Tukang Omong Tok

0 komen


Orang tua berambut putih setengah botak dan bercambang itu datang menghampiriku. Entah karena sebab apa aku sudah duduk termangu di tepi sungai menyanding kopi susu panas. Orang tua itu duduk di sebelah bahu kiriku tepat. Dari gurat kerut kulitnya, mungkin usianya lebih dari delapan puluh tahun.

Di sebelah kiri orang itu ada lagi seseorang. Harusnya aku kenal dia. Tapi aku sungguh tidak punya kemampuan untuk mengingatnya. Lalu ada dua orang yang lagi-lagi tak pernah aku kenali namanya. Tapi aku rasa mereka penduduk sekitar tempat itu. Rembutnya ikal yang seorang. Seorang lagi cepak dengan warna kulit lumayan kusam sawo matang

Aku tengah duduk di bawah sebatang pohon yang tinggi menjulang. Dengan beberapa akar besar muncul di permukaan tanah. Pohon itu sepertinya beringin. Ya, lengkap—seperti banyak dituliskan orang—dengan akar menjuntainya.

Sepertinya, aku menghadap timur. Karena seolah sinar matahari datang menabrak mataku. Sebenarnya waktu itu pagi atau sore aku tidak sungguh tahu. Yang pasti aku tahu, aliran sungai itu. Mengarah sebelah kanan aku menghadap. 

Kepada dua orang yang ku kira orang lokal itu aku seolah bertanya. Aku menjorokan badan agak kebelakang. Sambil menunjuk si tua sebelah kiriku itu, seolah kau berkata, “Pram?” namun tidak bersuara. Sambil menghadap orang lokal itu. Yang berambut ikal menjawab, “Mbak Pramo.” “Oh,” pikirku. 

Lelaki tua itu sungguh mirip dengan Pram. Hanya saja dia tak sebotak yang ada di sampul-sampul belakang buku buah karyanya. Ya, dia memang berjamban putih laik rambutnya. Pram si penulis kesohor itu. Dan aku masih menduga bahwa dia memang Pram, meski orang-orang memanggilnya Mbah Pramo.

“Dulu aku kerjasama dengan Gareng, lalu menulis. Sekarang omong-omong tok.” mendadak Pram, eh Mbah Pramo nyeletuk sambil tertawa lebar. Lantas aku berpikir lagi, sepertinya dia benar-benar Pram, Pramudya Ananta Toer. Hanya saja aku tak tahu siapa itu Gareng. Mungkin ia kawan akrabnya ketika menjalani masanya. Dan sepertinya Mbah Pramo mengetahui apa yang aku lakukan tiga hari kemarin. Iya memang, omong-omong tok.

Tiga hari lalu aku dan tiga orang lainnya terlibat dalam pembicaraan sengit. Tentang yang tidak banyak orang pikirkan. Tentang pilihan hidup yang harus dijalani. Hingga menjelang subuh, kami berempat pulang membawa tanda tanya besar dalam kepala. Jalan seperti apa yang layak untuk kami pilih. 

Dari cara Mbah Pramo nyeletuk dan mimik mukanya, Mbah Pramo memang tahu pembicaraan itu. Sebab itu dia menyindirku yang tengah duduk di tepi sungai. Tapi, dari mana dia bisa tahu pembicaraan itu, aku penasaran. Setahuku kalau ia benar-benar Pram, Pramudya Ananta Toer, ia sudah mati. Apa mungkin orang yang sudah mati bergentayangan nguping pembicaraan orang. Sudahlah, itu tidak mungkin. Hanya di layar kaca yang tidak bermutu-mutu amat itu terjadi. 

Lalu Mbah Pramo menenggak kopi susuku. Sambil mengacungkan jempol kanannya dia bilang, “Manis,” lengkap dengan senyum itu. Lalu seolah dia nyemplung sungai dan menghilang. Sungai berarus deras sewarna dengan kopi susuku yang ditenggaknya, coklat.

Lalu aku terbangun dari mimpiku. Sungguh mimpi yang singkat dan aneh. Dan aku tak akan buang-buang waktu. Biar tidak dikatai “Omong-omong tok” oleh Mbah Pramo yang aku yakini dia sebenarnya adalah Pram. Maka aku menuliskannya.
 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere