Kepo Mah Biasa

0 komen

Katanya ini istilah gaul—gaya uler. Entah diadopsi dari bahasa mana saya tidak tahu. Tidak, bukan saya tidak tahu, tapi tidak kepingin tahu. Biar tidak dianggap kepo. Yang jelas setahu saya, kepo tidak ada dalam kamus. Kamus saya.

Lain lubuk lain ilalang memang. Kalau kata Blora, kepo itu nyata ada dalam KBBI, yakni Knowing Every Particular Object. Persetan dengan artinya, silahkan anda artikan sendiri. Kalau tidak ingin saya katai kepo.

Pablik figur ini loh mbok ya memberi sesuatu yang bermanfaat. Selalu saja sensasi yang tidak bersensasi ditebar semau udele dewe. Yang alay lah, sotoy lah, jayus tambunan lah, dan akhir-akhir ini Blora coba memboomingkan istilah “bapak rugi.” Lagi-lagi saya tidak ingin kepo pada mereka. Maksutnya?

Siapa tidak naik pitam, kalau selalu dikatai kepo. Sungguh sial sekali bukan. Tiap tanya dijawab kepo. Duh gusti, apa salah hambamu ini. “Kok kamu kepo,” jawab Gusti. Sialkan kalau digitukan. Apapun yang berbau unsur tanya, kepolah jawabannya.

Rasanya ingin tak sobek-sobek mulutmu. Biar sekalian gak bisa bilang apa-apa. Sungguh biadab si kepo ini. Namun, yang paling enak itu kalau ada yang nanya, trus saya jawab,”Kok kepo seh.” Buwahahahaha, lumayan juga kan, bisa membalas sesekali.

Harusnya sama-sama dipahami aturan main. Buanglah kepo pada tempatnya. Biar gak sedikit-sedikit bilang kepo. Masa bilang kepo kok sedikit-sedikit. Loh kan saya jadi semrawut. 

Saya tidak habis pikir jika kepo ini meradang ke seluruh organ kehidupan di alam indonesia raya. Saat murid-murid sekolah ditanya gurunya, “PR-nya sudah dikerjakan?” ”Pak Guru kok kepo.” Terus lagi jika ada yang tanya, “Mas, Puger sebelah mana?” “Dasar kepo!” Agaknya bisa runyam betul bangsa ini. Hanya berangkat dari sebuah kepo yang disalah artikan.

“Mbak, harganya berapa?” “Kamu kepingin tak kepo?”  Nah, kalau ini dialog apaan ya? 

Untuk ngatasi kepo mah kecil. Gak semua teladan itu oke. Gak semua juga gak oke. Kadang ada teladan yang njancuk’i. Nah, ini teladan yang saya gadang-gadang bisa menandingi kata kepo. Jancuk.

Untuk melawan virus kepo yang merebak, perlu diturunkan serdadu-serdadu dari Republik Jancukkers. Saya rasa itu sangat perlu. Apalagi kini kepo sudah menjangkit ranah yang bukan pada tempatnya. Kepo sembarangan.

“Mbak, mau kemana?” “Kamu kok kepo.” “Jancuk!” Nah kan, jelas sudah maksud saya. Tapi ingat, serdadu dari Republik Jancukkers juga tidak bisa disalah turunkan di semua medan. Bisa-bisa mulut anda kena tonyor. Sekian. Ciyus, miapah?

Nulis dari Ngomong

0 komen

Sebenarnya saya tidak butuh sebentuk pernyataan dari siapapun. Untuk membenarkan pendapat saya. Hanya saja, saya tidak sengaja menemukan pendapat yang serupa. Itu makin meneguhkan pendapat saya yang lebih terdengar konyol. 

Cerita saja dulu. Memang sebenarnya ini bukan murni pendapat yang muncul dari angan-angan saya. “Menulis itu sama dengan ketika kamu bicara. Ada kalanya kamu ngomong seenaknya. Juga dalam situasi tertentu harus boso.” 

Itu jawaban dari senior saya ketiika saya menghadapi ganjalan saat hendak menulis laporan kuliah. Saya suka menulis. Siapa yang tidak tahu itu. Namun ketika harus membuat semacam makalah, saya dilingkupi sindrom writer’s block.

Kok rasanya tata bahasa yang saya gunakan sungguh-sungguh jauh dari etis. Terkesan embongan. Dan dari jawaban senior saya itu, saya perlahan paham. Ketika saya bicara dengan teman tentu bahasanya akan beda ketika saya bicara dengan dosen misalnya.

Nah, ini cerita saya, anda? Mungkin anda tidak terlalu sudi memikiri urusan remeh temeh macam ini. Bagi anda, masih banyak urusan yang lebih penting dan menunggu untuk segera diurus. Iya kan! Dan saya juga malas ngurusi urusan anda, so sekarep wae lah.Dan saya akan tetap melanjutkan tulisan ini. 

Itu tadi saya coba mengandap-asorkan sebuah pernyataan dari senior saya yang memiliki keulungan tingkat tinggi dalam menulis. Dan rupanya masih banyak yang musti saya perbuat untuk mengupgrade kepiawaian saya menulis.

Beberapa kali saya membuat tulisan sekenanya. Dengan tatakelola bahasa yang sesuai. Kepada siapa saya ingin sajikan tulisan itu. Dan hasilnya saya rasa lumayan mengena. Dari itu perlahan saya dapat merasakan bedanya.

Dan bila ada yang berkilah tentang kesulitan menulis, saya balik tanya. “Kamu bisa ngomong? Coba misalkan setiap katamu itu ditulis. Nulis itu sama dengan ketika kamu bicara.” Seharusnya semudah itu. Namun nyatanya kok mereka tidak ngeh dengan maksud saya.
  
Memang tidak ada yang instan. Kecuali sajian-sajian murahan. Yang kadang bisa bikin penuaan dini. Tapi mudahnya ya gitu, nulis sama dengan saat kita ngomong. Buat saya sih.
 
Lalu selang lama kemudian, saya menjumpai pendapat seperti ini. “menulis, ketika dilakukan secara benar, tak beda dengan orang bercakap-cakap.” Kata penulis Inggris kelahiran Irlandia, Laurance Sterne.

Nah kan, saya tidak nggedabul. Ada juga penulis yang tidak saya kenal namun memiliki pendapat serupa. Dan boleh anda tidak percaya saya. Tapi tolong percayai si penulis Inggris itu. Kan dia penulis beneran. Dan Inggris pula.

Ngoceh Jujur

0 komen

Ini ide tolol dan sedikit brutal. Ide ini muncul saat sendokan terakhir sarapan saya masuk mulut. Dan sebuah judul tulisan “Tentang DPR di Sebuah Tembok” dari blog AS Laksana.

Dari itu, pikiran ini langsung melayang-layang tak tentu arah. Dan mumpung lagi ada keyboard di hadapan saya, apa salahnya saya menuliskanya sahaja. Meski hanya terbatas. Tapi tak apa lah.

Ya, tentang DPR juga. Saya membayangkan dan mengamini bahwa anggota DPR adalah orang hebat. Yang mulanya bisa jadi dari golongan aktivis macam beberapa kawan saya yang inten ngopi dan melakukan tetek bengeknya di tempat alakadarnya. Di warung kopi sederhana, atau bahkan di sekretariat yang tidak selalu rapi dan bersih.

Coba pikir, apa yang berhasil mereka buat. Mereka berhasil menduduki kancah tertinggi pengabdian di negeri ini. Ya, sebagai pejabat negara. Yang pastiya akan terus berjuang untuk sebuah kebaikan yang lebih.

Namun naas juga. Akhir-akhir ini para pejabat kita lebih banyak diberitakan kemiringannya dibanding prestasi. Kira-kira apa penyebabnya? Ini hanya sejauh yang sahaya tahu saja. Saya sebagai udik yang gagap informasi. Maklum orang daerah yang tinggal di pinggiran.

Saya menduga—sebagai orang awam sahaja—dikarenakan berbagai kenikmatan yang telah melumuri mereka. Fasilitas-fasilitas yang jauh dari memadahi, semakin memanjakan. Jadi akan mengurangi itikad untuk menjadi lebih baik lagi. Karena ya, cukuplah.

Bayangkan dengan kondisi apa adanya dan mepet. Pasti mereka akan bekerja sekuat tenaga untuk yang lebih baik. Iya atau tidak? Seperti mereka dulunya, yang sering ngecer rokok dan join kopi lantaran duit pas-pasan. Justru kondisi itu yang membuat mereka jadi orang hebat.

Kalau tuisan ini salah, ya mohon kerelaan hati para pembaca yang budiman untuk memaafkan. Kalau dirasa ada benarnya, datangnya dari Tuhan. Manusia hanya bisa berusaha. Sekian. Amin.

 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere