Kematian itu menyulut duka bagi sang istri. Air
matanya berlinang menghapus lapisan tipis bedak di mukanya. Membuat seperti
anak sungai kecil di sudut mata hingga dagu. Tatapan matanya sayu, tidak lagi
semempesona dulu. Ia adalah janda baru yang belum genap tiga hari ditinggal
suaminya. Malaikat—yang selalu digambarkan bersayap putih dengan lingkaran di
atas kepalanya—telah merenggut suaminya. Menjalankan titah Tuhan sebagai bentuk
kepatuhannya.
Sang istri nampaknya masih belum rela melepas
kepergian suami. Suaminya adalah orang terpandang. Kelasnya sekaliber Sultan
dari Keraton. Dia meninggalkan tiga orang putra.
Sang suami, tutup usia di langkahnya yang belum
begitu jauh. Umurnya belum genap tiga puluh delapan tahun. Namun, latar
belakang status sosial membuatnya memiliki tanggung jawab yang besar. Kewajiban
yang besar.
Sepeninggalan sang suami, seisi rumah
harus menelan kepedihan. Terutama sang
istri, yang masih harus
menimang putra ketiganya yang baru bisa membalikkan tubuhnya ke kiri dan ke
kanan. Putra pertama dan keduanya masing-masing berumur enam belas dan sembilan
tahun. Apalagi dengan tanggung jawab yang juga ditinggalkan di dunia. Hutang
yang ditinggalkan begitu besar. Dan tidak mungkin bisa ditebus oleh istrinya.
”Lalu harus bagaimana?” tanya sang istri dalam
hati. Dia tahu betul segala hitam-putih dari permainan suaminya. Saat sang
suami harus dihadapkan oleh dua pengadilan sekaligus. Pangadilan dari rakyatnya
dan pertanggungjawaban kepada sang Kholiq.
Dalam ajaran agama, orang sesudah mati yang
berhutang tidak akan merasa tenang sebelum hutang-hutangnya di dunia
tercukupkan. Padahal sang istri tahu betul bahwa dirinya tidak sanggup membayar
semua hutang-hutangnya. Segalanya telah sirna bersamaan meningglnya suami.
Seakan suami meninggal dengan membawa semuanya. Padahal ajaran agama tidak
memperkenankan hal itu.
Sebagai pengemban amanat, kini ia harus
mempertanggungjawabkannya juga kepada Tuhan. Tuhan yang telah memberikan
kesempatan. Melalui malaikat-malaikatnya, disuruhlah mencabut nyawa seorang
itu. Namun nyatanya, malaikat yang sejak awal penurut dan selalu patuh merasa
tidak enak hati.
Bahkan malaikat-malaikat enggan untuk membawanya
menghadap Tuhan. Karena malaikat-malaikat tahu betul apa yang talah dilakukan
orang ini. Catatan-catatan tidak satupun luput dari hemat malaikat. Kalaupun
seandainya malaikat diberi sedikit hak untuk mengadili, jangan tanya
sekiranya apa yang akan dilakukannya.
Semasa hidup ia terlena dengan kemapanannya. Yang
dilakukan bukan janji yang sering didengungkannya. Malah sebaliknya. Di lain
sisi orang-orang memasang muka sedih atas meninggalnya pangeran.
Namun dalam hati mereka berpesta. Seperti burung merasakan kebebasan setelah berhasil
mematahkan jeruji sangkarnya.
Tuhan pun maha adil. Tuhan yang akan membuat neraca atas segala yang
dilakukannya. Sampai pada
keadaan ini, para malaikat pada suatu hari mengadakan konferensi. Mereka
berkumpul dibalik mega-mega. Langit tampak keemasan menyilaukan. Di situ
seluruh malaikat berkumpul mengadakan rapat. Seperti para anggota dewan jelang
pengesahan suatu undang-undang. Semua malaikat hadir.
Selama jalannya persidangan, malaikat yang patuh
itu saling melontarkan gerundelannya. Seluruh uneg-unegnya yang telah lama tak
tersampaikan kini tumpah ruah dalam forum. Sang notulen harus berkali-kali
mengisi tinta dan mengganti buku pencatatan diskusi saking banyaknya uraian
keluh kesah. Semua tentang seorang tadi. Dan kebanyakan manusia lainnya.
Antara catatan tentang kebaikan dan keburukan
timpang. Bukan sengaja dibuat-buat oleh si pencatat, tapi berdasarkan apa yang
semestinya dicatat. Terlalu timpang malahan. Akhirnya pencatat keburukan
mengeluh. ”Kamu enak mencatat kebaikan, hanya sedikit. Sedang aku tidak ada
waktu untuk refresing barang sejenak.””Enak katamu!” sergah si pencatat kebaikan. ”Saat
ini aku hampir kehilangan pekerjaanku satu-satunya. Kalau suatu ketika aku
dipecat, harus melamar kemana lagi? Keterampilanku satu-satunya hanyalah ini.”
Malaikat pencatat kebaikan merasakan gundah. Kalau-kalau apa yang ditakutkan
itu sampai terjadi.
Sementara yang lain mengangguk-angguk. Mereka
memahami apa yang dirasakan masing-masing. Hanya saja pencatan kebaikan dalam hatinya
menangis. Kenapa sampai orang yang telah dianugerahkan kekuasaan, justru
menyia-nyiakannya. Sementara yang lain berharap mendapat kesempatan yang sama.
Segala cara dihalalkan. Bahkan ibarat memakan daging anak sendiri pun
dilakukan.
Tiba-tiba ada semacam cahaya
semburat keperakkan memecah keramaian. Semua malaikat terdiam. Kilat menjulur
seperti cambuk. Suaranya membuat malaikat gemetar. Terdengar suara
menggaung-gaung. Telah ku ajarkan kepada manusia nama-nama. Telah kutiupkan
pengetahuan kedalam tempurung kepala mereka. Akal budi sebagai pembeda dari
hewan.
”Tapi gusti, apa yang telah mereka lakukan? Mereka
seenaknya sendiri. Mereka telah menyalahgunakan anugerahmu. Mereka telah
menimbulkan peperangan. Mereka saling menginjak-injak untuk menggapai sesuatu.
Mereka malakukan dosa-dosa yang kian beragam. Bahkan mereka tidak patuh lagi
kepadamu.”
Tanpa sadar, karena dirundung rasa takut,
catatan-catatan itu jatuh melayang-layang hingga ke bumi. Serakan kertas-kertas
memenuhi seluruh ruang-ruang, sudut-sudut di bumi. Hingga tiba-tiba meleleh menjadi
semacam pasir hitam yang berkilauan jika diterpa sinar matahari.
Lagi-lagi malaikat harus memendam segala
gerundelannya. Karena mereka—malaikat—adalah makhluk yang patuh. Petir
menyambar-nyambar. Suara gemuruh bagaikan lonceng petanda berakhirnya pertemuan
para malaikat.
Lalu tinggal kepatuhan menjalankan rutinitas yang
ada. Malaikat telah sepakat tidak akan mengadakan konferensi lagi. Mereka sadar kalau itu diteruskan akan
kacau. Mereka takut terjerembab seperti manusia-manusia itu. Laiknya manusia-manusia
yang membelot. Menuruti ambisinya dengan melalaikan kewajibanya. ”Segala
pembagian sudah pada proporsi yang seimbang. Dan keseimbangan harus dijaga.
Kepatuhan harus dilakukan,” tegas seorang malaikat untuk disampaikan pada
semuanya.
Langit menitikkan hujan selama sminggu
sepeningganya pangeran. Cuaca mendung selalu menyelimuti. Keramaian masih
berjalan sebagaimana mestinya. Kala itu tepat hari ulang tahunku yang kedua
puluh.
0 komen:
Post a Comment