Ide menulis tentang ini muncul ketika saya hendak menulis sebuah artikel. Sebelumya saya ragu hendak menulis, lantaran setiap kali—meski jarang—membaca, saya selalu menemukan nama-nama orang yang asing buat saya dalam tulisan yang saya baca. Bahkan hampir selalu ada kutipan-kutipan yang saya sama sekali blank terhadapnya. Saya jadi mangkel dan ingin mengumpat rasanya.
Ya jelas! Saya membaca disebabkan hasrat ingin banyak tahu, kok malahan banyak tidak tahunya. Ini bukan bualan saya saja. Saya sempat mengamati beberapa tulisan. Di dalamnya banyak sekali kutipan-kutipan atau nama seseorang yang disinggung-singgung. Orang yang dianggap pemikir, tokoh berjasa, atau apalah saya tidak mau ikut campur.
Kalau boleh jujur, mungkin saya orang pertama yang segera mengacungkan tangan ketika ada orang yang meminta kesetujuan bahwa kutipan itu harus diminimalkan. Atau mungkin juga—lebih ekstrim—dihilangkan saja.
Lantaran dari kebanyakan tulisan yang pernah saya baca mengandung unsur kutipan, saya merasa diambangkan. Akankah saya mempertahankan keyakinan saya untuk tidak mengutip atau ikit-ikutan menuliskan kutipan panjang dalam tulisan saya. Kalau jawabanya memang ia, lalu nama siapa yang akan saya tuliskan di situ? Kalau menuliskan nama mbah saya yang lugu dan tua atau tetangga saya yang selalu ngarit, sudah barang pasti akan diketawai.
Itu masih pada tataran sederhana, tentang harus ada kutipan atau tidak. Lalu muncul pertanyaan, “apa guna dari kutipan dalam tulisan?” Banyak sekali jawaban yang akan dan pasti muncul dari masing-masing kepala jika tanya itu diluncurkan. Saya rasa, menurut pikiran saya pribadi, seorang yang menulis dengan menaruh kutipan dalam tulisannya itu tidak lebih dari seorang pemalu atau seorang yang tidak punya rasa percaya diri. Karena masih membutuhkan suara seseorang untuk meneguhkan segala yang ia curahkan. Seperti itu. Atau malahan bertolak dengan pikiran saya yang awam ini. Mungkinkah mengutip dianggap sebagai prestise tersendiri untuk menunjukkan seberapa mumpuni pengetahuan yang telah dikantongi. Atau masih ada lagi usulan jawaban yang lebih jitu untuk merubuhkan argumen lainnya.
Tapi itu tidak penting, buat saya, yang terpenting ialah apa-apa yang kita serukan adalah sesuatu yang nyata dan benar secara logika. Menurut saya, mereka yang dikutipi dalam tulisan, juga sama seperti orang kebanyakan, bahkan saya. Mungkin bedanya hanaya karena mereka adalah orang yang bisa dan berani meneguhkan pemikirannya, dan yang pasti lahir lebih dulu dari saya. Seorang beginer yang menyuarakan tentang kebenaran di masanya, bukan yang mengada-ada atau gemar menggosip.
“Tapi keseringan, dengan mengutip atau menaruh nama seseorang dalam tulisan, kita tidak akan dipandang sebelah mata, agak merem bila perlu.” Lagi-lagi pikiran semacam ini muncul dalam benak saya, dan mungkin ada juga dalam benak beberapa kawan, atau malah mereka berpikiran sebaliknya. Namun tidak masalah, yang saya kawatirkan, justru tidak peduli dan menganggap ini ebagai sebuah kewajaran yang mengalir sesuai iramanya dan posisi kita hanya tinggal melanggengkan itu.
Saya akui, sebenarnya saya tidak mau peduli pada hal-hal (remeh-temeh) semacam ini. Namun tetap saja kalau tidak saya utarakan, akhirnya menjadi kerikil yang terus mengganjal. Kembali lagi, seberapa besar sih makna atau kekuatan yang tertimbun dalam sebuah kutipan? Kalau saya tadi hanya menyebut, karena kita kurang percaya diri saja, mungkin tidak begitu buat kebanyakan orang. Yang jelas, sepintas memang seperti itu. [t]
0 komen:
Post a Comment