin ada cara rahasia yang tak saya ketahui perihal memasukkan kaldu ke dalam perut. Yang terbayang, juga karena kebiasaan saya di rumah, mereka yang menyantap mie berkaldu menggunakan sumpit, maka kaldu ditenggak seperti ketika saya menenggak minuman dari gelas.
Jika benar begitu, mungkin saya terlalu jaim, apakah tidak memalukan minum dari mangkuk. Mungkin juga hanya karena saya tidak biasa melakukan hal semacam itu di rumah, jadi saya berpikiran yang aneh-aneh.
Jujur, kalau saya harus melihat seorang perempuan, cantik pula, menenggak kaldu dengan mengangkat mangkuk setinggi itu, seperti orang minum, lalu tampak gelombang aliran kaldu naik turun di lehernya, rasanya aneh. Bukannya saya sok peduli mengurusi orang, saya tidak bermaksud macam-macam. Ya, saya bilang lagi, mungkin saya yang tidak biasa dengan keadaan seperti itu. Atau seperti kebiasaan pikiran saya, yang selalu berpikir apa yang orang lain tidak pikirkan. Dan akhirnya, pikiran itu justru melilit saya, menjauhkan saya dari hal-hal semacam itu, hingga lahirlah kejaiman dalam diri saya. Sambungannya, pikiran yang aneh-aneh itu memenuhi tempurung kepala dan lagi-lagi membuat saya merasa linglung.[t]
 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere