Berlibur ke rumah uti

0 komen
Pada hari libur aku sangat bosan di rumah terus.
Dan aku langsung  keibu 
Ibuapakah mau ke rummahnya  uti rahasia dong?
Ibu ngapain nyiapkan bajuku dan bajunya semua 
Plis ke rumah uti 
Dan terus ibu memjawap iya sayang, 
Dan ayahku menelepo om roni.
Dan om roni datang ke rumahku, 
Dan aku masuk mobil nya om roni 
aku mengucapkan selamat tinggal bulik. 
Kerumah uti 8 jam.
Selama perjalanan,
Aku tidur. waktujam 12 aku 
Di bangunin sama ibu 
Aku kewarung selesai ke warung
Aku makan di sana 
Sama sama
Dan  aku melanjukan 
Perjalanan lagi. 
Kata ibu.
Sebentar lagi datang
Ternyata semuanya
Sudah menunggu
Aku .
Aku dan mbakku ,
asslinya aku mau ngagetin ,
mas arbi .
ooooooooo,......???????

Nb: Ditulis Nakhla, tidak ada olah apapun selain menambah ilustrasi


Bukan, Kepastian Yang Ku Tunggu

0 komen
Di bawah sinar bulan purnama
Ku merenung
Saat terpisah yang ku jalani
Bersamamu

Keindahan dalam bercinta
Tidaklah mudah
Cinta membutuhkan ketulusan
Dan pengorbanan

Satu keagungan cinta
Tak terpadamkan
Mengapa semua ini harus terjadi

Tanya hatimu benarkah dirimu
Masih mencintai aku
Bukankah dulu kau mau menunggu
Pernyataan cinta dariku

Tanya hasratmu benarkah dirimu
Masih membutuhkan aku
Bila tak berubah bicara padaku
Kepastianlah yang ku tunggu

Keindahan dalam bercinta
Tidaklah mudah
Cinta membutuhkan ketulusan
Dan pengorbanan

Satu keagungan cinta
Tak terpadamkan
Semua ini harus terjadi

Pucuk dicinta ulam tiba. Saat saya hendak membuat corat-coret tentang kepastian, bersua juga dengan ini. Ya, salah satu lagu yang dipopulerkan band kenamaan, Gigi. Tentu setiap orang akan menyukai, kepastian. Dalam apapun.
Pernah saya jumpai tulisan seperti ini; Perempuan itu suka es krim, suka coklat, namun mereka lebih suka kepastian. Tak ayal, itu memang benar. Dan saya rasa tidak hanya perempuan. Ya, lagi-lagi semua pasti suka dan mengharap kepastian.
Kisah buruk rupanya menimpa saya, mungkin beberapa dari Anda juga. Pinginnya sih juga yang pasti-pasti aja. Eh kok belakangan ini semua menjadi tidak pasti.
Pertama ada sebuah tawaran, semacam proyek kecil-kecilan. Dan saya bersedia menerimanya, meski saya tahu itu belum jelas kepastiannya. Dan dari ketidak-pastian itu, muncul beberapa harapan. Lalu harapan itu pupus digerogoti waktu. Dan parahnya, itu sudah sekian kalinya. Jadi bukan yang pertama, hahaha.
Dan masih ada bla bla bla dan bla lagi tentang ketidak pastian dalam keseharian saya. Itu juga karena saya memang menyukai kejutan. Saya tidak pandai menata hidup. Merencanakan semua dengan matang, sehingga mendekatkan dengan kepastian yang digadang. Tapi itulah saya, boleh percaya boleh tidak. Yang masih mau percaya sama saya, ya silahkan, yang tidak apa lagi.
Percayalah pada keajaiban, namun jangan memujanya. Itu. Iya kan? Dalam ketidak-pastian masih ada kok harapan. Meski itu harus disembunyikan dan ditata rapi. Mengalir. Yang tidak tahu mengalir itu selalu dikait-kaitkan dengan tidak adanya usaha. Tidak adanya tujuan. Tapi tidak dengan saya. Percayalah kali ini.
Sampai pada suatu ketika. Saya tersadar, bahwa, dalam kehidupan yang pasti adalah ketidak-pastian itu sendiri. Berat memang untuk melapangkan dada menerima semua itu. Pada awalnya saya tidak percaya. Lambat laun saya berbesar hati menerimanya. Bahwa ketidak-pastian adalah sesuatu yang nyata yang mungkin dilekatkan dalam bagian hidup saya.
Baiklah, jelas-jelas begitu, mulai sekarang saya akan mencoba berteman dengan ketidak pastian. Saya akan mencoba mengenalinya baik-baik. Mendekatinya, lalu akan memeluknya erat-erat. Sambil melepaskan harapan-harapan yang kian memilukan. Dengan begitu jalanya hidup tidak akan terasa memberatkan saya. Entah bagi orang lain.



Jangan Salah Paham, Saya Hanya Hematophobia

0 komen
Bertahun-tahun nanti, saat saya menghadapi regu berjarum dengan simbol palang merah, saya akan teringat senja yang samar ketika saya tergolek lemas.

Tak sedikitpun membesit dalam benak saya, hari itu. Saya tengah pakewuh menyiapkan keperluan untuk orientasi adik angkatan di kampus. Bersama Maliq, kami harus menjangkapkan beberapa peralatan. Dan nampaknya itu mengharuskan kami ke KSR—Korps Suka Rujaan, Korps Suka Raba-raba, Korps Sukarela.

Jangan salah paham dulu. Kepanjangan KSR itu saya dapat dari sebuah situs online http://ksrpmi.uin-malang.ac.id/. Tidak ada maksud apa-apa dari saya, namun memang jika ditelisik lebih dalam, saya dapat memahami maksud dari beberapa kepanjangan itu. Silahkan dikroscek jika masih ada yang penasaran.

Baiklah, kita kembali. KSR yang berada dibawah naungan PMI itu, tengah menghelat sebuah hajatan besar. Salah satu acaranya ialah donor darah. Setelah acacicu menyampaikan maksud dan tujuan, serta urusan kami beres, giliran anak-anak KSR menawarkan ajakan. Ya, tidak lain tidak bukan adalah mendonorkan darah.

Mendengar tawaran itu, antusias saya hilang sekejap. Lain dengan kawan saya, iya menerima tawaran itu dengan lugas. Dengan muka masam, saya berpura-pura mengiyakan. Dalam hati, saya hanya mengantarkan saja kawan saya itu. Pasalnya saya termasuk klasifikasi trypanophobia dan hematophobia.

Bergegas kami menuju tenda perhelatan itu di gelar. Sigap Maliq mengambil posisi. Petugas tanggap memulai prosedurnya. Saya dagdigdugser bergidig berdiri memandangi. Setelah serangkaian uji dilakukan, Maliq difonis tidak boleh berdonor. Pasalnya kadar hemoglobin dalam darah kurang dari angka normal, kata petugasnya.

Spot jantung dalam dada saya semakin menggila. Saya dipersilakan. Dengan pasrah, saya mengikuti alur saja. Dalam posisi ini, mending saya dihukum suruh ngeramasi rambut singa saja, atau menggosok giginya.

Setelah uji tinggi, berat badan, dan tekanan darah dinyatakan lolos. Saat alat tes darah ditempelkan ujung jari tengah saya, keringat dingin membanjiri telapak, tangan dan kaki. Lalu saya dikejutkan oleh sengatan jarum yang mulanya tak terlihat. Titik darah mulai menyembul. Ujung jari saya harus mendapat tekanan lebih untuk menitikkan beberapa tetes darah segar guna di cek lebih lanjut.

Sisi baiknya, saya tahu golongan darah dan rhesusnya. Untuk pertama kali dalam hidup saya. Dan sisi paling baiknya, saya memenuhi kualifikasi untuk tahapan selanjutnya, berdonor.

Ketakutan saya datang bersama seutas selang berujung kantong dan runcing jarum pada ujung sisi lainnya. Saya tidak berani menatap interaksi yang terjadi antara pembuluh darah dengan bibir jarum itu. Perut saya serasa kian diaduk-aduk. Rasanya sungguh tak sanggup.

Hingga ternyata saya dapati jarum itu mengait seperti lintah di lekukan lengan saya. Rasanya? Tidak semenakutkan yang saya bayangkan. Aliran darah mengalir seiring degup pompa dari jantung. Merah hitam mengenetal menyisir tiap rongga kantong yang saya duga dari plastik itu.

“Mas, tidak apa-apa?” tanya seorang petugas. Saya hanya menjawabnya dengan senyum yang dipaksakan. Dan saya tahu, dari jawaban saya, petugas itu menahan tawa. Saya dapat melihat dari sudut bibirnya yang tertarik-tarik dan sorot matanya yang hampir dilipat mrecing.


Apa sebutan yang pas buat saya. Saya yang niatnya hanya mengantarkan kawan, eh malah saya yang kena. Bukankah hidup memang sungguh adil. Mungkin ini sebuah anak tangga yang harus saya jajaki untuk jadi lebih baik. Dan saya menerima itu pada akhirnya.
 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere