Mboh Ra Ngurus

0 komen
Saya hanya ingin sedikit bercerita. Jadi tolong perhatikan secara seksama. Ini bisa dibilang anekdot atau anehdot, saya tidak peduli. Ini tentang satu kebaikan untuk beberapa kebaikan lain. Di sini, mari kita bersama melawan ketidak mungkinan di lingkup sekitar kita. Dimulai dari situ dulu. Bukankah segala yang besar tidak jatuh dari langit begitu saja, melainkan harus dimulai dari yang kecil.

Idenya seperti ini. Tunggu, ini bukan murni dari pemikiran saya. Lantaran saya anggap ini baik, maka saya akan menceritakan ulang.

Baik, saya mulai saja. Ada seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Suatu ketika, gurunya meminta masing-masing murid untuk menceritakan keinginannya di masa depan, semacam cita-cita gitulah. Beberapa anak dengan antusias bercerita tentang astronot. Yang lain lagi tentang jendral lengkap dengan lencana aneka bentuk dan warna itu. Ada pula ingin jadi CEO di perusahaan terkenal, presiden dan banyak lagi.

Tibalah giliran si anak yang saya maksud. Dia mengambil kapur tulis. Lalu menggambar lingkaran-lingkaran kecil. Paling atas hanya satu lingkaran. Dari satu lingkaran itu ditariknya tiga garis kebawah dan diberi lingkaran pada ujung tiap-tiap garis. Dan begitu seterusnya.

Sementara itu teman sekelasnya kian bosan menyaksikan tingkah anak ini. Gurunya pun duduk menopang dagu sambil memutar-mutar pena di tangan lainnya. “Sudah selesai, begitu saja?” celetuk sang guru yang suaranya masih terdengar sangat jelas di antara riuh ramai murid yang lain.

“Belum.” Jawab dia. Dia menyambung kata-katanya “Lingkaran ini adalah lingkaran-lingkaran kebaikan. Setiap lingkaran akan menghasilkan...” “Iya baiklah. Cukup!” potong gurunya. Sebab terlalu bertele-tele dan tidak mudah dimengerti untuk anak seumuran sekolah dasar. Mungkin juga gurunya yang berpikiran kerdil. Akhirnya ia berhenti sebelum penjelasan dia selesaikan dan kembali duduk.

Tak lama berselang, bel petanda kelas berakhir menyudahi pelajaran hari itu. Ia pulang dengan sedikit mengantongi rasa kecewa. Atas tingkah teman-teman dan juga keputusan gurunya.

Oia, saya hampir lupa sesuatu. Dia punya seorang ayah yang bekerja di pabrik. Dan seorang ibu yang memiliki hubungan kurang harmonis di keluarganya. Sejujurnya ia tinggal bersama ayah dan neneknya. Kakeknya telah meninggal. Ibunya memiliki kediaman sendiri, meski tidaklah mewah.

Pada suatu ketika, anak itu pergi berjalan-jalan tidak jauh dari rumahnya. Lalu dia menjumpai seorang laki-laki dewasa yang masih lajang sedang duduk di deretan kursi taman. Si bocah menghampiri. Lalu dimulailah obrolan antara keduanya.

“Hari yang cerah, Paman,” “Iya nak. Kamu tidak pergi kesekolah?” “tidak Paman. Sekarang hari libur sekolahku.” “Oh begitu.” “Paman sendiri sedang apa di sini, Paman tidak bekerja?” “Paman sedang tidak bekerja.” “Oh, aku tahu, pasti ini hari libur juga ya di tempat Paman bekerja.” “Bukan begitu maksud Paman.” “Lalu apa?” “Paman berhenti bekerja dua hari lalu.”

Setelah itu pembicaraan mejadi hening. Mereka sama-sama melepaskan pandangan kosong ke arah depan sembari duduk. Tidak berapa lama kemudian, “Paman mari ikut aku.” “Kemana?” “Ayo Paman, Paman ikut saja.”

Mereka pergi berdua, menuju sebuah rumah. “Masuklah Paman, ini rumahku.” “Oia silakan duduk dulu.” Si anak meninggalkan Paman itu ke kamar. Lalu memecahkan tabungan dia yang terbuat dari lempung. Isinya memang tidak terlalu banyak. Namun lumayan untuk membantu Paman itu hingga dapat pekerjaan lagi.

“Paman ini uang tabunganku. Paman ambillah.” “Maaf, Panam tidak bisa mengambilnya.” Tidak apa-apa Paman. Ambil saja. Supaya paman bisa mendapatkan pekerjaan lagi.” “Baiklah. Tapi bagaimana Paman membalas kebaikanmu ini?” “Tidak usah terlalu dipikirkan Paman. Tapi jika Paman betul-betul ingin membalasnya, Paman lakukan saja kepada tiga orang lain yang lebih membutuhkan.” “Kamu tidak takut Paman bohongi?” “Melakukan kebaikan adalah cita-citaku Paman, jadi tidak masalah buatku.” “Baiklah. Terimakasih atas kebaikanmu nak. Paman pergi dulu. Sampai jumpa” “Iya Paman, sampai jumpa”

Begitu selanjutnya. Si Paman itu mendapat pekerjaan. Dan melakukan kebaikan kepada tiga orang yang berbeda. Dan tiga orang yang dibantunya itu juga melakukan hal yang sama. Perlahan tapi pasti, dan dimulai dari suatu yang kecil.

