Lebaran 1434



Suara takbir itu terdengar bising sekali. Hingga harus membangunkanku dari lelap tidur. Sayup-sayup di pagi yang buta dan terus-menerus melantun. Mulanya aku menyangka derap nada bertalu-talu itu berasal dari rekaman ataupun radio. Biasanya jam segini orang-orang sudah pada teler.

Dugaanku ada benarnya. Suara takbir itu memang rekaman. Lalu dugaanku menjadi salah ketika nada mulai terdengar lain. Kedapatan seseorang meraih mikropon dan melakukan takbir alakadarnya dengan suara terbata-bata. Dan kadang diselingi senda gurau. Ya, kali ini memang manusia yang masih terjaga dalam pelukan malam yang dingin.

Tahu kah kau, bahwa hawa malam di rumahku yang udik memang dingin. Dimulai dari suasana alam yang digin inilah sebuah keluarga penuh kehangatan dibangun. Inilah tempatku menempa otot-otot tubuh ini. Hingga kini, beginilah adanya.

Lama sudah. Dari rumah sederhana ini memang semua berawal. Rumahku tidak mewah. Malahan jauh dari kata bagus. Tungku selalu saja mengepul memberikan sebagian kehangatan. Dan hanya padam ketika semua telah terlelap. Dan kembali menebar hangat dan baranya saat orang-orang mulai terbangun.

Begitulah. Aku tiba-tiba ingat jaman yang sudah lama berlalu. Saat harus dibangunkan pagi-pagi yang benar dinginya. Lalu sambil kelopak mata ini lengket beradu, apa yang aku lakukan. Ialah duduk termangu di depan tunggku. Menghangatkan badan. Setelah hangat, jadi tambah malas mandi. Setelah mandi, lagi-lagi menghangatkan tubuh di muka tungku yang membara.

Lalu, lantaran kena panas yang berlebih, kulit pada dengkul dan kaki ku seperti telo bakar. Kering mbekisik. Dan nampak seperti tidak pernah kena air. Sungguh nggilani waktu itu. Lalu jarak yang cukup jauh harus aku tundukkan untuk mencapai sekolahan. Tidak ada angkutan umum, tidak usum  antar jemput. Ya, aku memang harus berdiri kokoh di kaki sendiri.

Sekolah SD ku adalah sekolah paling bagus kala itu. Lantaran ada beberapa sekolah yang memang hancur di daerah tetangga. Dan aku tidak pernah setidaknya pergi ke kota untuk membandingkannya dengan sekolah lain. Aku pergi kekota hanya sekali setahun. Menjelang lebaran untuk belanja pakaian dan sepatu baru. Atau kalau harus terpaksa berobat sebab sedang didera penyakit.

Mungkin kau tahu, aku ini sangat ringkih. Bila dibanding dua sodaraku. Badanku kecil, sehingga kepalaku nampak lebih besar. Dan setiap hari mimisan. Hampir tiap malam aku mimisan. Saat tidur, aku harus menengadahkan hidungku bila terasa sesuatu hendak mengalir dari lubang hidung. Jika tidak, maka bercak-bercak tetesan darah akan kian banyak menghiasi sawal bantalku. Kadang saat sedang menulis di sekolah, darah itu tiba-tiba menetes dari hidung. Dan sungguhpun tidak ada yang merisaukan tentang itu. Karena aku memang dikenal sebagai tukang mimisan.

Anehnya, saat diperiksakan ke dokter, tidak ditemukan sebuah gejala yang berbahaya. Katanya tidak apa-apa. Dan ternyata memang tidak apa-apa, paling tidak sejauh ini. Mimisan sudah jarang ku alami. Hanya saja, saat tubuh ini dibekap penyakit yang agak parah, maka mimisan akan kambuh. Dan buatku, aku menganggap jika mimisan sudah kambuh, itu petanda aku akan sembuh dari penyakitku. Dan itu sering benar, meski juga tidak.

Tapi aku tidak seringkih itu. Kau tahukan. Itu cerita lama. Bukankah kau kenal aku yang sekarang. Yang tidak lagi nampak seperti anak berkepala besar. Meski masih dengan daun telinga yang lebar. Dan bertubuh tidak seperti tulang lunak.

Masa-masa itu memang manis untuk dikenang. Meski dulu rasanya berat untuk dijalani. Kini waktu sudah jauh melangkah ke depan. Usiaku sudah seperempat abad. Tiga sodaraku sudah membingkai keluarga sendiri dengan rapi. Memiliki rumah dambaan masing-masing. Dan jauh dari udik rumah tempat kami tumbuh.

Mungkin benar katamu, sobat. Aku harus pulang. Paling tidak untuk tiap lebaran. Karena ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa berkumpul kembali sebagai keluarga besar. Aku harus menahan egoku untuk menikmati suasana beda seperti yang selalu aku inginkan. Lebaran di suatu tempat yang jauh dari rumah.

Inilah keluargaku. Keluarga besarku yang hangat. Dan rumahku. Rumah yang sederhana dengan orang-orang luar biasa, anggapku.

Tahu kah kau, aku akan selalu tidur di kursi ruang tamu. Di rumah ini ada enam tempat tidur. Memang saat semua kumpul itu menjadi kurang. Tapi bayangkan saat hanya tinggal dua orang saja. Dan aku akan tetap setia tidur di kursi panjangku. Dengan atau tanpa sisa kamar yang masih kosong. Karena dengan begitu, aku selalu bisa melihat akuarium yang aku hias sendiri. Dengan beberapa ikan molek berenang. Meski tak sebagus itu, aku tetap bersikukuh inilah yang paling bagus. karena ini muliku, bagian dari keluarga besarku.

Seperti aku tahu, aku berharap kau pun tahu. Bahwa menulis adalah sebuah cerita yang tidak pernah berkesudahan. Mungkin aku akan menyudahi tulisan atau cerita ini. Tapi aku siap untuk membuat cerita atau tulisan lagi di lain kesempatan. Entah masih dengan isi yang sama atau beda. Dan, ku harap kau memang benar-benar tahu.
Selesai jam 03.36 pagi

0 komen:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere