Orang tua berambut putih setengah
botak dan bercambang itu datang menghampiriku. Entah karena sebab apa aku sudah
duduk termangu di tepi sungai menyanding kopi susu panas. Orang tua itu duduk
di sebelah bahu kiriku tepat. Dari gurat kerut kulitnya, mungkin usianya lebih
dari delapan puluh tahun.
Di sebelah kiri orang itu ada
lagi seseorang. Harusnya aku kenal dia. Tapi aku sungguh tidak punya kemampuan
untuk mengingatnya. Lalu ada dua orang yang lagi-lagi tak pernah aku kenali
namanya. Tapi aku rasa mereka penduduk sekitar tempat itu. Rembutnya ikal yang
seorang. Seorang lagi cepak dengan warna kulit lumayan kusam sawo matang
Aku tengah duduk di bawah
sebatang pohon yang tinggi menjulang. Dengan beberapa akar besar muncul di
permukaan tanah. Pohon itu sepertinya beringin. Ya, lengkap—seperti banyak
dituliskan orang—dengan akar menjuntainya.
Sepertinya, aku menghadap timur. Karena
seolah sinar matahari datang menabrak mataku. Sebenarnya waktu itu pagi atau
sore aku tidak sungguh tahu. Yang pasti aku tahu, aliran sungai itu. Mengarah sebelah
kanan aku menghadap.
Kepada dua orang yang ku kira
orang lokal itu aku seolah bertanya. Aku menjorokan badan agak kebelakang. Sambil
menunjuk si tua sebelah kiriku itu, seolah kau berkata, “Pram?” namun tidak bersuara.
Sambil menghadap orang lokal itu. Yang berambut ikal menjawab, “Mbak Pramo.” “Oh,”
pikirku.
Lelaki tua itu sungguh mirip
dengan Pram. Hanya saja dia tak sebotak yang ada di sampul-sampul belakang buku
buah karyanya. Ya, dia memang berjamban putih laik rambutnya. Pram si penulis
kesohor itu. Dan aku masih menduga bahwa dia memang Pram, meski orang-orang
memanggilnya Mbah Pramo.
“Dulu aku kerjasama dengan Gareng,
lalu menulis. Sekarang omong-omong tok.” mendadak Pram, eh Mbah Pramo nyeletuk sambil tertawa
lebar. Lantas aku berpikir lagi, sepertinya dia benar-benar Pram, Pramudya
Ananta Toer. Hanya saja aku tak tahu siapa itu Gareng. Mungkin ia kawan
akrabnya ketika menjalani masanya. Dan sepertinya Mbah Pramo mengetahui apa
yang aku lakukan tiga hari kemarin. Iya memang, omong-omong tok.
Tiga hari lalu aku dan tiga orang
lainnya terlibat dalam pembicaraan sengit. Tentang yang tidak banyak orang
pikirkan. Tentang pilihan hidup yang harus dijalani. Hingga menjelang subuh,
kami berempat pulang membawa tanda tanya besar dalam kepala. Jalan seperti apa
yang layak untuk kami pilih.
Dari cara Mbah Pramo nyeletuk
dan mimik mukanya, Mbah Pramo memang tahu pembicaraan itu. Sebab itu dia
menyindirku yang tengah duduk di tepi sungai. Tapi, dari mana dia bisa tahu
pembicaraan itu, aku penasaran. Setahuku kalau ia benar-benar Pram, Pramudya
Ananta Toer, ia sudah mati. Apa mungkin orang yang sudah mati bergentayangan
nguping pembicaraan orang. Sudahlah, itu tidak mungkin. Hanya di layar kaca
yang tidak bermutu-mutu amat itu terjadi.
Lalu Mbah Pramo menenggak kopi
susuku. Sambil mengacungkan jempol kanannya dia bilang, “Manis,” lengkap dengan
senyum itu. Lalu seolah dia nyemplung sungai dan menghilang. Sungai berarus
deras sewarna dengan kopi susuku yang ditenggaknya, coklat.
Lalu aku terbangun dari mimpiku. Sungguh
mimpi yang singkat dan aneh. Dan aku tak akan buang-buang waktu. Biar tidak
dikatai “Omong-omong tok” oleh Mbah
Pramo yang aku yakini dia sebenarnya adalah Pram. Maka aku menuliskannya.
0 komen:
Post a Comment