Patuh

0 komen

Kematian itu menyulut duka bagi sang istri. Air matanya berlinang menghapus lapisan tipis bedak di mukanya. Membuat seperti anak sungai kecil di sudut mata hingga dagu. Tatapan matanya sayu, tidak lagi semempesona dulu. Ia adalah janda baru yang belum genap tiga hari ditinggal suaminya. Malaikat—yang selalu digambarkan bersayap putih dengan lingkaran di atas kepalanya—telah merenggut suaminya. Menjalankan titah Tuhan sebagai bentuk kepatuhannya.

Sang istri nampaknya masih belum rela melepas kepergian suami. Suaminya adalah orang terpandang. Kelasnya sekaliber Sultan dari Keraton. Dia meninggalkan tiga orang putra.

Sang suami, tutup usia di langkahnya yang belum begitu jauh. Umurnya belum genap tiga puluh delapan tahun. Namun, latar belakang status sosial membuatnya memiliki tanggung jawab yang besar. Kewajiban yang besar.

Sepeninggalan sang suami, seisi rumah harus menelan kepedihan. Terutama sang istri, yang masih harus menimang putra ketiganya yang baru bisa membalikkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Putra pertama dan keduanya masing-masing berumur enam belas dan sembilan tahun. Apalagi dengan tanggung jawab yang juga ditinggalkan di dunia. Hutang yang ditinggalkan begitu besar. Dan tidak mungkin bisa ditebus oleh istrinya.

”Lalu harus bagaimana?” tanya sang istri dalam hati. Dia tahu betul segala hitam-putih dari permainan suaminya. Saat sang suami harus dihadapkan oleh dua pengadilan sekaligus. Pangadilan dari rakyatnya dan pertanggungjawaban kepada sang Kholiq.

Dalam ajaran agama, orang sesudah mati yang berhutang tidak akan merasa tenang sebelum hutang-hutangnya di dunia tercukupkan. Padahal sang istri tahu betul bahwa dirinya tidak sanggup membayar semua hutang-hutangnya. Segalanya telah sirna bersamaan meningglnya suami. Seakan suami meninggal dengan membawa semuanya. Padahal ajaran agama tidak memperkenankan hal itu.

Sebagai pengemban amanat, kini ia harus mempertanggungjawabkannya juga kepada Tuhan. Tuhan yang telah memberikan kesempatan. Melalui malaikat-malaikatnya, disuruhlah mencabut nyawa seorang itu. Namun nyatanya, malaikat yang sejak awal penurut dan selalu patuh merasa tidak enak hati.

Bahkan malaikat-malaikat enggan untuk membawanya menghadap Tuhan. Karena malaikat-malaikat tahu betul apa yang talah dilakukan orang ini. Catatan-catatan tidak satupun luput dari hemat malaikat. Kalaupun seandainya malaikat diberi sedikit hak untuk mengadili, jangan tanya sekiranya apa yang akan dilakukannya.

Semasa hidup ia terlena dengan kemapanannya. Yang dilakukan bukan janji yang sering didengungkannya. Malah sebaliknya. Di lain sisi orang-orang memasang muka sedih atas meninggalnya pangeran. Namun dalam hati mereka berpesta. Seperti burung merasakan kebebasan setelah berhasil mematahkan jeruji sangkarnya.

Tuhan pun maha adil. Tuhan yang akan membuat neraca atas segala yang dilakukannya. Sampai pada keadaan ini, para malaikat pada suatu hari mengadakan konferensi. Mereka berkumpul dibalik mega-mega. Langit tampak keemasan menyilaukan. Di situ seluruh malaikat berkumpul mengadakan rapat. Seperti para anggota dewan jelang pengesahan suatu undang-undang. Semua malaikat hadir.

Selama jalannya persidangan, malaikat yang patuh itu saling melontarkan gerundelannya. Seluruh uneg-unegnya yang telah lama tak tersampaikan kini tumpah ruah dalam forum. Sang notulen harus berkali-kali mengisi tinta dan mengganti buku pencatatan diskusi saking banyaknya uraian keluh kesah. Semua tentang seorang tadi. Dan kebanyakan manusia lainnya.

