Ini hanya anekdot saja. Bisa pula dibilang pengandaian. Tapi saya lebih suka melihatnya sebagai penerawangan. Seorang Inul yang hilang pantatnya. Ketika ia menggegerkan belantika musik merakyat—dangdut—dengan pantat bulat dan seksinya, lalu tiba-tiba hilang alat pengebornya. Bagaimana dan apa yang terjadi? Haruskah ia mencari kerjaan lain yang tidak lagi meperjual belikan pantat? Atau ia harus terus-terusan mengeluarkan beberapa gepok tumpukan uang untuk membeli pantat-pantat baru yang siap ngebor tiap saat dan tanpa kerut pula. Silahkan Anda turut urun rembuk demi kebaikan sang legendaris bor yang satu ini.
Inilah yang namanya siklus kehidupan. Tak ubahnya lifecycle produck. Semua ada masa keemasan dan surutnya. Bukan hanya seorang Inul yang kehilangan pantat. Saya hanya sedikit mengkambinghitamkannya karena kebetulan Inul tidak kenal saya dan ia berada begitu jauh dari saya. Makanya ia tidak akan pernah tahu dan tidak akan tersinggung.
Hal semacam ini berlaku bagi siapa saja yang dalam karir hidupnya begitu memuja ragawi. Buat mereka yang bangga akan lahiriah yang menawan atau sempurna. Buat mereka ingat betapa sebagian dari kita yang tidak sempat menikmati anugrah itu. Betapa manusia yang sering dikata sempurna itu justru hanya ada diangan-angan belaka. Nyata-nyata manusia adalah mahkluk yang paling semburat. Anda boleh tidak sepakat.
Bagaimana tidak. Mereka yang berlahiriah menawan sering dijadikan icon. Dijadikan figur publik, yang bagi saya yang tidak ganteng-ganteng amat ini, melahirkan inisiatif untuk menyamai dan mengidolai. Lantas bagaimana dengan sebagian orang lagi yang sepanjang hidupnya terus manyandang cacat. Harus bagaimana dan seperti apa mereka diperlakukan? Pertanyaan yang naif senganja saya ajukan.
Ini cerita sederhana saya, ketika saya di posisi sama dengan kebanyakan yang lain atau bahkan Anda, beranggapan atau memandang sebelah mata kepada para penyandang cacat. Kedua mata s`ya yang selalu saja menjelalati icon-icon ideal yang disuguhkan membuat saya terlena. Lalu mereka berkisah tentang hidupnya yang sederhana—bagi kita—namun begitu sulit.
Berkali-kali saya menuliskan kalimat ini,”Sebenarnya saya malas dengan hal-hal semacam ini.” Namun selalu saja fenomena yang tidak saya inginkan tiba-tiba datang menyatroni saya. Dan lagi-lagi saya hanya bisa mengelus dada sambil menarik napas panjang. Menatap penuh iba. Tidak bisa melakukan apa-apa. Saya sungguh munafik.
Boleh dikata seperti sebuah papper yang hanya bisa diisi tulisan tentang kisah-kisah berbagai macam orang, tapi tidak bisa melakukan suatu hal apapun. Malahan penyakit hati saya juga muncul. Iri. Karena betapa saya yang sekarang ini tidak bisa berbuat banyak untuk mereka. Jangankan untuk mereka, untuk diri saya saja masih mengembik pada bapak saya.
Mereka yang serba berhadapan degan keterbatasan justru melampaui kebanyakan orang yang terlalu terlena dengan dirinya, termasuk saya.
0 komen:
Post a Comment