Harinya sabtu malam. Bertempat di
jalan apa gitu, saya lupa. Dihelat sebuah diskusi kecil-kecilan. Tajuknya bedah
buku yang dikemas diskusi santai lesehan di Kampung Baca. Saya juga lupa nama
si penulis buku dan pengelola kampung baca yang penuh kesederhanaaan itu. Yah,
momentum itu dimeriahkan sekira 27 para pegiat olah logika. Saya tidak masuk
diantaranya. Karena saya tak cukup energi untuk mengaktifkan logika.
Boleh dikata jam karet, uwelek, ramutu, bekicooooot buat saya yang datang tiga puluh menitan
menjelang acara itu usai. Mulanya saya ragu. Saya sudah sampai lokasi yang
diacu. Tapi jam sudah agak larut untuk sebuah helatan acara. Akhirnya saya
hanya memutuskan niat balik kompas sesampai di parkiran saja
.
.
Lalu saya memilih untuk
duduk-duduk di atas jok motor yang saya parkir di tepian jalan. Menikmati bersliweran orang-orang berlalu-lalang. Beberapa
waktu berselang seorang kawan datang menghampiri saya. Namanya Weha. “Loh nyapo awakmu rene?” “Marani sampeyan
mas,” jawab dia.
Diajaknya saya untuk gabung di
acara itu. Alih-alih ikut, saya memutuskan untuk tetap di pinggiran jalan saja.
Bab berikutnya, Weha berhasil membujuk saya. “Neng jero enek cewek’e sing suip mas,” katanya datar tanpa
ekspresi. “Tenan We?” saya
meyakinkan. “Iyo mas.” “Enek Jedinge?” “Onok
ndek jero, aku yo arep ning jeding pisan mas.” “Oyilah,” jawab terakhir
saya seraya menyetarter motor.
Sesampai di tekape, saya
mengurungkan niat untuk ke kamar mandi. Pasalnya, saya harus melang-melintang
di muka para penghelat acara jika tetap ingin ke kamar mandi. Tapi Weha dengan
tanpa dosa begitu saja nylintut gak
permisi. Emang sih gak ada dosanya, tapi agak gak sopan aja.
Saya memilih jurus duduk diam dlongap-dlongop domblong
malam itu. Terang saja, datang terlambat bukan kepalang. Tentu jauh tertinggal
dari arah pembicaraan. Saya hanya plonga-plongo
kayak sapi ompong sambil jelalatan melesatkan pandangan ke tiap sudut sekitar.
Secara geografis dan metafisis tempatnya lumayan nyaman. Sederhana dan cukup
luas. Beraroma seni malahan. Dari dekorasi dan layout yang ditampilkan.
Setelahnya, saya baru sadar. Kalau
saya diperdaya Weha. “Jan nglamak tenan
arek iki, arek kok yoo yoo…” Nyatanya tak saya jumpai cewek yang suip. Saya kirim esemes. “Endi sing sip We?” “Ngarepe sampeyan gawe
kaos arsenal.” Ancrit, jangankan cewek cantik, malahan seorang laki yang
dikata Weha. Sial.
Tunggu saja pembalasan saya, We. “Lek nganggur esemes’o!”
0 komen:
Post a Comment