Saya hanya
ingin sedikit bercerita. Jadi tolong perhatikan secara seksama. Ini bisa
dibilang anekdot atau anehdot, saya tidak peduli. Ini tentang satu kebaikan
untuk beberapa kebaikan lain. Di sini, mari kita bersama melawan ketidak
mungkinan di lingkup sekitar kita. Dimulai dari situ dulu. Bukankah segala yang
besar tidak jatuh dari langit begitu saja, melainkan harus dimulai dari yang
kecil.
Idenya
seperti ini. Tunggu, ini bukan murni dari pemikiran saya. Lantaran saya anggap
ini baik, maka saya akan menceritakan ulang.
Baik, saya
mulai saja. Ada seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Suatu
ketika, gurunya meminta masing-masing murid untuk menceritakan keinginannya di
masa depan, semacam cita-cita gitulah.
Beberapa anak dengan antusias bercerita tentang astronot. Yang lain lagi
tentang jendral lengkap dengan lencana aneka bentuk dan warna itu. Ada pula
ingin jadi CEO di perusahaan terkenal, presiden dan banyak lagi.
Tibalah
giliran si anak yang saya maksud. Dia mengambil kapur tulis. Lalu menggambar
lingkaran-lingkaran kecil. Paling atas hanya satu lingkaran. Dari satu
lingkaran itu ditariknya tiga garis kebawah dan diberi lingkaran pada ujung
tiap-tiap garis. Dan begitu seterusnya.
Sementara
itu teman sekelasnya kian bosan menyaksikan tingkah anak ini. Gurunya pun duduk
menopang dagu sambil memutar-mutar pena di tangan lainnya. “Sudah selesai,
begitu saja?” celetuk sang guru yang suaranya masih terdengar sangat jelas di
antara riuh ramai murid yang lain.
“Belum.”
Jawab dia. Dia menyambung kata-katanya “Lingkaran ini adalah
lingkaran-lingkaran kebaikan. Setiap lingkaran akan menghasilkan...” “Iya
baiklah. Cukup!” potong gurunya. Sebab terlalu bertele-tele dan tidak mudah
dimengerti untuk anak seumuran sekolah dasar. Mungkin juga gurunya yang
berpikiran kerdil. Akhirnya ia berhenti sebelum penjelasan dia selesaikan dan
kembali duduk.
Tak lama
berselang, bel petanda kelas berakhir menyudahi pelajaran hari itu. Ia pulang
dengan sedikit mengantongi rasa kecewa. Atas tingkah teman-teman dan juga
keputusan gurunya.
Oia, saya
hampir lupa sesuatu. Dia punya seorang ayah yang bekerja di pabrik. Dan seorang
ibu yang memiliki hubungan kurang harmonis di keluarganya. Sejujurnya ia
tinggal bersama ayah dan neneknya. Kakeknya telah meninggal. Ibunya memiliki
kediaman sendiri, meski tidaklah mewah.
Pada suatu
ketika, anak itu pergi berjalan-jalan tidak jauh dari rumahnya. Lalu dia
menjumpai seorang laki-laki dewasa yang masih lajang sedang duduk di deretan
kursi taman. Si bocah menghampiri. Lalu dimulailah obrolan antara keduanya.
“Hari yang
cerah, Paman,” “Iya nak. Kamu tidak pergi kesekolah?” “tidak Paman. Sekarang
hari libur sekolahku.” “Oh begitu.” “Paman sendiri sedang apa di sini, Paman
tidak bekerja?” “Paman sedang tidak bekerja.” “Oh, aku tahu, pasti ini hari
libur juga ya di tempat Paman bekerja.” “Bukan begitu maksud Paman.” “Lalu
apa?” “Paman berhenti bekerja dua hari lalu.”
Setelah
itu pembicaraan mejadi hening. Mereka sama-sama melepaskan pandangan kosong ke
arah depan sembari duduk. Tidak berapa lama kemudian, “Paman mari ikut aku.”
“Kemana?” “Ayo Paman, Paman ikut saja.”
Mereka
pergi berdua, menuju sebuah rumah. “Masuklah Paman, ini rumahku.” “Oia silakan
duduk dulu.” Si anak meninggalkan Paman itu ke kamar. Lalu memecahkan tabungan
dia yang terbuat dari lempung. Isinya memang tidak terlalu banyak. Namun
lumayan untuk membantu Paman itu hingga dapat pekerjaan lagi.
“Paman ini
uang tabunganku. Paman ambillah.” “Maaf, Panam tidak bisa mengambilnya.” Tidak
apa-apa Paman. Ambil saja. Supaya paman bisa mendapatkan pekerjaan lagi.”
“Baiklah. Tapi bagaimana Paman membalas kebaikanmu ini?” “Tidak usah terlalu
dipikirkan Paman. Tapi jika Paman betul-betul ingin membalasnya, Paman lakukan
saja kepada tiga orang lain yang lebih membutuhkan.” “Kamu tidak takut Paman
bohongi?” “Melakukan kebaikan adalah cita-citaku Paman, jadi tidak masalah
buatku.” “Baiklah. Terimakasih atas kebaikanmu nak. Paman pergi dulu. Sampai
jumpa” “Iya Paman, sampai jumpa”
Begitu
selanjutnya. Si Paman itu mendapat pekerjaan. Dan melakukan kebaikan kepada
tiga orang yang berbeda. Dan tiga orang yang dibantunya itu juga melakukan hal
yang sama. Perlahan tapi pasti, dan dimulai dari suatu yang kecil.
Hingga di
sebuah kota yang jauh. Ada seorang yang sedang antri berobat. Penyakit asma
yang mendera seorang anak orang kaya itu makin parah. Sedang antrian masih
panjang hingga gilirannya. Pada kondisi itu, seorang laki-laki yang juga sedang
mengantri, terpancing empatinya. Saat dokter keluar ruangan memanggil pasien dengan
nomor urut terdepan, laki-laki itu mengeluarkan pistol dan menembakkannya
sekali ke dinding. Semua orang berteriak.
Laki-laki
itu menyuruh dokter segera menolong si anak yang asmanya kian memburuk. Orang
tua si anak bilang terima kasih. Sedang si laki-laki itu harus berurusan dengan
pihak berwajib. Kejadian itu tak luput dari perhatian wartawan. Silih berganti
para wartawan menanyakan alasan laki-laki itu berbuat demikian.
Namun dia
tidak pernah menjawab. Lalu orang tua yang merasa bahwa anaknya telah
diselamatkan itu mendatanginya. Seraya berterima kasih dan hendak membalas
kebaikan laki-laki itu. “Jika ingin membalas kebaikanku, lakukan pada tiga
orang lain yang lebih membuthkan,” kata laki-laki itu.
“Dari mana
pemikiran seperti itu?” “Ini pemikiranku sendiri.” “Tidak. Tidak mungkin.
Tolong katakan yang sejujurnya. Barangkali saya bisa membalas kebaikan Anda
kepada orang yang lebih berhak.” Akhirnya laki-laki itu bercerita panjang
lebar. Tentang dia pernah ditolong seorang wanita dan disuruh melakukan seperti
yang baru saja dia lakukan.
Dari
kejauhan, nampaknya ada seorang juru warta tengah memperhatikan perbincangan
itu. Lalu dia bergegas menelusuri wanita yang diacu. Selanjutnya ia menemui
satu-persatu orang yang telah melakukan hal serupa. Sambil menyiarkan tiap
hasil temuannya di headline televisi
nasional. Hingga akhirnya tibalah dia pada sebuah rumah sederhana.
Saat itu
si juru warta tidak lagi bekerja sendiri. Dia sudah menyiapkan segenap kru
untuk bertemu satu-satunya yang diacu sebagai penggagas ide itu dan berniat
menyiarkan pertemuannya secara langsung. Si juru
warta dan krunya sedikit tercengang bahwa yang ditemuinya adalah seorang anak
sekolah dasar. Tidak ada yang menyangka jika ide itu lahir dari kepala anak
sekolah dasar yang bukan orang kaya.
Keluarganya
kala itu sudah utuh—ayah, ibu, dan nenek—tinggal di rumah yang sama. Itu juga
berkat kebaikan yang dilakukan anak itu. Setelah semakin populer, makin banyak
orang yang percaya akan hal itu—kebaikan tidak selalu datang dari yang besar.
Saya tetap
berusaha melakukan ini. Hingga sekarang. Sesuai kemampuan saya. Apakah ini akan
berujung sia-sia—kalimat tanya itu tak pernah mengacau keteguhan pikiran saya.
Bagi yang berkeinginan melakukan kebaikan-kebaikan, maka jangan menunggu
besok-besok atau kapanpun. Cukup lakukan semampu Anda sekarang juga. Perkara
hasil, itu urusan nanti. Karena dalam kamus hidup saya masih tertera dengan
jelas bahwa proses adalah hasil. Dan hasil adalah bonus.
0 komen:
Post a Comment