Antara catatan tentang kebaikan dan keburukan timpang. Bukan sengaja dibuat-buat oleh si pencatat, tapi berdasarkan apa yang semestinya dicatat. Terlalu timpang malahan. Akhirnya pencatat keburukan mengeluh. ”Kamu enak mencatat kebaikan, hanya sedikit. Sedang aku tidak ada waktu untuk refresing barang sejenak.””Enak katamu!” sergah si pencatat kebaikan. ”Saat ini aku hampir kehilangan pekerjaanku satu-satunya. Kalau suatu ketika aku dipecat, harus melamar kemana lagi? Keterampilanku satu-satunya hanyalah ini.” Malaikat pencatat kebaikan merasakan gundah. Kalau-kalau apa yang ditakutkan itu sampai terjadi.

Sementara yang lain mengangguk-angguk. Mereka memahami apa yang dirasakan masing-masing. Hanya saja pencatan kebaikan dalam hatinya menangis. Kenapa sampai orang yang telah dianugerahkan kekuasaan, justru menyia-nyiakannya. Sementara yang lain berharap mendapat kesempatan yang sama. Segala cara dihalalkan. Bahkan ibarat memakan daging anak sendiri pun dilakukan.

Tiba-tiba ada semacam cahaya semburat keperakkan memecah keramaian. Semua malaikat terdiam. Kilat menjulur seperti cambuk. Suaranya membuat malaikat gemetar. Terdengar suara menggaung-gaung. Telah ku ajarkan kepada manusia nama-nama. Telah kutiupkan pengetahuan kedalam tempurung kepala mereka. Akal budi sebagai pembeda dari hewan.

”Tapi gusti, apa yang telah mereka lakukan? Mereka seenaknya sendiri. Mereka telah menyalahgunakan anugerahmu. Mereka telah menimbulkan peperangan. Mereka saling menginjak-injak untuk menggapai sesuatu. Mereka malakukan dosa-dosa yang kian beragam. Bahkan mereka tidak patuh lagi kepadamu.”

Tanpa sadar, karena dirundung rasa takut, catatan-catatan itu jatuh melayang-layang hingga ke bumi. Serakan kertas-kertas memenuhi seluruh ruang-ruang, sudut-sudut di bumi. Hingga tiba-tiba meleleh menjadi semacam pasir hitam yang berkilauan jika diterpa sinar matahari.

Lagi-lagi malaikat harus memendam segala gerundelannya. Karena mereka—malaikat—adalah makhluk yang patuh. Petir menyambar-nyambar. Suara gemuruh bagaikan lonceng petanda berakhirnya  pertemuan  para malaikat.

Lalu tinggal kepatuhan menjalankan rutinitas yang ada. Malaikat telah sepakat tidak akan mengadakan konferensi lagi. Mereka sadar kalau itu diteruskan akan kacau. Mereka takut terjerembab seperti manusia-manusia itu. Laiknya manusia-manusia yang membelot. Menuruti ambisinya dengan melalaikan kewajibanya. ”Segala pembagian sudah pada proporsi yang seimbang. Dan keseimbangan harus dijaga. Kepatuhan harus dilakukan,” tegas seorang malaikat untuk disampaikan pada semuanya.

Langit menitikkan hujan selama sminggu sepeningganya pangeran. Cuaca mendung selalu menyelimuti. Keramaian masih berjalan sebagaimana mestinya. Kala itu tepat hari ulang tahunku yang kedua puluh.  

Perkasuran

0 komen
Mengapa ya, saya tidak cakap dalam hal tidur? Kerap kali saya harus terbangun tiba-tiba. Kalau tidak begitu, suara sekecil apapun juga mengusik tidur ini. Waktu tidur yang teramat pendek. Biasanya orang betah melek itu kuat juga dalam hal tidur. Tapi ada apa dengan saya. Bius, mana obat bius.


Ketika keponakan saya minta antar ke sekolah, sebelum saya dibangunkan, saya pasti sudah tersadar duluan. Dan, hanya saja saya pura-pura masih tidur. Lalu mengageti mereka melalui beberapa gerakan mendadak.

Heran bukan kepalang saya ini. Tidur saja bermasalah. Saya masih ingat saat tidur bareng sodara laki-laki saya. Dalam hitungan detik, lenyap sudah kesadarannya. Menyisakan dengkur yang beberapa kali mesti saya tendang-tendang biar mandek. Saya selalu iri waktu itu. Kok bisa, padahal dia siangnya sudah molor sampek kayak ban. Begitu mambu kasur, blek...ngroog...ngroog.

Pokoknya, saya sedang bermasalah dengan tidur. Beberapa waktu lalu ingin berusaha tidur lebih lama. Agar bisa menemukan mimpi. Katanya hanya orang yang punya mimpi berarti hidupnya sukses. Malahan saya sempat buat semacam catatan tolol juga tentang mimpi ini. Tapi  hingga sekarang belum kesampaian juga.

Lalu, lain kesempatan lagi, saya kapok tidur. Trauma. Pasalnya, mimpi yang aneh-aneh kerap menyatroni tidur saya. Hingga saya benar-benar phobia untuk tidur. Apesnya, saya dibikin megap-megap saat terbangun. Ada yang ngerjai saya dalam mimpi, sial sekali kan. Melebihi uji nyali yang di tipi-tipi kelir. Berulang kali harus mengubur cita tidur lelap sepanjang malam. Apes.

Padahal tak lupa saya selalu merapal doa sebelum tidur. Dan selalu saya lengkapi dengan beberapa bacaan japa mantra yang saya yakini bisa menenangkan diri. Kecuali jika saya mengingini ada sesuatu yang mampir dalam tidur saya, maka saya sengaja tidak memanjatkan doa. Dan itu sama-sama tidak memanjakan tidur saya.
Kasur empuk muat untuk tiga orang saya tiduri seorang diri. Rangkap dua malah kasur busa saya. Bantal empuk berjajar sisa-sisa, malahan kaki saya bantali juga. Si Panda sering rela menopang punggung kaki saya. Pokoknya sangat layak lolos SNI lah. Tapi kok ya gitu faktanya.

Siapa diantara Anda yang cekatan dalam urusan perkasuran ini? Boleh dong bagi-bagi trik dan tips biar saya dapat beristirahat dengan tenang. Bukan RIP loh. Konon katanya, tidur berpengaruh pada kesehatan. Nah, kalau saya tidurnya acak-acakan, kapan saya memiliki sebuah kesehatan. Sehat jiwa raga. Mungkin nampaknya saja raga saya sehat, namun tidak dengan jiwanya, koplak.

Jadi ingat lagu empat sehat lima sempurna, bagian akhirnya, “...Badanku sehat jiwaku koplak.” Eh salah ya... salah dalam lirik, benar dalam diri saya.

Sudahlah, saya panggil saja Tuhan kecil, google. Kali ini apa yang akan saya dapat? Treng teng teng... ini dia. “Jaman dahulu kala orang tidur memakai bantal kayu atau batu atau bahkan tidak memakai bantal. Sekarang aja enak, orang tidur pakai yang empuk-empuk.” Waduh, siapa bilang tidur pakek bantal itu enak. Sesat pikir artikel ini, WTB. 

Apa lagi yang ini, “Saat tidur yang baik adalah jam 20.00 WIB - 01.00 Pagi. Selanjutnya 01.00-04.00 digunakan untuk belajar, pukul 04.00 - 06.00 untuk olahraga, dan seterusnya.” Sangat bertolak belakang—depan, samping, atas, bawah—dengan hidup saya.

Rupanya kali ini Tuhan sengaja memberi cobaan pada saya. Memberikan jawaban-jawaban konyol pada masalah saya. Biarlah, memang kadang googel juga idiot. Atau jangan-jangan yang posting artikel di googel adalah orang macam saya. Kurang tidur dan masih dalam keadaan koplak jiwa.

Sudah deh, saya akan belajar untuk tidur yang baik dan benar. Selamat tidur ulang.

Cinta dan Waktu

0 komen

Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak, yaitu; ada Cinta, Kekayaan, Kecantikan, Kesedihan, Kegembiraan dan sebagainya. Awalnya mereka hidup baik, berdampingan dan saling melengkapi.

Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik semakin tinggi dan akan menenggelamkan pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat menyelamatkan diri. Cinta sangat kebingungan sebab dia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai dan mencoba mencari pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki Cinta.

Tak lama Cinta melihat Kekayaan sedang mengayuh perahu. ”Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!” terian Cinta. Lalu apa jawab Kekayaan, ”Aduh! Maaf, Cinta!” kata Kekayaan. “Perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahuku ini tenggelam. Lagi pula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini.” Lalu Kekayaan cepat-cepat mengayuh perahunya, ia pergi meninggalkan Cinta tenggelam dan sendirian merana dalam derita.

Cinta sedih sekali, namun dilihatnya Kegembiraan lewat dengan perahunya. “Kegembiraan! Tolong aku!”, teriak Cinta. Namun apa yang terjadi, Kegembiraan terlalu gembira kerena ia menemukan perahu sehingga ia tuli tak mendengar teriakan Cinta. Air makin tinggi membasahi Cinta sampai kepinggang dan Cinta semakin panik.

Tak lama lewatlah Kecantikan. “Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!” teriak Cinta. Lalu apa jawab Kecantikan, “Wah, Cinta, kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini.” sahut Kecantikan. Cinta sedih sekali mendengarnya. Cinta mulai menangis terisak-isak. Apa kesalahanku, mengapa semua orang dan bahkan teman-teman dekat melupakan aku kini?

Saat itu lewatlah Kesedihan. Lalu Cinta memelas, “Oh, Kesedihan, bawalah aku bersamamu,” kata Cinta. Lalu apa kata Kesedihan, “Maaf, Cinta. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja...” kata Kesedihan. Cinta sangat putus asa. Ia merasakan air mulai naik dan akan menenggelamkannya. Cinta terus berharap kalau dirinya dapat diselamatkan... Lalu ia berdoa kepada Tuhannya, oh Tuhan, tolonglah aku...,apa jadinya dunia tanpa aku, tanpa Cinta?

Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, “Cinta! Mari cepat naik ke perahuku!” Cinta menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang tua reyot berjanggut putih panjang sedang mengayuh perahunya. Lalu cepat-cepat Cinta naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya.

Kemudian di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan Cinta dan ia segera pergi lagi... Pada saat itu barulah Cinta sadar, bahwa ia sama sekali tak mengetahui siapa orang tua yang baik hati menyelamatkannya itu.

Cinta segera menanyakan kepada seorang penduduk tua di pulau itu, siap sebenarnya orang tua itu. “Oh,orang tua tadi? Dia adalah Waktu. Lalu Cinta bertanya, “Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak mengenalnya,” tanya Cinta. “Sebab,” kata orang itu, “Hanya Waktu-lah yang tahu berapa nilai dari Cinta itu...”

Edisi Ane(h)kdot

0 komen

Apa yang menyenangkan buat saya? Tentu kecil kemungkinan untuk sama dengan Anda. Sederhana sih. Sesederhana menghela napas panjang pakek kedua lubang hidung, menahan sekira sepuluh detik, lalu menghembuskan perlahan lewat mulut. Yah, memang seenteng itu.

Tapi apa ya? Kok saya jadi bingung. Apa mungkin lantaran teramat sederhana jadi saya dibikin bingung sendiri. Sebab banyak sekali kesederhanaan yang membuat saya merasa senang. Mungkin juga iya.

Mungkin tidak sama sekali. Tidak ada yang menyenangkan dari yang seharusnya sederhana itu. Ah entahlah, tidak penting dan tidak akan dibawa saat mati nanti. Benar begitu kan!

Cerita saja. Pada saat hati yang cerah, saya membeli kura-kura ijo lorek kuning. Sepasang. Lima belas ribu seorang kala itu. Besarnya tak lebih dari separuh HP samsung saya. Atau seukuran ujung telunjuk ketemu pucuk ibu jari tangan yang sama.

Beberapa dentang lama saya mengasuh mereka. Seingat saya namanya Piko. Sedang yang satu lagi saya lupa menamai siapa. Ini sebab saya terlalu banyak hidup bersama hewan. Hingga toples yang semula cukup untuk berenang zigzag, hanya cukup untuk tengkurap.

Seusai rasa iba meletub-letub, saya mengambil bijak keputusan. Meleluasakan Piko dan satunya berenang sampek elek di kolam belakang rumah. Saya tak sangka, mereka kian cepat bertumbuh. Hingga menyamai ukuran ujung ketemu pucuk ibu jari dan telunjuk sepasang tangan. Lumayan kan?

Ada beberapa fragmen yang terpotong. Lupa tidak saya ceritakan. Bukan sepenuhnya lupa sih, melainkan sengaja. Tapi tidak panting. Jauh dari yang sering disebut-sebut—oleh para aktivi(ta)s—esensi.

Lanjut saja. Dalam memori ingatan saya, kala itu sore hari. Hujan turun sederas update-an stiker di Line akhir-akhir ini. Dikombinasi kilatan petirnya mbah Zeus. Saya waktu itu menikmati riuhnya hujan. Nangkring di pelapah jendela kamar.

Air kolam naik dengan cepat. Hingga amber tak karuan. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan Piko dan satunya. Atau jangan-jangan mereka memang tidak pernah berpikir. Mereka berenang-renang sambil menjulurkan kaki depan untuk menggapai dinding tepi permukaan kolam. Sepertinya hendak melarikan diri dari kolam.

Oh tidak. Apa selanjutnya yang hendak saya perbuat? Saya nekad menerobos celah-celah hujan untuk menagkapnya. Mengembalikan ke kolam. Karena mereka secara de facto dan de yure adalah hak saya. Lama sudah saya merawatnya. Menghabiskan beberapa keping rupiah yang hampir setara seumplung—produk yang tidak elok saya sebutkan namanya—dagangan teman saya. Jadi saya harus membawa Piko dan satunya kembali pada saya.

Namun sayangnya, itu hanya dialog sepintas dalam ubun-ubun saya. Saya tak tega dan sama sekali tak punya kuasa memaksakan kehendak untuk bersama melebihi batasan waktu hingga sore itu. “Jika kau ingin menyudahi kebersamaan kita dan sudah tidak ingin tinggal di kolam ini lagi, aku tak akan mencegahmu untuk pergi,” itu yang saya katakan pada mereka.

Lalu saya memalingkan muka dan menuju ranjang yang sedari semula telah merajuk-merayu. Saya menghempaskan badan dan merehatkan pikiran. Dan sekarang saya tak ingat apa yang berlaku setehanya.
Beberapa kali sih saya sempat digegeri oleh tiiiiitpihak berkepentingan yang memiliki hak intervensi—lantaran dituduh menghilangkan Piko dan satunya. Berkali-kali pula saya coba menjelaskan alasan saya, tapi sepertinya memang agak sulit diterima akal sehat. Mungkin saja jika akalnya sudah tak sehat laik saya, akan bisa mengerti dan memahami perbuatan saya.

Dan rupanya, itu salah satu dari sekian salah-salah yang bisa membuat saya merasa senang. Sederhana bukan. Sederhana buat akal saya yang tidak terlalu sehat.

Nanti Dulu

0 komen
“Iya ya, kalau dilihat-lihat memang cokelat. Lalu, apa menariknya,” cakap saya sendiri. “Kenapa tidak merah sekalian,” keluh saya selanjutnya. Beberapa waktu lalu saat mendadak perhatian saya jatuh pada kelopak mata yang agak gatal.


Lalu rasa penasaran saya tak berujung sampai kucek-kucek mata saja. Saya menyetel PC lalu menyambungkanya ke internet. Ritus sakral saya dengan tuhan kecil bernama google yang sudah terjalin intim, semakin memudahkan saya dalam menumpas persoalan-persoalan. Termasuk untuk menjawab perihal cokelat.

Jreng-jreng...tak lama loading munculah ayat-ayat al-google yang menerangkan kepo saya. Perlahan tapi pasti, saya mengkhatamkan beberapa ayat. Merasa itu baik—dan pastinya selalu baik—maka saya menyambungkan ayat itu ke dinding emperan faceebook. Entah penting atau tidak, bagi saya tak masalah. Yang jelas saya yakin ada yang selalu memantau halaman facebook saya. Dan sungguh saya yakin dia akan membacanya.

Oia, hampir lupa. Ini yang saya dapat diantaranya dari beberapa potong ayat al-google; “Orang dengan mata cokelat cenderung lebih bersosial dan oleh karena itu dia tidak pernah terpengaruh oleh kebutuhan materialistik atau perilaku.” Bagi saya, itu ada benarnya. Tapi tidak selalu. Hanya pada ruang dan waktu tertentu saja.

Saya paling suka bagian yang ini; “Mereka benar-benar sangat dekat dengan alam. Mereka benar-benar independen dan bermental tangguh. Orang-orang yang memiliki mata cokelat kebiasaanya sangat menarik, manis dan suka berteman terlebih teman-teman baru. Mereka sangat handal dan akan melakukan apa pun untuk orang-orang yang 'khusus' dalam kehidupan mereka. Individu bermata cokelat tidak diragukan lagi sangat baik dalam mencintai maupun menghibur orang lain.”

Saya tidak peduli jikalaupun itu hanya bualan semata. Hanya untuk membesarkan hati para pemata cokelat. Yang jelas hati saya sudah terlanjur membengkak. Jadi kian apatis saja perkara benar salah potongan ayat itu.

Oke deh, saya tak segila itu. Yang mudah terbuai dengan kata-kata manis dan seutas kebaikan. Buat saya semua itu tak lebih dari intermezo belaka. Terang saja, yang jawab juga tuhan kecil—google. Maklum lah kalau banyak bercanda. Yang penting heppy.

Tunggu, nampaknya belum selesai. Masih ada lagi temuan saya, bocoran dari kitab al-google. ”Para peneliti dari Charles University, Republik Ceko, baru-baru ini membuat penelitian yang membuktikan siapa orang yang paling dapat dipercaya. Riset ini menyebutkan, orang-orang bermata cokelat memiliki kelebihan dari orang-orang dengan warna lainnya, yaitu dapat memegang kepercayaan dengan lebih baik.

Saya rasa ini juga ambigu. Beberapa kawan saya bermata cokelat. Tapi ya gitu, tahu sendirilah tabiatnya. Pun juga yang bemata hitam. Ehm, tak banyak beda pula. Makanya, ini tuhan kecil yang sesat. Percaya ya silahkan, gak percaya juga gak ada paksaan. Namanya juga iseng.

Hitam, cokelat, biru, merah, dan apapun itu, hanyalah masalah warna. Jadi perkara selera saja. Suka atau tak suka. Kalau hubungannya sama ini itu, yang katanya begini-begitu, ya sepiawai sang penarik benang merah saja. Sesuka udelnya mau nuliskan apa. Itu gawatnya. Maka, sia-sia saja Anda buang-buang waktu ngebaca tulisan saya ini. Intinya jelas, tidak ada intinya. Tapi jika Anda sedang punya banyak alokasi waktu yang ingin dibuang, ya mampir-mampir saja pada tulisan saya yang lain. Dan jangan takut menyesal!

Coba Pikir

0 komen

Ini bukan tulisan saya. Saya menemukan ini, dan saya rasa, saya kerap mengalaminya. Makanya saya tertarik untuk menempelnya. Mungkin memberikan arti buat Anda.

Di Yunani kuno, Socrates terkenal memiliki pengetahuan yang tinggi dan sangat terhormat. Suatu hari seorang kenalannya bertemu dengan filsuf besar itu dan berkata, "Tahukah Anda apa yang saya dengar tentang teman Anda?" "Tunggu sebentar," Socrates menjawab. "Sebelum Anda menceritakan apapun pada saya, saya akan memberikan suatu test sederhana yang disebut Triple Filter test.

Filter 1 adalah KEBENARAN.
"Apakah Anda yakin bahwa apa yang akan Anda katakan pada saya itu benar?"
"Tidak," jawab orang itu, "Sebenarnya saya HANYA MENDENGAR tentang itu."
"Baik," kata Socrates. "Jadi Anda tidak yakin itu benar. Baiklah sekarang saya berikan filter yang kedua.

Filter ke 2, KEBAIKAN.
Apakah yang akan Anda katakan tentang teman saya itu sesuatu yang baik?"
"Tidak, malah sebaliknya..."
"Jadi," Socrates melanjutkan, "Anda akan menceritakan sesuatu yang buruk tentang dia, tetapi Anda tidak yakin apakah itu benar. Anda masih memiliki satu kesempatan lagi, masih ada satu filter lagi, yaitu filter ke 3.

Filter ke 3, KEGUNAAN.
Apakah yang akan Anda katakan pada saya tentang teman saya itu berguna bagi saya?"
"Tidak, sama sekali tidak."
"Jadi," Socrates menyimpulkannya, "bila Anda ingin menceritakan sesuatu yang belum tentu benar, bukan tentang kebaikan,dan bahkan tidak berguna, mengapa Anda harus menceritakan itu kepada saya?"

Itulah mengapa Socrates dianggap filsuf besar dan sangat terhormat.

Kawan-kawan,mari kita gunakan TRIPLE FILTER TEST setiap kali Anda mendengar sesuatu tentang kawan anda. Bukan hanya berhubungan dengan kawan, tapi juga berita atau informasi apapun Jika bukan KEBENARAN, bukan KEBAIKAN, dan tidak ada KEGUNAAN positif, tidak perlu anda terima. Dan apabila anda terlanjur mendengarnya, jangan sampaikan, agar tidak menyakiti hati orang lain.

 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere