Ini kadang bikin saya hepi. Ketika lagi nganggur soro duduk termenung di lungguhan
bermaterial adukan semen dan pasir yang kokoh dan keras. Tiba-tiba
serentetan lantunan lagu yang saya kenal mendendang merayapi telinga.
Liriknya mengaitkan puing-puing ingatan yang mulai memudar. Merayu saya
berelegi sambil berdansa mesra dalam imaji. Asik beut.
Kalau sudah begini, saya tak peduli amat. Yang penting ada bunyi-bunyian yang rela berkeliling menemani kesendirian. Sebuah elegi yang mendengung dari pojokkan barisan komplek ukm. Meski tak jarang liriknya tiba-tiba putus. Timbul tenggelam seraya napas yang terseok-seok dipaksakan. Atau lantas lupa lirik berikutnya. Asoy brey.
Nah, ini bejadnya kelakuan saya. Ketika saya lagi tak kompromi dengan kebisingan. Suara-suara itu merupa tak ubahnya knalpot yang lalu-lalang. Bising tak karuan. Ingin saya arahkan Kamehame tepat sebelah kiri sana. Biar luluh-lantah menyisakan sepi-sunyi.
Lalu diperpanjang dengan pikiran busuk lainnya. Apaan coba, bisanya cuma kopas. Membunyikan lagu-lagu usang kelas pasaran. Di sana-sini ada. Lagu yang sudah ngehit. Bikin tambah tolol saja. Apa benar harus begitu, swempak tenan.
Itu jadinya menutup daya kreasi untuk mencipta lagu sendiri. Itu inti dari pikiran busuk saya. Padahal, mustinya saya hanya duduk diam termenung sambil menikmati lantunan per ka be pe es lagunya. Tak usah banyak cingcong kayak emak teman saya. Jadinya rempong.
Ya, itulah saya. Apa-apa ya tergantung pada sikon saya. Pas lagi seneng, dunia ini rasanya damai. Indah betul. Lain lagi kalau pas lagi goblok. Kemana mata memandang, isinya seolah disesaki sampah. Mau membakar semua. Ada orang lewat, pingin ngajak berantem. Apa lagi melihat orang nganggur, gelut ae.
Ditambah lagi pas gini. Perut melilit menahan lapar. Semuanya ingin saya telan saja mentah-mentah. Baik itu knalpot yang panasnya menganga, ataupun pohon yang segede Jerapah. Sial, penyakit kejiwaan macam apa ini. Di mana harus saya menemukan obat penawarnya.
Atau mungkin di balik ketidak-sadaran saya, saya mengilhami sebuah tayangan televisi beberapa waktu lalu. Yang hingga kini masih melekat di otak bawah sadar saya. Bahwa, ketika perut kosong, tubuh akan secara otomatis mematikan organ-organ yang tidak penting.
Hanya organ tertentu saja yang akan disuplai asupan energi. Untuk perpanjangan hidup. Untuk bergerilia memburu makanan. Ini yang oleh mereka disebutkan naluri hewani. Otak sengaja dimatikan. utuk menghemat cadangan sisa-sisa energi dalam tubuh.
Lalu orang akan bertindak seperti binatang. Bergerak tanpa otak. Tapi menggunakan naluri. Pantas saja banyak berita mewartakan tindak kriminal. Lantaran dorongan kebutuhan perut. Dan hukuman yang dijatuhkan seharusnya lebih ringan. Daripada tindak kriminal yang diperagai oleh logika. Seperti hal-hal yang mengandung unsur perencanaan. Koruplah, apalah. Taeklah semua.
Yang jelas saya lapar. Dan karena saya lapar pikiran saya tak bisa dikendalikan. Makanya saya mulai meracau kacau. Ini bahaya. Maka saya harus segera menyudahi tulisan ini. Lalu bergegas cari makan. Mumpung belum akut. Belum berbuat kejahatan karena alasan perut. Dan, jangan usik saya. Kalau tak ingin berakhir naas.
Kalau sudah begini, saya tak peduli amat. Yang penting ada bunyi-bunyian yang rela berkeliling menemani kesendirian. Sebuah elegi yang mendengung dari pojokkan barisan komplek ukm. Meski tak jarang liriknya tiba-tiba putus. Timbul tenggelam seraya napas yang terseok-seok dipaksakan. Atau lantas lupa lirik berikutnya. Asoy brey.
Nah, ini bejadnya kelakuan saya. Ketika saya lagi tak kompromi dengan kebisingan. Suara-suara itu merupa tak ubahnya knalpot yang lalu-lalang. Bising tak karuan. Ingin saya arahkan Kamehame tepat sebelah kiri sana. Biar luluh-lantah menyisakan sepi-sunyi.
Lalu diperpanjang dengan pikiran busuk lainnya. Apaan coba, bisanya cuma kopas. Membunyikan lagu-lagu usang kelas pasaran. Di sana-sini ada. Lagu yang sudah ngehit. Bikin tambah tolol saja. Apa benar harus begitu, swempak tenan.
Itu jadinya menutup daya kreasi untuk mencipta lagu sendiri. Itu inti dari pikiran busuk saya. Padahal, mustinya saya hanya duduk diam termenung sambil menikmati lantunan per ka be pe es lagunya. Tak usah banyak cingcong kayak emak teman saya. Jadinya rempong.
Ya, itulah saya. Apa-apa ya tergantung pada sikon saya. Pas lagi seneng, dunia ini rasanya damai. Indah betul. Lain lagi kalau pas lagi goblok. Kemana mata memandang, isinya seolah disesaki sampah. Mau membakar semua. Ada orang lewat, pingin ngajak berantem. Apa lagi melihat orang nganggur, gelut ae.
Ditambah lagi pas gini. Perut melilit menahan lapar. Semuanya ingin saya telan saja mentah-mentah. Baik itu knalpot yang panasnya menganga, ataupun pohon yang segede Jerapah. Sial, penyakit kejiwaan macam apa ini. Di mana harus saya menemukan obat penawarnya.
Atau mungkin di balik ketidak-sadaran saya, saya mengilhami sebuah tayangan televisi beberapa waktu lalu. Yang hingga kini masih melekat di otak bawah sadar saya. Bahwa, ketika perut kosong, tubuh akan secara otomatis mematikan organ-organ yang tidak penting.
Hanya organ tertentu saja yang akan disuplai asupan energi. Untuk perpanjangan hidup. Untuk bergerilia memburu makanan. Ini yang oleh mereka disebutkan naluri hewani. Otak sengaja dimatikan. utuk menghemat cadangan sisa-sisa energi dalam tubuh.
Lalu orang akan bertindak seperti binatang. Bergerak tanpa otak. Tapi menggunakan naluri. Pantas saja banyak berita mewartakan tindak kriminal. Lantaran dorongan kebutuhan perut. Dan hukuman yang dijatuhkan seharusnya lebih ringan. Daripada tindak kriminal yang diperagai oleh logika. Seperti hal-hal yang mengandung unsur perencanaan. Koruplah, apalah. Taeklah semua.
Yang jelas saya lapar. Dan karena saya lapar pikiran saya tak bisa dikendalikan. Makanya saya mulai meracau kacau. Ini bahaya. Maka saya harus segera menyudahi tulisan ini. Lalu bergegas cari makan. Mumpung belum akut. Belum berbuat kejahatan karena alasan perut. Dan, jangan usik saya. Kalau tak ingin berakhir naas.
0 komen:
Post a Comment