Udang Melempar Batu

0 komen
Mungkin orangtuamu tidak pernah mendongen tentang amat bahayanya cerpen. Ya, cerpen. Sebuah tulisan yang isinya cerita-cerita pendek. Yang pasti tak asing buat kebanyakan khalayak. Namun apa iya mereka itu tahu bahayanya. Jika tidak tahu, ku harap kau menyimak cerita yang akan aku ceritakan ini.

Mulanya cerpen hanyalah cerpen. Berisi jajaran aksara yang tertata rapi. Membingkis kisah-kisah unik, romantik, heroik dan banyak lagi. Acap kali tulisan itu menjadi sumber inspirasi bagi pembacanya. Mendatangkan senyum, tawa, sedih, iba. Lalu, dimana letak bahaya yang sesungguhnya. Kau tahu?

Bisa jadi isi yang terbingkis dalam sebuah cerpen merubah hidup seseorang. Paling tidak memberikan arah yang berbeda dari jalur yang biasanya. Dan itu sangat sah-sah saja terjadi. Penulis tentu memiliki atau menyimpan hasratnya dalam bingkisan tulisan cerita yang ia buat itu. Lalu berharap akan memberi sebuah arti bagi pembacanya.

Kau tahu, bukan itu bahaya yang aku maksudkan. Mungkin lebih dari itu. Tapi apa bahaya itu, aku sendiri masih mereka-reka. Jadi harap lebih sabar untuk membacai tulisan ini.

Dalam benakku, senjata itu digunakan untuk menaklukan yang tidak bersenjata. Misalnya, SBY memiliki sebuah majalah Dzikir untuk mendongkrak popularitasnya. Hegemoni itu jelas terangkum dalam Dzikir untuk mempengaruhi para pembacanya. Isinya tentang apa saja demi memikat para pembaca biar pada klepek-klepek pada SBY. Itu sebuah alur yang lazim di dunia ini.

Dalam sinema drama kolosal Indonesia, pedang digunakan untuk menebas lawan yang hanya bertangan kosong. Tapi belum tentu tangan kosong kalah oleh pedang. Kan iya? Kau pasti tahu itu. Si pendekar berpedang mati oleh pedangnya sendiri. Dan itu sudah sering dan mudah di terka.

Lantas bagaimana dengan cerpen. Apa iya cerpen memiliki pola yang  sama dengan pedang.

Agaknya terlalu pelik buatku menjelaskan ini. Tapi biarlah ku coba dengan bahasaku yang kadang sulit dimengerti. Kau harus bersabar dan lebih sabar lagi. Dan biarkan pikiran itu bekerja sebagaimana mestinya. Membangunkan imaji-imajimu yang liar.

Harusnya aku bisa memperdaya pembaca dengan cerpenku. Karena aku dapat menyisipkan puing-puing hasratku. Agar para pembaca tahkluk dan terhipnotis melakukan apa mauku. Itulah seharusnya yang terjadi. Jika benar-benar kita bicara isi.

Namun naas, jika cerpen itu hanya alasan yang tak ubahnya trik anak SD yang berpura-pura pinjam buku pada orang yang ia maui. Yang sebenarnya ia mengingini orangnya, bukan bukunya. Jadi, seberapapun bagus buku itu, percuma saja. Karena buku itu tidak akan pernah sekalipun dibaca, jangankan dibaca, dibuka-buka saja tidak. Yang ia inginkan jelas, sebuah perhatian kecil-kecilan dari si pemilik buku.

Padahal harapan si pemilik buku amat tinggi. Buku itu bisa di baca-baca lalu menimbulkan kesan. Bahkan mempengaruhi. Jadi, bahaya cerpen bernasib sama dengan buku itu. Yang punya buku justru diperdaya. Sungguh lihai.

Mungkin tidak semua yang baca tulisan ini tahu maksudku. Tapi itu memang salah satu kelemahanku. Kesulitan menyampaikan maksudku dengan bahasa yang mudah dimengerti.


Tapi kenapa kau terbiasa ingin menjadi pembaca yang tolol. Pembaca yang selalu dimudahkan, dimanjakan oleh penulis dengan bahasa-bahasa yang langsung di cerna. Bahasa yang mudah dimengerti.  Tidak melalui proses berpikir dulu. Maka niscya selamanya kau akan jadi pembaca yang budiman. Nama lain—bahasa yang mudah dimengerti—para pembaca idiot.

Jambi, How Are You To Day

0 komen
Apa yang bikin kamu pengen ke Jambi? Menarik sekali bukan. Baik, saya akan jujur menjawab. Berhubung ini lomba, saya akan seolah-olah ingin pergi ke Jambi. Dengan memaparkan beberapa alasan yang sebenarnya saya karang, saya buat-buat. Saya kondisikan dengan keadaan saya sekarang. Untuk sebuah tujuan, memenangkan lomba ini. Sudah dan tidak lebih.

Alasan itu berupa, nggg, ini. Beberapa hari ini sungguh penat dan janggal. Penat, isi pikiran dan laku samasekali tak segendang sepenarian. Maunya apa yang dilakukan apa. Sungguh dan teramat menjengkelkan. Janggal, hawa yang semaunya berubah-ubah. Sebentar terik lengkap dengan panasnya, lalu hujan mendera dengan irama lebatnya. Menyisakan dingin di kemudian. Paduannya siap membikin tubuh yang dikerumuni suasana penat dan janggal menjadi rentan. Rentan dijalari penyakit-penyakit keparat.

Huh. Nampaknya butuh suasana baru. Dengan nutrisi-nutrisi baru pula. Yang siap menyegarkan pikiran sejenak. Melakukan sesuatu yang jauh dari penting mungkin dapat dicoba. Kadang hal-hal seperti itu mampu membangkitkan inspirasi. Untuk memulai atau melanjutkan lagi tanggungan yang sudah menunggu. Betuh sedikit kegokilan.

Apa, jawab dong. Baik, alasan untuk ke Jambi kali ini bukanlah muluk-muluk. Tidak untuk berbisnis memupuk kekayaan, atau melancong menghabiskan waktu dan uang. Pun juga mengunjungi sanak keluarga. Tidak juga karena menghadiri peresmian maupun prosesi macam itu.

Yang menarik saya, saya ingin mencobai bakso yang ada di seluruh Jambi. Selain itu, juga penjaja kopi yang haram untuk saya lewatkan begitu saja. Selain itu, mungkin untuk sesekali mengunjungi pasar hewan di sana. Barangkali ada yang cocok untuk menambah koleksi piaraan saya di rumah. Sudah itu saja dulu. Yang lainnya menyusul ketika saya sudah dapat uang dan betul-betul pergi ke Jambi.

Apa coba, bayangkan. Anda tidak punya kepentingan dengan Jambi. Tidak punya sanak keluarga di sana. Tidak punya rekanan bisnis. Tidak punya teman dekat. Tidak punya niatlah garis besarnya. Lalu tiba-tiba anda harus mempunyai keinginan untuk pergi ke Jambi.

Terkait hal itu, saya iseng-iseng mengadakan riset kecil-kecilan. Mungkin malahan jauh kalau disandingkan dengan riset seperti yang sudah-sudah, lebih tepatnya saya menanyai beberapa teman. Yang daftar namanya ada di android saya. Terkait dengan “Apa yang bikin kamu pengen ke Jambi?”

Mau tahu hasilnya? Baiklah, ini akan saya sampaikan dengan sejujur-jujurnya. Tanpa mengada-ada dan hanya apa adanya.

Jujur, memang sebagian orang yang saya tanyai, menjawab tidak ingin ke Jambi. Malah beberapa mereka balik tanya, ngapain ke Jambi. Yah, memang macam rupa jawaban yang muncul. Seperti kata H-nif Jrs, “Gak enek(ada) keinginan nang(ke) Jambi Jo. Iki(ini) aku persiapan tes CPNS Pemprov jo. Betapa lucu teman saya yang satu ini. Dia fresh graduate yang kerjanya mencari kerja.

Berikutnya ada sih yang berkeinginan ke Jambi. Tapi ya itu, sebatas jalan-jalan saja. Dia adalah Sarah. Seorang mahasiswi yang pastinya suka berpetualang. “Main, wisata,” kata dia.

Ada lagi jawaban seorang Ester yang agak unik. Katanya, “Buat nambah koleksi foto, buat ganti foto profil.” Ya itu alasan dia ingin pergi ke Jambi, selain traveling menjajaki kota baru bagi dia. Sungguh menggelitik ulah kawan-kawan saya.

Beda lagi kalau si Ipang. Katanya di Jambi ada Omnya yang paling kaya. Pingin dia kalau ke Jambi, “Gak muluk" seh,paling cumak(hanya) dicekeli(dipercaya) kebon sawit, dadi(jadi) bendino(tiap hari) gak usah(perlu) ngantor, cuman ngecek nek(kalau) kebone(kebunnya) digae(dipakai) panggon(tempat) maksiat opo(atau) nggak(tidak).”


Intinya, setiap orang memang memiliki hasrat yang berbeda-beda. Tentang mana alasan yang paling benar, paling menarik, dan dirasa paling benar, itu sungguh relatif. Seperti jawaban untuk pertanyaan, “Apa yang paling anda butuhkan di dunia ini?” Bagi yang sedang lapar akan menjawab makanan adalah yang paling penting. Bagi yang kedinginan akan menjawab kehangatan. Bagi yang tak punya rumah, rumahlah yang terpenting. Dan bagi anda, mungkin akan beda lagi. Yah, itulah indahnya dunia. Selalu banyak perbedaan tidak berarti buruk.





Postingan ini diikutsertakan dalam lomba blog http://www.pipetmagz.com/

Balada Gagal Paham

0 komen
Kau harus tahu, belakangan ini aku benar-benar tidak sudi meluangkan waktu untuk membuat tulisan. Aku tidak mendapat sekjumputpun pernyataan yang menantangku buat menulis. Jiwaku yang petualang lagi terkungkung. Di kotakan kamar, emperan belakang, ruang itu, dan itu melulu. Yang ku temui juga melulu itu-itu saja. Mungkin sesekali butuh masuk LP atau kejaksaan. Atau rumah para lonte. Fiuh...

Kejadian itu sanggup memberikanku sedikit ketenangan. Namun lebih banyak kegelisahan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk coba melakukan kebiasaan lamaku. Meraih buku yang dipenuhi debu di sebuah meja. Lalu membawanya ke emperan belakang. Meski hanya dengan modal sepotong sisa minat bacaku, sebuah tulisan telah rampung. Itupun dengan pemaksaan yang luar biasa.

Selanjutnya, cerita yang ku baca itu konyol. Tak lebih dari kebanyakan cerita sinetron di televisi Indonesia. Kau tahu, ini sangat tidak mendidik. Dan tidak lantas menganjurkan aku untuk membuat tulisan serupa. Tidak juga kau atau siapapun.

Mungkin kau akan beranggapan buku itu memang jauh dari bermutu setelah membaca ceritaku. Tapi jangan salah paham dulu. Bukan maksudku untuk mengarahkan pikiranmu menyamai isi pikiranku. Tentang buku itu, baiklah akan aku ceritakan.

Mulai dari penulisnya. Aku merasa sangat mengenal penulis buku itu. Dari tulisan-tulisannyalah aku banyak belajar menulis. Banyak mendapat yang aku anggap kekonyolan-kekonyolan, sebagai jalan kepenulisanku.

Dia memililiki banyak ruang untuk tiap tulisannya. Malahan sebagai pengasuh rubrik khusus di sebuah koran nasional. Keren bukan. Dari itu aku diam-diam nyolong trik menulis. Dan kadang suatu ketika, aku mencoba berkomunikasi dengan dia. Meski tidak secara langsung mata ketemu mata.

Bisa jadi, aku lebih mengenal dia daripada diriku sendiri. Apa lagi Presiden dan para pejabat negri ini. Dia pernah bercerita tentang ketiga anaknya. Meski hanya seklumit lalu. Dan dia acap menulis kebiasaan yang mirip dengan kebiasaanku. Bukan, bukan mirip, alih-alih aku memang meniru kebiasaan dia.

Sudahlah, aku rasa aku sudah cukup mengenalnya mendalam. Tapi so pasti dia tidak kenal dan tak mau tahu tentangku.

Sudah itu saja? Aku rasa belum. Sebagai penulis kesohor yang malang melintang di jagad olah kata, dia sesekali membuat buku. Saking tergila-gila padanya, aku selalu berupaya mendapatkan buku-buku itu. Tapi naas, buku itu tak pernah sampai mejaku. Apa daya distributor yang ogah-ogahan menjual buku-buku bermutu di kota sekecil ini.

Kabar baiknya, setelah lama malahan setelah sempat berganti sampul, aku berhasil mendapatinya. Sebuah buku—yang mulanya—ku kultuskan. Kau tahu, aku baru bisa tenang.

Buku itu berisi kumpulan cerita pendek. Beberapa diantaranya sungguh menarik. Meski pernah ku baca sebelumnya. Dan cerita itu tetap asik untuk diulang-ulang. Mungkin banyak yang tahu bahwasanya itu sebetulnya adalah produk gagal dari si penulis. Namun bagi pembacanya—kok bisa—tetap sakral. Mungkin kau tidaktahu ya.

Aku tadi bilang telah mengenalnya melebihi aku mengenal diriku. Ini bagian yang kemudian menjadikan buku itu tidak menarik lagi. Hanya menurutku, ingat. Karena setiap membaca awal tulisannya, aku merasa seolah-olah itu tulisanku. Dan aku tahu arah tulisan dan akan berakhir seperti apa. Bukankah itu menjadi sesuatu yang menyedihkan.

Akhirnya, buku itu bernasib naas. Setelah sekian lama mengonggok di meja. Tiba juga saatnya untuk dipinjamkan. Dan tragisnya, hujan ingin ikut-ikut menyelami tiap lembarnya. Meski itu tidak mengubah alur isi. Tapi buku—yang sudah tidak terlalu menarik buatku—itu kini lebih tampak menyedihkan. Jauh dari mulus, ada bagian yang mengembang dan menjadi tak seramping dulu alias gendut. Belum lagi di beberapa bagian lembar tubuhnya dijangkiti jamur-jamur. Sungguh mengerikan.

Mungkinkah jika aku menulis juga akan berakhir demikian. Tidak ada yang tahu. Tapi kau harus tahu, selalu ada akhir cerita buruk pada situasi tertentu. Sebaik apapun tulisan, dia tidak akan baik jika situasi ruang dan waktu tidak klop. Kuharap kau paham.

Seperti misalnya apakah kau pernah bertanya, menulis bisa mendapatkan gadis cantik. Paling tidak menarik sedikit perhatiannya. Ya, itu pernyataan yang tidak ada hubungannya. Namun bisa saja dipaksa dihubungkan.

Ketika kau tengah menyelesaikan tulisanmu, lalu ada gadis cantik lewat, apa dia akan memperhatikanmu. Pun belum tentu ketika ia benar-benar menghampirimu, kau bisa melanjutkan tulisanmu seenteng menenteng pantatmu kemana saja.


Sudahi saja ya, nampaknya mulai melantur tak tentu arah. Jangan keterusan! 
 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere