Jangan Salah Paham, Saya Hanya Hematophobia

Bertahun-tahun nanti, saat saya menghadapi regu berjarum dengan simbol palang merah, saya akan teringat senja yang samar ketika saya tergolek lemas.

Tak sedikitpun membesit dalam benak saya, hari itu. Saya tengah pakewuh menyiapkan keperluan untuk orientasi adik angkatan di kampus. Bersama Maliq, kami harus menjangkapkan beberapa peralatan. Dan nampaknya itu mengharuskan kami ke KSR—Korps Suka Rujaan, Korps Suka Raba-raba, Korps Sukarela.

Jangan salah paham dulu. Kepanjangan KSR itu saya dapat dari sebuah situs online http://ksrpmi.uin-malang.ac.id/. Tidak ada maksud apa-apa dari saya, namun memang jika ditelisik lebih dalam, saya dapat memahami maksud dari beberapa kepanjangan itu. Silahkan dikroscek jika masih ada yang penasaran.

Baiklah, kita kembali. KSR yang berada dibawah naungan PMI itu, tengah menghelat sebuah hajatan besar. Salah satu acaranya ialah donor darah. Setelah acacicu menyampaikan maksud dan tujuan, serta urusan kami beres, giliran anak-anak KSR menawarkan ajakan. Ya, tidak lain tidak bukan adalah mendonorkan darah.

Mendengar tawaran itu, antusias saya hilang sekejap. Lain dengan kawan saya, iya menerima tawaran itu dengan lugas. Dengan muka masam, saya berpura-pura mengiyakan. Dalam hati, saya hanya mengantarkan saja kawan saya itu. Pasalnya saya termasuk klasifikasi trypanophobia dan hematophobia.

Bergegas kami menuju tenda perhelatan itu di gelar. Sigap Maliq mengambil posisi. Petugas tanggap memulai prosedurnya. Saya dagdigdugser bergidig berdiri memandangi. Setelah serangkaian uji dilakukan, Maliq difonis tidak boleh berdonor. Pasalnya kadar hemoglobin dalam darah kurang dari angka normal, kata petugasnya.

Spot jantung dalam dada saya semakin menggila. Saya dipersilakan. Dengan pasrah, saya mengikuti alur saja. Dalam posisi ini, mending saya dihukum suruh ngeramasi rambut singa saja, atau menggosok giginya.

Setelah uji tinggi, berat badan, dan tekanan darah dinyatakan lolos. Saat alat tes darah ditempelkan ujung jari tengah saya, keringat dingin membanjiri telapak, tangan dan kaki. Lalu saya dikejutkan oleh sengatan jarum yang mulanya tak terlihat. Titik darah mulai menyembul. Ujung jari saya harus mendapat tekanan lebih untuk menitikkan beberapa tetes darah segar guna di cek lebih lanjut.

Sisi baiknya, saya tahu golongan darah dan rhesusnya. Untuk pertama kali dalam hidup saya. Dan sisi paling baiknya, saya memenuhi kualifikasi untuk tahapan selanjutnya, berdonor.

Ketakutan saya datang bersama seutas selang berujung kantong dan runcing jarum pada ujung sisi lainnya. Saya tidak berani menatap interaksi yang terjadi antara pembuluh darah dengan bibir jarum itu. Perut saya serasa kian diaduk-aduk. Rasanya sungguh tak sanggup.

Hingga ternyata saya dapati jarum itu mengait seperti lintah di lekukan lengan saya. Rasanya? Tidak semenakutkan yang saya bayangkan. Aliran darah mengalir seiring degup pompa dari jantung. Merah hitam mengenetal menyisir tiap rongga kantong yang saya duga dari plastik itu.

“Mas, tidak apa-apa?” tanya seorang petugas. Saya hanya menjawabnya dengan senyum yang dipaksakan. Dan saya tahu, dari jawaban saya, petugas itu menahan tawa. Saya dapat melihat dari sudut bibirnya yang tertarik-tarik dan sorot matanya yang hampir dilipat mrecing.


Apa sebutan yang pas buat saya. Saya yang niatnya hanya mengantarkan kawan, eh malah saya yang kena. Bukankah hidup memang sungguh adil. Mungkin ini sebuah anak tangga yang harus saya jajaki untuk jadi lebih baik. Dan saya menerima itu pada akhirnya.

0 komen:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere