Dangdut minggu-minggu

0 komen
Minggu sore, sekira jam tigaan. Saya melesat ke alun-alun kota. Bukan lantaran hendak lari-lari seperti biasanya. Atau menjajakan asongan. Kan pekael sudah dilarang beredar. Tapi hanya sedikit jalan-jalan membuang sampah. Sampah kotor dalam kepala. Biar bisa lagi diisi macam-macam.

Yah, tebak apa yang saya jumpai. Orang-orang main bola, benar. Para sketboarter, tentu. Penjaja kaki lima, juga ada. Ini yang hot, para gadis bercelana super ketat jogging, juga benar. Ini ni, kalau katanya Ape (singkaan nama) harga susu naik turun. Apa lagi ya, pokoknya ya gitu deh. Sebuah keramaian di sore hari yang cerah. Hahaha.

Tapi rupanya ada yang tak biasa. Tak serupa hari biasanya, ternyata sedang ada event. Saya tidak menyimak betul event utamanya. Yang jelas motor offroad memenuhi sepanjang jalan depan kantor bupati. Sebagian lagi ada yang dijalannan melintas. Dan beberapa diparkir di atas mobil pickup. Sepintas saya lihat, sepertinya ada yang dari kota luar. Saya tahu, dari plat nomornya.

Sebuah event yang lumayan gede nampaknya. Nah, disela-sela rehat setelah kegiatan, ada semacam konser. Ya bertempat di alun-alun itu. Kalo saya hemat dari beberapa lagu yang dinyanyikan, jelas lah dangdut. Dengan cirinya yang khas, pakaian artis yang seksi dengan goyangan yang meliuk-liuk. Diramaikan dengan beberapa biker yang naik panggung joget bareng.

Mulanya saya suka musik dangdut. Tapi kalau sudah kaya gini, rasanya tak karuan. Ngelihat saja ngrasa geli-geli gimana gitu. Apa lagi goyang yang maliuk-liuk itu. Meminjam istilah ge em, saru katanya. Wah-wah benar-benar.

Benar-benar asik buat mereka, dan agak saru buat saya. Kalau saja saya jadi mereka dan mereka jadi saya, enak kali ya. Tapi tak apalah, sedikit-dikit saya curi-curi pandang. Menikmati liukan pantat si penyanyi. Dengan span yang panjangnya tak lebih sejengkal saya. Hu, mak syur. Ah, kenapa saya jadi terlalu jujur ya. Kan harusnya tak usah saya katakana. Biar saya simpan saja dalam hati.

Memang dasarnya saya suka jujur. Malahan terlalu kejujuren. Kalau ngomong sering menyinggung orang. Padahal yang saya katakana itu jujur. Kalau di iklannya sebuah produk rokok yang tentakelnya telah menghiasi alun-alun, yang lain bersandiwara-gue apa adanya. Bagus juga. Kreatif.

Yang khas, saya

0 komen
Memang sulit diakui. Bahwa setiap orang lahir dengan kepiawaian dan ketololan masing-masing. Mungkin diksi ketololan yang membikin sulit diakui. Ini yang selalu membuat saya takjub tak henti-hentinya. Ketika saya membaca buah pena dari beberapa orang. Saya merasa ada kekhasan dari setiap pengarsiteknya. Dan itu serasa begitu unik. Sulit untuk dijiplak. Sungguh menawan.

Dan ini pula yang menampar pikiran saya dengan kerasnya. Saat saya mengidolakan seseorang dan ingin menyerupainya. Sungguhpun itu mustahil. Kalau-kalau kesampaian, hanya sebongkah kebetulan semata. Dan tak tahan lama. Maka, mending tetap saja. menjadi saya yang apa adanya. Meski adanya hanya kecerobohan dan ketololan sana-sini. Tapi inilah gue. Yang bikin beda dengan yang lain.

Ini juga. Coba cermati tulisan-tulisan saya. Pasti isinya tak karuan. Itu melukiskan kepribadian saya yang semrawut. Dipenuh-sesaki dengan fantasi-fantasi yang kelewat wajar. Yang kadang bikin orang jengkel dan mecucu.

Kalau saya ijinkan, mungkin mereka segera menendang keras-keras bokong saya. Sampai saya berteriak ampus bon. Saya tidak akan bertingkah lagi.

Tapi saya tetaplah saya. Saya jadi ketawa geli sendiri. Ketika mendapati cerita dari kawan yang pernah baca tulisan saya yang lain. Apa saya gak malu, naruh tulisan-tulisan kaya gini di muka umum. Gitu intinya. Ya, saya jadi cekikikan.

Saya malunya kalu naruh tulisan ini di muka saya. Karena orang jadi tahu betul macam apa orang yang bikin tulisan aneh bin ngawur ini. Bisa-bisa saya langsung kena serangan tanpa alasan. Ceplak-ceplok dari berbagai arah. Ogah ah.

Lalu saya mawas diri. Apa yang salah dengan yang saya lakukan. Saya nulis apa yang saya tahu dan rasakan. Dan itu juga sudah umum diketahui orang. Apa yang aneh. Begitu kata dalam hati saya.

Memang, saya tidak piawai untuk membuat sesuatu mahakarya seperti Ghandi. Jangankan Ghandi, Gani yang tetangga rumah saja, saya tak bisa tiru. Bagaimana mau niru, kalau bisanya nangis njempling-njempling seperti hidup di hutan. Jelas gak mau saya.

Iya, inilah saya. Yang nulisnya asal nulis. Mau jadi penulis bayaran, ya gak ada yang ngebayarin. Mau jadi pejuang lewat tulisan, saya sendiri lagi belepotan nulisnya. Mau jadi penulis kesohor, masih banyak tu penulis kesohornya. Belum pada mati. Mau nulis buku, saya aja malas baca buku. Apa lagi orang lain suruh baca buku saya. Ya pokoknya seperti ini nih. Khas dengan berjuta kegoblokan dan banyak bersyukur.

blog dunia AXIS

0 komen

Beraninya sebatas di jalan, kasihan

0 komen
http://duniaaxis.co.id
Saya hendak menuliskan kisah tentang HP. Ini betul-betul nyata tentang hubungan baik yang terjalin erat antara saya dan HP. Mulanya begini. Entah karena terbawa pengaruh teman atau juga iklan yang bahasanya benar-benar merajuk-merayu, saya menjadi terobsesi untuk memiliki sebuah HP.

Rasa yang sungguh mengelitik-mengusik itu memaksa saya untuk mengumpulkan beberapa lembaran uang. Bukan dari maling ataupun nyopet. Melainkan dari sedikit ketekunan dan kepandaian saya yang tidak akan saya ceritakan kali ini. Anggap saja saya mendadak sudah mengantongi beberapa lembar uang. Nah, setelah itu ada lagi permasalahan kasik. Ini tentang apriori orang tua terhadap anaknya. 

Perihal kepemilikan HP yang diduga akan menurunkan prestasi di sekolah. Terang saja saat itu saya menapak kelas tiga esema. Komentar, makian, dan sebangsanya akibat apriori ortu yang tulen orang desa, begitu deras menghujani. Masuk telinga kiri. Masuk lagi telinga kanan. Dan keluar entah lewat mana lagi. 

Huuuh, itu benar kisah nyata kawan. Dan saya berani mempertaruhkan setengah uang jajan saya, bahwa kejadian itu kini sudah dianggap legenda yang tidak mungkin terulang. Laiknya kisah tentang Angling Dharma atau juga Gajah Mada. Tidak ada lagi jaman ketika seorang ingin HP, dicerca marah. Malahan setahu saya, betapa manja anak sekarang yang seusia saya ketika itu. 

Kunfayakun, orang tua nurut. Entah japa mantra apa yang dikomat-kamitkan para anak jaman sekarang. Sekali minta, bolehlah. Saya ingat betul, bahwa seyakin sumpah serapah uang yang saya anggarkan itu sungguh halal dan secara defacto milik saya. Hasil usaha jerih payah yang tidak seberapa anakan kelas tiga esema. 

Sudah uang milik sendiri, masih tidak boleh lagi. Padahal saya sudah sakau akibat iming-iming dan hasrat yang tidak jelas ujungnya dari iklan yang menggelontor dari pusparagam cara dan media. Tanpa banyak basi-basa, ya saya belikan HP. Lha wong saya itu orangnya serba otomatis. Tanpa disuruh, ya beli. Tapi ini jugalah sifat ajaib saya. Salah seorang asli golkar. Golongan karepe dewe. Ketika hal itu sudah menjadi karep, maka betapa keras batu menghadang, saya suruh orang memindahkan. Membuang jika perlu. 

Itu baru selintas kisah yang tak detail dan seperti bajing yang hobi meloncat dari dedahanan. Sejak permulaan saya menaruh hati pada sang HP. Ending-nya, sebuah HP—meski tidaklah tersegel—berpindah tangan secara tidak tertulis pada genggaman. Ah, lega betul mulanya. Kegirangan serasa memancar dari setiap helai rambut saya yang tidak lurus. Lalu, seiring hadirnya si HP, seolah aura yang dibawanya—si HP—mampu membungkam cercaan yang hilir mudik di telinga. Selanjutnya, telinga saya banyak dimanjakan oleh ringtone polyphonik dari si HP. So sweet...

Ah, lagi-lagi adegan itu menjadi usang benar. Ketika saya yang sekarang sudah memiliki sebuah HP touchscreen berfitur internet  dan sekira empat HP lainya. Bukan saya bermaksud jumawa. Tapi memang itu nyata. Entah harus disebut megaya atau megoblok, hanya yang mau iseng yang berhak melempar komentar. Nah saya tanya, bagaimana dengan kisah sejarah Anda?
****
Ada yang punya cukup waktu untuk dibung-buang? Mari ikuti saya. Kita pergi bersama. Lalu nongkrong di kantin. Jangan jauh-jauh. Cukup kantin di sekitaran kampus saja. Alasannya. Kan harga kopi akrab nyangkruk hanya duaribu perak. Selain itu pasti ada lagi. Apa ya? Karena elok pakaian para perempuan di sini. Begitu tertampil dengan asoypakdhe. Terlalu sayang untuk dilewatkan.

Bisa-bisa malah putus asa. Sudah dirias dengan mentok sana-sini, pakai bedak gincu eyeshadow eh gak ada yang ngelirik. Kan kasihan. Sia-sia deh usahanya untuk menggapai sebuah kepuasan atas jerih payah yang tak murah. Meski kadang dipandangnya malah murahan. Maaf, bukan maksud saya apa-apa. Hanya saya bicara blak-blakan.

Ya, begitulah adanya. Ini baru di kantin. Belum lagi kalau nongkrongnya di warung-warung pinggiran jalan. Wah, rasanya mata benar-benar dimanjakan dengan pemandangan yang asoy geboy. Buat saya sih, yang sedikit tengik dan penggurau.

Bagaimana tidak. Berseliweran gadis anak orang dengan sepan yang panjangnya tak lebih sejengkal. Juga kaos oblong ala yunomisoel hingga sengaja menunjukkan belahan dadanya. Wah-wah, betapa menawan mereka menata rias penampilannya. Bukan maksud saya bicara yang porno. Lagi-lagi saya hanya bicara apa adanya.

Tidak sampai di sini saja. Otak saya tak rela kalau hanya mata yang dapat kesempatan bersenang-senang. Pikiran saya juga ikut iseng. Bukankah kata orang, dari mata turun kehati. Tidak buat saya. Dari mata naik ke otak. Lalu jatuh kemulut. Weh..weh..weh…

 Apa semempesona itu mereka menata pikirannya. Otaknya maksud saya. Apa sudah seimbang dengan penampilan yang juara. Betapa sempurna, penampilan ngejreng, prestasi mentereng.

Perempuan di kampus saya. Otaknya seencer merias tubuhnya. Ini harusnya judul tulisan ini. Tapi benarkah? Gak papalah, yang penting eksistensi nomer satu. Yang tampak kan penampilan luar. Biar mata membawanya kehati. Urusan otak nomer tujuh belas. Begitukah?

Atau saya sanksi. Bahwa hanya penampilan saja yang tampak ngejreng. Sedang logikanya samasekali kethol. Alamak. Ini hanya pikiran saya yang semata-mata saya sebagai lelaki kurang pandai saja. Kurang pandai untuk berpikir yang baik-baik. Semoga saja ini hanya ada dalam pikiran saya. Dan katakan kepada saya bahwa yang ada dihadapan saya itu semta adalah kebohongan besar.

Ya itu terserah saja. Kalau saya, meski gak ganteng-ganteng amat, yang penting otak harus smart. Kalau mau eksis, rawat tu otak biar tak disarangi lebel-lebel dari butik atau mall-mall. Biar selalu fresh untuk menghadapi segala macam keadaan.

Belum lagi para klub motor. Yang sering memutar gasnya penuh. Hingga knalpot menjerit segilanya. Bikin teingan kesumbat rasanya. Mungkin dengan itu mereka merasa mendunia. Menyedot perhatian banyak orang. Menyuguhkan panorama eksotik.

Aih, ndeso amat sih. Kata dalam hati saya. Bukan maksud menyela atau membodohi. Ini jaman sudah segini. Ada yang memfilmkan tahunnya kiamat. Ada semacam ramalan yang senada. Tapi saya tak mudah percaya.

Yang ada dalam benak saya simpel. Kalau benar-benar mereka tak hanya ingin dilihat segelintir orang, ya cari jalan lain. Untuk semakin menambah daya dobrak biar dikenal kalangan seisi jagad. Kan banyak media. Utamanya dengal semakin membuminya internet. Kembangkan kreatifitasnya.

Dan buat teman-teman saya. Kalau mau curi-curi perhatian, kan sudah gak jamannya hanya dipinggiran jalan. Atau di petakan ruang kampus. Dunia cyber sudah gamblang dibuka. Sudah jamannya berselancar memikat perhatian dunia lewat jembatan internet.

Sayang, ajang unjuk gigi hanya tercecer di sepanjang jalan. Yang tak berumur panjang. Siap menguap disapu panas. Kintir terbawa aliran air hujan. Bayangkan, kalau itu bisa dibawa ke dalam luas samudra cyber. Bukankah akan lebih mendunia. Tak lagi seperti katak dalam tempurung.

Ini hanya isi lamunan saya. Ketika tak kunjung muncul sebuah inspirasi untuk membuat tulisan. Seperti kebiasaan, iseng saya yang muncul. Yah, tapi entahlah. Sedap dipandang. Nikmat diimajikan. Dan ujungnya, diceritakan dalam tulisan.

Untung yang saya buat hanya semak-semak aksara yang rimbun. Bukan sebatang rudal yang lengkap dengan racun bio kimiannya. Saya sih pinginnya juga buat rudal. Tapi saya modif sedemikian rupa hingga efek racunya bisa bikin ketawa.

Tapi apalah daya, saya hanya tamatan S1 yang belum tamat-tamat. Jurusan ya hanya jurusan biasa, umum. Bukan spesifik pernukliran. Bagai pungguk merindukan bulan untuk bisa buat kalau gini. Sudahlah. Bikin ini aja, tulisan. Ada pepatah lama bilang: Kalau umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan, bukan dengan rudal. Hahaha….

Dan ini salah satu cara saya untuk memanjangkan umur.

Bisa saja

0 komen
Bukan maksud saya tidak suka pada sikap perempuan yang aneh. Tapi memang begitu adanya. Kemarin saya menulis gini di status facebook. Saya nggak ngeh dengan kemauan perempuan, masa beli tas mahal-mahal, padahal isinya cuma plastik bekas dan sobekan kertas yang digumpal-gumpal. Hwadowww...

Saya heran bukan kepalang. Lama gitu saya menunggu. Mengantarkan seseorang perempuan. Memilah tas di Elizabeth. Hingga akhirnya saya melakukan beberapa kekonyolan. Iseng-iseng mencobai topi yang sedianya dijual untuk perempuan. Saya cuek abis dilirik sama embak-embak yang kerjanya disana.

Malah, mereka saya lempar dengan senyum manis beberapa kali. Dan saya yakin itu membuatnya sedikit sulit tidur malamnya. Hingga akhirnya saya menemukan sebuah potongan sofa teronggok dipojok bawah tangga. Nah, di situlah saya mbedingkrang melepas pantat merebah. Empuk juga.

Lagi-lagi saya ditanyai, ini sama ini bagus mana? Wah, kayaknya ni orang ngajak berantem di tampat orang jualan. Sudah tau saya ini masih nggak ngeh sama selera mereka, eh masih dimintai pendapat. Ya pastinya kalo diajak carok langsung saya iyakan. Tapi janganlah. Masa kelahi sama perempuan. Kan gak nikmat.

Lalu ada lagi. Ketika saya membuang-buang waktu di dalam kotak sampah yang dinamai televisi. Saya juga anyel melihatnya. Seorang perempuan meloncat dari libomnya. Berlarian di atas mobil orang yang kena macet. Dan dia pake rok yang tak begitu panjang. Cantik pula orangnya. Apa yang terjadi jika dia menginjak mobil Anda?

Untung ini hanya iklan. Sebuah eskrim yang siap meleleh. Namun harganya nggepuk’i. Buat saya sih. Yang ada di pikiran saya, kok bisa ya. Perempuan cantik lari di atas mobil. Apa lagi pakai rok yang panjangnya tak lebih dari sepertiga pahanya. Kenapa tidak lewat trotoar aja. Kata orang kan lebih sopan. Lha wong juga tak ada pekael jualan. Takutnya dia jatuh. Atau…hehe (pikiran kita sama)

Sudahlah. Biarkan perempuan berpolah sesukanya. Gak biasanya saya ngurus tetekbengek perempuan. Tapi kok aneh gitu kalau tak terurus. Oia, bentar lagi tanggal 14. Pebruari lagi. Pasti banyak tingkah yang aneh-aneh lagi.

Saya jadi ingat semasa esema. Saat saya mesih sedikit lugu. Ya gitu deh. Meski jelek-jelek gini saya pernah juga suka perempuan. Dan, bisa pula berbuat sedikit beradab pada perempuan. Biar saya ceritakan saja.

Kejadiannya sama. Maksud saya waktunya. Tanggal-tanggal segini di bulan pebruari. Si perempuan ini sudah menggebu-gebu harus dibalikan coklat. Buat tanggal 14 nanti sih. Apesnya, jangankan beli coklat, uang jajan saja tak pernah saya punya. Harga coklat kala itu setera uang saku saya seminggu. Betapa miskin saya.

Akhirnya dengan muka setebal dinding, saya tak belikan. Biarin. Meski rai gedek ndas teng. Saya cuek bebek. Tapi tidak hanya sampai di situ. Pikiran saya selangkah lebih maju darinya. Setahu saya, bulan berikutnya dia berulang tahun. Nah ini saya harus mempersiapkan segalanya mati-matian. Sesekali berbuat yang benar.  

Setibanya di hari h, saya masih belum terentaskan dari kemiskinan. Gaya hidup elit masih saja melekati saya. Ekonomi sulit. Uang yang saya sisihkan masih jauh dari cukup untuk membeli hadiah yang saya anggap pantas. Kalau sudah kepepet, ati karep bondo cupet, jalan pasti kebuka. Walhasil uang spp kena tilep. Jadilah sebuah kado istimewa yang tak terduga. Romantis bukan? Tapi si dia tetap tak boleh tahu kalau ini duit panas. Yang penting heppy.

Nah, ulah apa yang sekiranya Anda bikin tiga hari kedepan. Bikinlah ulah yang unik. Biar nanti bisa menambah file catatan saya. Dan sedikit memberikan cerita konyol. Terutama Anda yang berperempuan tapi tak berduit. Laik saya.

Ayo menulis

0 komen

Aku mencoba membakar semangatku lagi untuk menulis. Tanpa mempedulikan seperti apa nanti hasilnya. Yang pasti satu inginku, ada sebuah tulisan yang bisa dibaca. Kegalauan pikiran bukan saatnya lagi menguasai tubuh ini. Apa jadinya kalau setiap penulis mogok menulis karena pikirannya sedang tidak enak. Akan kebingungan seorang yang kesehariannya dugunakan untuk membaca, jika tidak ada yang menulis lagi.
Perutku terasa perih. Terakhir aku makan kemarin siang. Itu pun numpang di rumah seorang teman. Hari ini memasuki tanggal tiga puluhan, uang sakuku telah ludes sejak beberapa hari yang lalu. Agaknya gak nyambung ya,hehe.
Memang tidak dapat dipungkiri, jika ingin menulis bagus itu sulit. Tapi tidak pernah menulis dan mengharap sesekali menulis hasilnya akan bagus itu mustahil. Dari sekian banyak penulis-penulis yang sempat aku kenal, semua berkata, ”hanya satu jika ingin menjadi penulis yang baik, menulislah terus!” Begitulah kurang lebih.
Suatu ketika ada yang bilang tulisanku ini jelek. Dan bahkan hingga sekarang masih tetap saja jelek. Tapi tidak kupungkiri itu. Bagiku itu tidak penting. Karena jika mengkungkungkan pikiran pada hal itu, tidak jadi nulis lak an aku. Bagiku sesuatu yang penting justru terletak pada prosesnya, bukan sekadar tulisan ini.
Bagi yang belum pernah menulis seperti ini, aku yakin tidak akan pernah mengalami apa yang aku rasakan. Pikiran ini serba takut kalau dihadapkan dengan kewajiban menghasilkan tulisan yang bagus. Rasa takut kalau-kalau tulisan ini tidak runtut. Kalau kata-kata yang aku gunakan jelek. Kalau bahasanya tidak baik dan kaku. Dan masih banyak kalau-kalau yang lain.
Saat itu begitu mendebarkan. Jantung berdetak-detak seperti biasa, lebaih dech. Kegeraman begitu membuncah. Rasanya ingin tumpah bersamaan. Ya, seperti yang aku bilang tadi, bagi yang tidak pernah menulis, tentu tidak merasakan apa yang aku rasakan.
Kadang ada yang menganggap tulisan-tulisanku ini bagus. Mampu menginspirasi. Ah bagiku itu berlebihan. Siapa saja yang menemui tulisanku ini akan menganggapnya biasa-biasa saja. Bahkan bisa saja dimasukkan dalam kategori jelek.
Kalau kataku yang bisa mengispirasi bukan semata-mata tulisanku yang jelek ini. Tapi saat aku menceritakan bagaimana tulisan ini dibuat. Karena di situ, ada banyak pertautan dan pertentangan yang aku alami. Juga tidak jauh beda seperti yang mereka alami saat menulis.
Tapi kini bagiku menulis menjadi bagian yang menarik. Apa-apa yang ada dalam pikiranku bisa aku tuangkan melalui tulisan. Jadi tidak terus-menerus muter-muter di dalam tempurung kepala. Yang akhirnya menambah sesak pikiran. Bukankah itu hal yang biasa.
Sebelumnya, aku paling tidak suka ada istilah atau kata hal pada setiap tulisan. Minimal aku selalu mencobanya mengganti dengan obyek yang jelas. Aku ingat kembali sedikit pelajaran bahasa indonesia saat kelas tiga esempe.
Saat itu guruku mengajarkan untuk tidak membiasakan menggunakan kata ganti itu untuk menunjuk obyek. Kalau-kalau ada yang mengerjakan tugas masih sering menggunakan kata itu, langsung tanpa kompromi dikasih tanda silang. Dan ditarik tanda panah dengan keterangan, pada waktu itu ia sering menyontohkan nama orang, nama-nama orang yang pernah dia tahu. Aneh memang menurutku saat itu.
Baiklah, kalau masih belum bisa menangkap apa maksudku, aku akan menyontohkan kata yang salah. Begini misalnya. Pedagang itu, orang itu, dan itu-itu yang lain. Langsung dengan nada kesal ia menyebutkan beberapa nama untuk menggantikan pedagang itu atau orang itu.
Baiklah kembali lagi kepada pikiran yang muter-muter dalam batok kepala. Tidak bisa disangkal memang. Dari banyak cerita, menulis itu sebegitu sulit. Berat. Menyebalkan. Tapi bagiku itu semua bohong belaka. Sudah sering pula aku menyerahkan buku catatanku untuk ditulisi. Buku itu aku serahkan kepada beberapa teman yang selalu mengeluh jika menyinggung kata menulis.
Aku mengintruksikan untuk menulis sesuai apa yang ia mau. Malahan aku sempat heran, apa benar tulisan yang ada di buku catatanku itu ia yang buat. Tulisannya bisa berlembar-lembar. Bahkan katanya masih banyak lagi yang belum sempat ia tuliskan. Bukankah itu aneh? Padahal ia sering mengeluh, untuk menuliskan satu kalimat saja membutuhkan waktu yang lama.
Kalau menggunakan komputer, biasanya tombol backspace sering ditekan daripada tombol yang bertuliskan alfabet. Kalau pun menulis di kertas, pandangannya melongo. Melihat sekitar seperti orang sedang linglung. Dan kertas itu, yang seharusnya hanya berisi tulisan, tampak seperti di-layout. Karena juga berhiaskan goresan-goresan yang tidak membentuk huruf.
Dari situ ada sebuah pelajaran yang sering luput dari kesadaran mereka. Sebenarnya sama seperti yang aku alami. Aku juga pernah bercerita itu kepada mereka. Kalau di saat menulis tiba-tiba buntu, tidak nyambung, atau bosen. Kalau aku, ya aku tulis aja apa yang ada di pikiranku. Entah itu kata, ”pikiranku tiba-tiba buntu. Tidak tahu lagi apa yang hendak aku tulis.” Atau juga,”aku sedang bosen. Masa aku disuruh menulis sampai larut malam seperti ini, sedang yang lainnya enak-enakan tidur. Memang kurang ajar redakturku itu. ingin rasanya tak cabik-cabik.” Begitu dan seterusnya.
Hingga rasa tiba-tiba buntu atau bosen itu hilang dengan sendirinya. Karena telah ikut ditumpahkan dalam tiulisan. Lalu kalau ingin lanjut menulis, ya langsung saja. Nanti tidak usah bingung bagaimana cara menyambungkannya dengan tulisan yang digagas di awal. Cukup tuliskan,” baiklah, aku telah kembali.” Atau, ”kembali pada pembicaraan semula.” Biarkan saja tulisan-tulisan yang berisikan tentang keluhan ’pikiran yang buntu’ atau ’pikiran yang bosen’ itu tetap ada.
Karena, pertama: kalau kita lihat tulisan yang sulit kita buat itu tadi, sudah lama nulis kok kelihatannya masih sedikit, kan bisa nampak lebih banyak jika diselinggi tulisan-tulisan tentang keluhan itu. Dan biasanya kalau tulisan nampak lumayan banyak, giroh untuk melanjutkannya itu akan segera muncul. Dan ada rasa senang tersendiri.
Kedua: paling tidak kalau tulisan itu dibaca redaktur atau siapa pun, mereka pasti akan tertawa. Mereka akan terhibur. Paling tidak dengan keluhan atau umpatan kepada redaktur tadi. Saat meng-edit mungkin ia akan sedikit marah bercampur geli. Tapi biarkan saja itu. Satu keyword-nya, keberanian! Aku belum melihat itu ada pada beberapa penulis pemula. Meraka kalah dengan rasa takutnya.
Untuk mengalahkan kebuntuan di kala tengah menulis. Akhirnya menulis terasa sulit. Ya, seperti yang aku bilang tadi. ”semua pikiran ingin tumpah ruah bersama saat kita mulai menulis.” Tapi itu tidak baik. Karena akan membingungkan kita.
Rasanya tidak ada lagi yang ingin aku sampaikan. Hanya saja coba lakukan. jangan terpancing ikut-ikutan gaya penulisan yang aneh-aneh. Cukup gunakan bahasamu sendiri saja. Karena memikirkan untuk memilih kata-kata yang mendayu-dayu sendiri akan menguras pikiran. Dan menyita waktu untuk menulis. Yang paling mendasar adalah esensi yang ingin kita sampaikan itu mengena kepada pembaca. Bukankah sesederhana itu! Ke tahapan berikutnya.
Kalau ingin menambah perbendaharaan kata, maka keyword-nya adalah membaca. Bisa membaca komik, cerpen, atau novel. Biasanya dari bacaan-bacaan itu ada kata-kata yang bisa kita tiru. Lalu kita kembangkan. Katanya proses untuk menjadi ahli itu ada tiga tahapan. Untuk mudahnya diingat, biasa disebut ATM. Amati, Tiru, Modivikasi.
Dari membaca, banyak yang akan kita gali. Tapi ada formula sederhana jika ingin menjadi penulis. Menulislah dulu dengan bahasamu, untuk menulis sederhana. Lalu membacalah untuk menulis dengan menggunakan gaya bahasa atau istilah yang lebaih. Yang saya sesalkan, tulisan ini hanya akan menjadi bahan bacaan saja. Setelah itu tidak diaplikasikan. Dan akhirnya tidak berguna.
Aku sadar, sorang pembaca berhak datang dan pergi seperti apa yang ia mau untuk sebuah tulisan. Tanpa ada kehendak memaksa dari penulis kepada pembaca melakukan apa yang ada dalam tulisan. Namun tak ada yang aku sesalkan. Dengan menulis, bagiku ada kebanggan tersendiri yang itu lebih dari segala-galanya.
Dan itu hanya bisa dirasakan oleh seorang penulis saja. Utamanya penulis yang telah merampungkan tulisannya. Rasa lelah, otot kaku semua terbayar tuntas. Kalau kata Sujewo Tedjo, jadilah Easy going, menganggap enteng segala sesuatu, adalah petruk. Juga selalu membantah, tapi bener, seperti bagong. Menyenangkan!
 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere