Kau harus tahu, belakangan ini
aku benar-benar tidak sudi meluangkan waktu untuk membuat tulisan. Aku tidak
mendapat sekjumputpun pernyataan yang menantangku buat menulis. Jiwaku yang
petualang lagi terkungkung. Di kotakan kamar, emperan belakang, ruang itu, dan
itu melulu. Yang ku temui juga melulu itu-itu saja. Mungkin sesekali butuh
masuk LP atau kejaksaan. Atau rumah para lonte. Fiuh...
Kejadian itu sanggup memberikanku
sedikit ketenangan. Namun lebih banyak kegelisahan. Hingga akhirnya aku
memutuskan untuk coba melakukan kebiasaan lamaku. Meraih buku yang dipenuhi
debu di sebuah meja. Lalu membawanya ke emperan belakang. Meski hanya dengan
modal sepotong sisa minat bacaku, sebuah tulisan telah rampung. Itupun dengan
pemaksaan yang luar biasa.
Selanjutnya, cerita yang ku baca
itu konyol. Tak lebih dari kebanyakan cerita sinetron di televisi Indonesia. Kau
tahu, ini sangat tidak mendidik. Dan tidak lantas menganjurkan aku untuk
membuat tulisan serupa. Tidak juga kau atau siapapun.
Mungkin kau akan beranggapan buku
itu memang jauh dari bermutu setelah membaca ceritaku. Tapi jangan salah paham
dulu. Bukan maksudku untuk mengarahkan pikiranmu menyamai isi pikiranku. Tentang
buku itu, baiklah akan aku ceritakan.
Mulai dari penulisnya. Aku merasa
sangat mengenal penulis buku itu. Dari tulisan-tulisannyalah aku banyak belajar
menulis. Banyak mendapat yang aku anggap kekonyolan-kekonyolan, sebagai jalan
kepenulisanku.
Dia memililiki banyak ruang untuk tiap tulisannya. Malahan sebagai pengasuh rubrik khusus di sebuah koran nasional. Keren bukan. Dari itu aku diam-diam nyolong trik menulis. Dan kadang suatu ketika, aku mencoba berkomunikasi dengan dia. Meski tidak secara langsung mata ketemu mata.
Bisa jadi, aku lebih mengenal dia
daripada diriku sendiri. Apa lagi Presiden dan para pejabat negri ini. Dia pernah
bercerita tentang ketiga anaknya. Meski hanya seklumit lalu. Dan dia acap
menulis kebiasaan yang mirip dengan kebiasaanku. Bukan, bukan mirip, alih-alih
aku memang meniru kebiasaan dia.
Sudahlah, aku rasa aku sudah
cukup mengenalnya mendalam. Tapi so pasti dia tidak kenal dan tak mau tahu
tentangku.
Sudah itu saja? Aku rasa belum. Sebagai
penulis kesohor yang malang melintang di jagad olah kata, dia sesekali membuat buku.
Saking tergila-gila padanya, aku selalu berupaya mendapatkan buku-buku itu. Tapi
naas, buku itu tak pernah sampai mejaku. Apa daya distributor yang ogah-ogahan
menjual buku-buku bermutu di kota sekecil ini.
Kabar baiknya, setelah lama
malahan setelah sempat berganti sampul, aku berhasil mendapatinya. Sebuah buku—yang
mulanya—ku kultuskan. Kau tahu, aku baru bisa tenang.
Buku itu berisi kumpulan cerita
pendek. Beberapa diantaranya sungguh menarik. Meski pernah ku baca sebelumnya. Dan
cerita itu tetap asik untuk diulang-ulang. Mungkin banyak yang tahu bahwasanya
itu sebetulnya adalah produk gagal dari si penulis. Namun bagi pembacanya—kok bisa—tetap
sakral. Mungkin kau tidaktahu ya.
Aku tadi bilang telah mengenalnya
melebihi aku mengenal diriku. Ini bagian yang kemudian menjadikan buku itu
tidak menarik lagi. Hanya menurutku, ingat. Karena setiap membaca awal
tulisannya, aku merasa seolah-olah itu tulisanku. Dan aku tahu arah tulisan dan
akan berakhir seperti apa. Bukankah itu menjadi sesuatu yang menyedihkan.
Akhirnya, buku itu bernasib naas.
Setelah sekian lama mengonggok di meja. Tiba juga saatnya untuk dipinjamkan. Dan
tragisnya, hujan ingin ikut-ikut menyelami tiap lembarnya. Meski itu tidak
mengubah alur isi. Tapi buku—yang sudah tidak terlalu menarik buatku—itu kini
lebih tampak menyedihkan. Jauh dari mulus, ada bagian yang mengembang dan
menjadi tak seramping dulu alias gendut. Belum lagi di beberapa bagian lembar
tubuhnya dijangkiti jamur-jamur. Sungguh mengerikan.
Mungkinkah jika aku menulis juga
akan berakhir demikian. Tidak ada yang tahu. Tapi kau harus tahu, selalu ada
akhir cerita buruk pada situasi tertentu. Sebaik apapun tulisan, dia tidak akan
baik jika situasi ruang dan waktu tidak klop. Kuharap kau paham.
Seperti misalnya apakah kau
pernah bertanya, menulis bisa mendapatkan gadis cantik. Paling tidak menarik
sedikit perhatiannya. Ya, itu pernyataan yang tidak ada hubungannya. Namun bisa
saja dipaksa dihubungkan.
Ketika kau tengah menyelesaikan
tulisanmu, lalu ada gadis cantik lewat, apa dia akan memperhatikanmu. Pun belum
tentu ketika ia benar-benar menghampirimu, kau bisa melanjutkan tulisanmu
seenteng menenteng pantatmu kemana saja.
Sudahi saja ya, nampaknya mulai
melantur tak tentu arah. Jangan keterusan!
0 komen:
Post a Comment