Suara takbir itu terdengar bising
sekali. Hingga harus membangunkanku dari lelap tidur. Sayup-sayup di pagi yang
buta dan terus-menerus melantun. Mulanya aku menyangka derap nada bertalu-talu
itu berasal dari rekaman ataupun radio. Biasanya jam segini orang-orang sudah
pada teler.
Dugaanku ada benarnya. Suara
takbir itu memang rekaman. Lalu dugaanku menjadi salah ketika nada mulai
terdengar lain. Kedapatan seseorang meraih mikropon dan melakukan takbir
alakadarnya dengan suara terbata-bata. Dan kadang diselingi senda gurau. Ya,
kali ini memang manusia yang masih terjaga dalam pelukan malam yang dingin.
Tahu kah kau, bahwa hawa malam di
rumahku yang udik memang dingin. Dimulai dari suasana alam yang digin inilah
sebuah keluarga penuh kehangatan dibangun. Inilah tempatku menempa otot-otot
tubuh ini. Hingga kini, beginilah adanya.
Lama sudah. Dari rumah sederhana
ini memang semua berawal. Rumahku tidak mewah. Malahan jauh dari kata bagus.
Tungku selalu saja mengepul memberikan sebagian kehangatan. Dan hanya padam
ketika semua telah terlelap. Dan kembali menebar hangat dan baranya saat
orang-orang mulai terbangun.
Begitulah. Aku tiba-tiba ingat
jaman yang sudah lama berlalu. Saat harus dibangunkan pagi-pagi yang benar
dinginya. Lalu sambil kelopak mata ini lengket beradu, apa yang aku lakukan.
Ialah duduk termangu di depan tunggku. Menghangatkan badan. Setelah hangat,
jadi tambah malas mandi. Setelah mandi, lagi-lagi menghangatkan tubuh di muka
tungku yang membara.
Lalu, lantaran kena panas yang
berlebih, kulit pada dengkul dan kaki ku seperti telo bakar. Kering mbekisik. Dan nampak seperti tidak pernah kena air. Sungguh nggilani waktu itu. Lalu jarak yang cukup jauh harus aku tundukkan
untuk mencapai sekolahan. Tidak ada angkutan umum, tidak usum antar jemput. Ya, aku
memang harus berdiri kokoh di kaki sendiri.
Sekolah SD ku adalah sekolah
paling bagus kala itu. Lantaran ada beberapa sekolah yang memang hancur di
daerah tetangga. Dan aku tidak pernah setidaknya pergi ke kota untuk
membandingkannya dengan sekolah lain. Aku pergi kekota hanya sekali setahun.
Menjelang lebaran untuk belanja pakaian dan sepatu baru. Atau kalau harus
terpaksa berobat sebab sedang didera penyakit.
Mungkin kau tahu, aku ini sangat
ringkih. Bila dibanding dua sodaraku. Badanku kecil, sehingga kepalaku nampak
lebih besar. Dan setiap hari mimisan. Hampir tiap malam aku mimisan. Saat
tidur, aku harus menengadahkan hidungku bila terasa sesuatu hendak mengalir
dari lubang hidung. Jika tidak, maka bercak-bercak tetesan darah akan kian
banyak menghiasi sawal bantalku. Kadang
saat sedang menulis di sekolah, darah itu tiba-tiba menetes dari hidung. Dan
sungguhpun tidak ada yang merisaukan tentang itu. Karena aku memang dikenal
sebagai tukang mimisan.
Anehnya, saat diperiksakan ke
dokter, tidak ditemukan sebuah gejala yang berbahaya. Katanya tidak apa-apa.
Dan ternyata memang tidak apa-apa, paling tidak sejauh ini. Mimisan sudah
jarang ku alami. Hanya saja, saat tubuh ini dibekap penyakit yang agak parah,
maka mimisan akan kambuh. Dan buatku, aku menganggap jika mimisan sudah kambuh,
itu petanda aku akan sembuh dari penyakitku. Dan itu sering benar, meski juga
tidak.
Tapi aku tidak seringkih itu. Kau
tahukan. Itu cerita lama. Bukankah kau kenal aku yang sekarang. Yang tidak lagi
nampak seperti anak berkepala besar. Meski masih dengan daun telinga yang
lebar. Dan bertubuh tidak seperti tulang lunak.
Masa-masa itu memang manis untuk
dikenang. Meski dulu rasanya berat untuk dijalani. Kini waktu sudah jauh
melangkah ke depan. Usiaku sudah seperempat abad. Tiga sodaraku sudah
membingkai keluarga sendiri dengan rapi. Memiliki rumah dambaan masing-masing.
Dan jauh dari udik rumah tempat kami tumbuh.
Mungkin benar katamu, sobat. Aku
harus pulang. Paling tidak untuk tiap lebaran. Karena ini adalah satu-satunya
cara agar aku bisa berkumpul kembali sebagai keluarga besar. Aku harus menahan
egoku untuk menikmati suasana beda seperti yang selalu aku inginkan. Lebaran di
suatu tempat yang jauh dari rumah.
Inilah keluargaku. Keluarga
besarku yang hangat. Dan rumahku. Rumah yang sederhana dengan orang-orang luar
biasa, anggapku.
Tahu kah kau, aku akan selalu
tidur di kursi ruang tamu. Di rumah ini ada enam tempat tidur. Memang saat
semua kumpul itu menjadi kurang. Tapi bayangkan saat hanya tinggal dua orang
saja. Dan aku akan tetap setia tidur di kursi panjangku. Dengan atau tanpa sisa
kamar yang masih kosong. Karena dengan begitu, aku selalu bisa melihat akuarium
yang aku hias sendiri. Dengan beberapa ikan molek berenang. Meski tak sebagus
itu, aku tetap bersikukuh inilah yang paling bagus. karena ini muliku, bagian
dari keluarga besarku.
Seperti aku tahu, aku berharap
kau pun tahu. Bahwa menulis adalah sebuah cerita yang tidak pernah
berkesudahan. Mungkin aku akan menyudahi tulisan atau cerita ini. Tapi aku siap
untuk membuat cerita atau tulisan lagi di lain kesempatan. Entah masih dengan
isi yang sama atau beda. Dan, ku harap kau memang benar-benar tahu.
Selesai jam 03.36 pagi
0 komen:
Post a Comment