Mungkin orangtuamu tidak pernah
mendongen tentang amat bahayanya cerpen. Ya, cerpen. Sebuah tulisan yang isinya
cerita-cerita pendek. Yang pasti tak asing buat kebanyakan khalayak. Namun apa
iya mereka itu tahu bahayanya. Jika tidak tahu, ku harap kau menyimak cerita
yang akan aku ceritakan ini.
Mulanya cerpen hanyalah cerpen. Berisi
jajaran aksara yang tertata rapi. Membingkis kisah-kisah unik, romantik, heroik
dan banyak lagi. Acap kali tulisan itu menjadi sumber inspirasi bagi
pembacanya. Mendatangkan senyum, tawa, sedih, iba. Lalu, dimana letak bahaya
yang sesungguhnya. Kau tahu?
Bisa jadi isi yang terbingkis
dalam sebuah cerpen merubah hidup seseorang. Paling tidak memberikan arah yang
berbeda dari jalur yang biasanya. Dan itu sangat sah-sah saja terjadi. Penulis tentu
memiliki atau menyimpan hasratnya dalam bingkisan tulisan cerita yang ia buat
itu. Lalu berharap akan memberi sebuah arti bagi pembacanya.
Kau tahu, bukan itu bahaya yang
aku maksudkan. Mungkin lebih dari itu. Tapi apa bahaya itu, aku sendiri masih
mereka-reka. Jadi harap lebih sabar untuk membacai tulisan ini.
Dalam benakku, senjata itu
digunakan untuk menaklukan yang tidak bersenjata. Misalnya, SBY memiliki sebuah
majalah Dzikir untuk mendongkrak popularitasnya. Hegemoni itu jelas terangkum
dalam Dzikir untuk mempengaruhi para pembacanya. Isinya tentang apa saja demi
memikat para pembaca biar pada klepek-klepek
pada SBY. Itu sebuah alur yang lazim di dunia ini.
Dalam sinema drama kolosal
Indonesia, pedang digunakan untuk menebas lawan yang hanya bertangan kosong. Tapi
belum tentu tangan kosong kalah oleh pedang. Kan iya? Kau pasti tahu itu. Si pendekar
berpedang mati oleh pedangnya sendiri. Dan itu sudah sering dan mudah di terka.
Lantas bagaimana dengan cerpen. Apa
iya cerpen memiliki pola yang sama
dengan pedang.
Agaknya terlalu pelik buatku
menjelaskan ini. Tapi biarlah ku coba dengan bahasaku yang kadang sulit dimengerti.
Kau harus bersabar dan lebih sabar lagi. Dan biarkan pikiran itu bekerja
sebagaimana mestinya. Membangunkan imaji-imajimu yang liar.
Harusnya aku bisa memperdaya
pembaca dengan cerpenku. Karena aku dapat menyisipkan puing-puing hasratku. Agar
para pembaca tahkluk dan terhipnotis melakukan apa mauku. Itulah seharusnya
yang terjadi. Jika benar-benar kita bicara isi.
Namun naas, jika cerpen itu hanya
alasan yang tak ubahnya trik anak SD yang berpura-pura pinjam buku pada orang
yang ia maui. Yang sebenarnya ia mengingini orangnya, bukan bukunya. Jadi, seberapapun
bagus buku itu, percuma saja. Karena buku itu tidak akan pernah sekalipun
dibaca, jangankan dibaca, dibuka-buka saja tidak. Yang ia inginkan jelas, sebuah
perhatian kecil-kecilan dari si pemilik buku.
Padahal harapan si pemilik buku
amat tinggi. Buku itu bisa di baca-baca lalu menimbulkan kesan. Bahkan mempengaruhi.
Jadi, bahaya cerpen bernasib sama dengan buku itu. Yang punya buku justru diperdaya.
Sungguh lihai.
Mungkin tidak semua yang baca
tulisan ini tahu maksudku. Tapi itu memang salah satu kelemahanku. Kesulitan menyampaikan
maksudku dengan bahasa yang mudah dimengerti.
Tapi kenapa kau terbiasa ingin
menjadi pembaca yang tolol. Pembaca yang selalu dimudahkan, dimanjakan oleh
penulis dengan bahasa-bahasa yang langsung di cerna. Bahasa yang mudah
dimengerti. Tidak melalui proses
berpikir dulu. Maka niscya selamanya kau akan jadi pembaca yang budiman. Nama lain—bahasa
yang mudah dimengerti—para pembaca idiot.
0 komen:
Post a Comment