Hingga di sebuah kota yang jauh. Ada seorang yang sedang antri berobat. Penyakit asma yang mendera seorang anak orang kaya itu makin parah. Sedang antrian masih panjang hingga gilirannya. Pada kondisi itu, seorang laki-laki yang juga sedang mengantri, terpancing empatinya. Saat dokter keluar ruangan memanggil pasien dengan nomor urut terdepan, laki-laki itu mengeluarkan pistol dan menembakkannya sekali ke dinding. Semua orang berteriak.

Laki-laki itu menyuruh dokter segera menolong si anak yang asmanya kian memburuk. Orang tua si anak bilang terima kasih. Sedang si laki-laki itu harus berurusan dengan pihak berwajib. Kejadian itu tak luput dari perhatian wartawan. Silih berganti para wartawan menanyakan alasan laki-laki itu berbuat demikian.

Namun dia tidak pernah menjawab. Lalu orang tua yang merasa bahwa anaknya telah diselamatkan itu mendatanginya. Seraya berterima kasih dan hendak membalas kebaikan laki-laki itu. “Jika ingin membalas kebaikanku, lakukan pada tiga orang lain yang lebih membuthkan,” kata laki-laki itu.

“Dari mana pemikiran seperti itu?” “Ini pemikiranku sendiri.” “Tidak. Tidak mungkin. Tolong katakan yang sejujurnya. Barangkali saya bisa membalas kebaikan Anda kepada orang yang lebih berhak.” Akhirnya laki-laki itu bercerita panjang lebar. Tentang dia pernah ditolong seorang wanita dan disuruh melakukan seperti yang baru saja dia lakukan.

Dari kejauhan, nampaknya ada seorang juru warta tengah memperhatikan perbincangan itu. Lalu dia bergegas menelusuri wanita yang diacu. Selanjutnya ia menemui satu-persatu orang yang telah melakukan hal serupa. Sambil menyiarkan tiap hasil temuannya di headline televisi nasional. Hingga akhirnya tibalah dia pada sebuah rumah sederhana.

Saat itu si juru warta tidak lagi bekerja sendiri. Dia sudah menyiapkan segenap kru untuk bertemu satu-satunya yang diacu sebagai penggagas ide itu dan berniat menyiarkan pertemuannya secara langsung. Si juru warta dan krunya sedikit tercengang bahwa yang ditemuinya adalah seorang anak sekolah dasar. Tidak ada yang menyangka jika ide itu lahir dari kepala anak sekolah dasar yang bukan orang kaya.

Keluarganya kala itu sudah utuh—ayah, ibu, dan nenek—tinggal di rumah yang sama. Itu juga berkat kebaikan yang dilakukan anak itu. Setelah semakin populer, makin banyak orang yang percaya akan hal itu—kebaikan tidak selalu datang dari yang besar.

Saya tetap berusaha melakukan ini. Hingga sekarang. Sesuai kemampuan saya. Apakah ini akan berujung sia-sia—kalimat tanya itu tak pernah mengacau keteguhan pikiran saya. Bagi yang berkeinginan melakukan kebaikan-kebaikan, maka jangan menunggu besok-besok atau kapanpun. Cukup lakukan semampu Anda sekarang juga. Perkara hasil, itu urusan nanti. Karena dalam kamus hidup saya masih tertera dengan jelas bahwa proses adalah hasil. Dan hasil adalah bonus.


Lebaran 1434

0 komen


Suara takbir itu terdengar bising sekali. Hingga harus membangunkanku dari lelap tidur. Sayup-sayup di pagi yang buta dan terus-menerus melantun. Mulanya aku menyangka derap nada bertalu-talu itu berasal dari rekaman ataupun radio. Biasanya jam segini orang-orang sudah pada teler.

Dugaanku ada benarnya. Suara takbir itu memang rekaman. Lalu dugaanku menjadi salah ketika nada mulai terdengar lain. Kedapatan seseorang meraih mikropon dan melakukan takbir alakadarnya dengan suara terbata-bata. Dan kadang diselingi senda gurau. Ya, kali ini memang manusia yang masih terjaga dalam pelukan malam yang dingin.

Tahu kah kau, bahwa hawa malam di rumahku yang udik memang dingin. Dimulai dari suasana alam yang digin inilah sebuah keluarga penuh kehangatan dibangun. Inilah tempatku menempa otot-otot tubuh ini. Hingga kini, beginilah adanya.

Lama sudah. Dari rumah sederhana ini memang semua berawal. Rumahku tidak mewah. Malahan jauh dari kata bagus. Tungku selalu saja mengepul memberikan sebagian kehangatan. Dan hanya padam ketika semua telah terlelap. Dan kembali menebar hangat dan baranya saat orang-orang mulai terbangun.

Begitulah. Aku tiba-tiba ingat jaman yang sudah lama berlalu. Saat harus dibangunkan pagi-pagi yang benar dinginya. Lalu sambil kelopak mata ini lengket beradu, apa yang aku lakukan. Ialah duduk termangu di depan tunggku. Menghangatkan badan. Setelah hangat, jadi tambah malas mandi. Setelah mandi, lagi-lagi menghangatkan tubuh di muka tungku yang membara.

Lalu, lantaran kena panas yang berlebih, kulit pada dengkul dan kaki ku seperti telo bakar. Kering mbekisik. Dan nampak seperti tidak pernah kena air. Sungguh nggilani waktu itu. Lalu jarak yang cukup jauh harus aku tundukkan untuk mencapai sekolahan. Tidak ada angkutan umum, tidak usum  antar jemput. Ya, aku memang harus berdiri kokoh di kaki sendiri.

Sekolah SD ku adalah sekolah paling bagus kala itu. Lantaran ada beberapa sekolah yang memang hancur di daerah tetangga. Dan aku tidak pernah setidaknya pergi ke kota untuk membandingkannya dengan sekolah lain. Aku pergi kekota hanya sekali setahun. Menjelang lebaran untuk belanja pakaian dan sepatu baru. Atau kalau harus terpaksa berobat sebab sedang didera penyakit.

Mungkin kau tahu, aku ini sangat ringkih. Bila dibanding dua sodaraku. Badanku kecil, sehingga kepalaku nampak lebih besar. Dan setiap hari mimisan. Hampir tiap malam aku mimisan. Saat tidur, aku harus menengadahkan hidungku bila terasa sesuatu hendak mengalir dari lubang hidung. Jika tidak, maka bercak-bercak tetesan darah akan kian banyak menghiasi sawal bantalku. Kadang saat sedang menulis di sekolah, darah itu tiba-tiba menetes dari hidung. Dan sungguhpun tidak ada yang merisaukan tentang itu. Karena aku memang dikenal sebagai tukang mimisan.

Anehnya, saat diperiksakan ke dokter, tidak ditemukan sebuah gejala yang berbahaya. Katanya tidak apa-apa. Dan ternyata memang tidak apa-apa, paling tidak sejauh ini. Mimisan sudah jarang ku alami. Hanya saja, saat tubuh ini dibekap penyakit yang agak parah, maka mimisan akan kambuh. Dan buatku, aku menganggap jika mimisan sudah kambuh, itu petanda aku akan sembuh dari penyakitku. Dan itu sering benar, meski juga tidak.

Tapi aku tidak seringkih itu. Kau tahukan. Itu cerita lama. Bukankah kau kenal aku yang sekarang. Yang tidak lagi nampak seperti anak berkepala besar. Meski masih dengan daun telinga yang lebar. Dan bertubuh tidak seperti tulang lunak.

Masa-masa itu memang manis untuk dikenang. Meski dulu rasanya berat untuk dijalani. Kini waktu sudah jauh melangkah ke depan. Usiaku sudah seperempat abad. Tiga sodaraku sudah membingkai keluarga sendiri dengan rapi. Memiliki rumah dambaan masing-masing. Dan jauh dari udik rumah tempat kami tumbuh.

Mungkin benar katamu, sobat. Aku harus pulang. Paling tidak untuk tiap lebaran. Karena ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa berkumpul kembali sebagai keluarga besar. Aku harus menahan egoku untuk menikmati suasana beda seperti yang selalu aku inginkan. Lebaran di suatu tempat yang jauh dari rumah.

Inilah keluargaku. Keluarga besarku yang hangat. Dan rumahku. Rumah yang sederhana dengan orang-orang luar biasa, anggapku.

Tahu kah kau, aku akan selalu tidur di kursi ruang tamu. Di rumah ini ada enam tempat tidur. Memang saat semua kumpul itu menjadi kurang. Tapi bayangkan saat hanya tinggal dua orang saja. Dan aku akan tetap setia tidur di kursi panjangku. Dengan atau tanpa sisa kamar yang masih kosong. Karena dengan begitu, aku selalu bisa melihat akuarium yang aku hias sendiri. Dengan beberapa ikan molek berenang. Meski tak sebagus itu, aku tetap bersikukuh inilah yang paling bagus. karena ini muliku, bagian dari keluarga besarku.

Seperti aku tahu, aku berharap kau pun tahu. Bahwa menulis adalah sebuah cerita yang tidak pernah berkesudahan. Mungkin aku akan menyudahi tulisan atau cerita ini. Tapi aku siap untuk membuat cerita atau tulisan lagi di lain kesempatan. Entah masih dengan isi yang sama atau beda. Dan, ku harap kau memang benar-benar tahu.
Selesai jam 03.36 pagi
 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere