Archimedes,
sekitar 200 SM, dipanggil Raja Yunani. Raja meminta Archimedes agar bisa
membuktikan volume dan keaslian mahkota raja. Suatu hari ia begitu
bingung hingga mencemplungkan diri ke bak mandi yang penuh air. Waktu
itu ilham pencerahan turun: bukankah volume air yang luber sama dengan
volume tubuhku? Ia menemukan rumus ’Berat Jenis’ guna menjawab tantangan
raja. Ia segera meloncat dari bak mandi dan berlari kegirangan sambil
berteriak-teriak, ’Eureka, eureka, eureka!’ (sudah kutemukan!). Ditulis Josh Kokoh Prihatanto Pr
Setelah membaca tulisan itu, saya jadi ingat cerita lama guru agama saya. Entah sewaktu smp atau sma. Ada seorang raja dari Pulau Jawa. Ia bermimpi melihat dua matahari. Dan dari mimpinya itu, dia menerjemahkan jika dia bisa membawa mimpi itu ke dunia nyata, maka semua rakyatnya akan hidup sejahtera.
Namun sang raja tak jua mendapati cara itu. Lalu raja memanggil seorang muslimin ketika itu. Muslimin itu salah seorang tokoh yang berpengaruh. Raja meminta kepada seorang muslim tadi untuk bisa menunjukkan dua buah matahari. Jika ia gagal, maka kematian adalah hukuman yang dijanjikan raja.
Si muslim itu bingung. Terang saja ia tak bisa membuat matahari menjadi dua. Ia hanya diberi tenggat waktu tiga hari untuk menemukan sebuah cara. Dua hari ia lalui dengan resah gelisah. Karena tak jua ia menemukan cara itu.
Menjelang hari terakhir, ia sudah pasrah dengan nasib yang akan berujung di tiang gantungan. Malam sebelum dia digantung, ia mengadakan hajatan di rumahnya. Seraya berpamitan kepada seluruh umatnya. Lantaran ia tak juga bisa menunjukan dua matahari kepada sang raja.
Sebelum menghadap raja dengan segala kepasrahan, ia menyempatkan mengambil air wudu. Kala itu terik matahari begitu menganga. Ketika ia membasuh muka, ia sadar. Bahwa ia dapat melihat matahari di kubangan air wudunya yang jernih itu.
Akhirnya ia menghadap sang raja dengan muka pasrah. Ia mengaku tak dapat menunjukkan dua matahari itu secara bersamaan. Lalu hukuman disiapkan oleh para pengawal raja. Sebelum dihukum mati, ia mengajukan satu permintaan. Ia minta dibawakan secawan air. Lalu diambilkannya secawan air seperti yang diminta.
Dengan rendah hati, ia berkata hanya bisa menunjukan dua matahari itu, satu di atas dan yang lain berada dalam air. Sang raja takjub. Ia mengurungkan niatnya untuk menghukum lelaki muslim itu. Lalu diberikannya hadiah kepadanya. Dan ia diangkat menjadi salah satu penasihat sang raja.
Kiranya, pelajaran apa yang dapat dipetik dari penggalan ceritadi atas? Bahwa jalan selalu terbuka untuk umatnya yang berpasrah dan sudi berbagi kepada sesamanya. Dengan rasa ikhlas dan rendah hati.
Sepertinya itu jalan yang mudah. Namun, buat kita kadang seperti tebing curam yang—jangankan dilalui untuk dilihat saja ngeri—tidak mungkin dilalui. Saya jadi kebawa sama pesan terakhir guru saya dalam mengakhiri cerita ini. “Wes to, pokok’e lek wes gak enek dalan, pasrah’o ae karo gusti Allah. Trus karo gae amal sing akeh. mbukak-mbukak dalane!”

Setelah membaca tulisan itu, saya jadi ingat cerita lama guru agama saya. Entah sewaktu smp atau sma. Ada seorang raja dari Pulau Jawa. Ia bermimpi melihat dua matahari. Dan dari mimpinya itu, dia menerjemahkan jika dia bisa membawa mimpi itu ke dunia nyata, maka semua rakyatnya akan hidup sejahtera.
Namun sang raja tak jua mendapati cara itu. Lalu raja memanggil seorang muslimin ketika itu. Muslimin itu salah seorang tokoh yang berpengaruh. Raja meminta kepada seorang muslim tadi untuk bisa menunjukkan dua buah matahari. Jika ia gagal, maka kematian adalah hukuman yang dijanjikan raja.
Si muslim itu bingung. Terang saja ia tak bisa membuat matahari menjadi dua. Ia hanya diberi tenggat waktu tiga hari untuk menemukan sebuah cara. Dua hari ia lalui dengan resah gelisah. Karena tak jua ia menemukan cara itu.
Menjelang hari terakhir, ia sudah pasrah dengan nasib yang akan berujung di tiang gantungan. Malam sebelum dia digantung, ia mengadakan hajatan di rumahnya. Seraya berpamitan kepada seluruh umatnya. Lantaran ia tak juga bisa menunjukan dua matahari kepada sang raja.
Sebelum menghadap raja dengan segala kepasrahan, ia menyempatkan mengambil air wudu. Kala itu terik matahari begitu menganga. Ketika ia membasuh muka, ia sadar. Bahwa ia dapat melihat matahari di kubangan air wudunya yang jernih itu.
Akhirnya ia menghadap sang raja dengan muka pasrah. Ia mengaku tak dapat menunjukkan dua matahari itu secara bersamaan. Lalu hukuman disiapkan oleh para pengawal raja. Sebelum dihukum mati, ia mengajukan satu permintaan. Ia minta dibawakan secawan air. Lalu diambilkannya secawan air seperti yang diminta.
Dengan rendah hati, ia berkata hanya bisa menunjukan dua matahari itu, satu di atas dan yang lain berada dalam air. Sang raja takjub. Ia mengurungkan niatnya untuk menghukum lelaki muslim itu. Lalu diberikannya hadiah kepadanya. Dan ia diangkat menjadi salah satu penasihat sang raja.
Kiranya, pelajaran apa yang dapat dipetik dari penggalan ceritadi atas? Bahwa jalan selalu terbuka untuk umatnya yang berpasrah dan sudi berbagi kepada sesamanya. Dengan rasa ikhlas dan rendah hati.
Sepertinya itu jalan yang mudah. Namun, buat kita kadang seperti tebing curam yang—jangankan dilalui untuk dilihat saja ngeri—tidak mungkin dilalui. Saya jadi kebawa sama pesan terakhir guru saya dalam mengakhiri cerita ini. “Wes to, pokok’e lek wes gak enek dalan, pasrah’o ae karo gusti Allah. Trus karo gae amal sing akeh. mbukak-mbukak dalane!”

0 komen:
Post a Comment