Katanya ini istilah gaul—gaya
uler. Entah diadopsi dari bahasa mana saya tidak tahu. Tidak, bukan saya tidak
tahu, tapi tidak kepingin tahu. Biar tidak dianggap kepo. Yang jelas setahu
saya, kepo tidak ada dalam kamus. Kamus saya.
Lain lubuk lain ilalang memang.
Kalau kata Blora, kepo itu nyata ada dalam KBBI, yakni Knowing Every Particular Object. Persetan dengan artinya, silahkan
anda artikan sendiri. Kalau tidak ingin saya katai kepo.
Pablik figur ini loh mbok ya memberi sesuatu yang
bermanfaat. Selalu saja sensasi yang tidak bersensasi ditebar semau udele dewe. Yang alay lah, sotoy lah, jayus tambunan lah, dan akhir-akhir ini
Blora coba memboomingkan istilah
“bapak rugi.” Lagi-lagi saya tidak ingin kepo pada mereka. Maksutnya?
Siapa tidak naik pitam, kalau
selalu dikatai kepo. Sungguh sial sekali bukan. Tiap tanya dijawab kepo. Duh
gusti, apa salah hambamu ini. “Kok kamu kepo,” jawab Gusti. Sialkan kalau
digitukan. Apapun yang berbau unsur tanya, kepolah jawabannya.
Rasanya ingin tak sobek-sobek mulutmu. Biar sekalian
gak bisa bilang apa-apa. Sungguh biadab si kepo ini. Namun, yang paling enak itu
kalau ada yang nanya, trus saya jawab,”Kok
kepo seh.” Buwahahahaha, lumayan juga kan, bisa membalas sesekali.
Harusnya sama-sama dipahami
aturan main. Buanglah kepo pada tempatnya. Biar gak sedikit-sedikit bilang
kepo. Masa bilang kepo kok sedikit-sedikit. Loh kan saya jadi semrawut.
Saya tidak habis pikir jika kepo
ini meradang ke seluruh organ kehidupan di alam indonesia raya. Saat murid-murid
sekolah ditanya gurunya, “PR-nya sudah dikerjakan?” ”Pak Guru kok kepo.” Terus lagi jika ada yang
tanya, “Mas, Puger sebelah mana?” “Dasar kepo!” Agaknya bisa runyam betul
bangsa ini. Hanya berangkat dari sebuah kepo yang disalah artikan.
“Mbak, harganya berapa?” “Kamu
kepingin tak kepo?” Nah, kalau ini dialog apaan ya?
Untuk ngatasi kepo mah kecil. Gak
semua teladan itu oke. Gak semua juga gak oke. Kadang ada teladan yang njancuk’i. Nah, ini teladan yang saya
gadang-gadang bisa menandingi kata kepo. Jancuk.
Untuk melawan virus kepo yang
merebak, perlu diturunkan serdadu-serdadu dari Republik Jancukkers. Saya rasa
itu sangat perlu. Apalagi kini kepo sudah menjangkit ranah yang bukan pada tempatnya.
Kepo sembarangan.
“Mbak, mau kemana?” “Kamu kok
kepo.” “Jancuk!” Nah kan, jelas sudah maksud saya. Tapi ingat, serdadu dari
Republik Jancukkers juga tidak bisa disalah turunkan di semua medan. Bisa-bisa
mulut anda kena tonyor. Sekian. Ciyus, miapah?