Mode Pakaian

0 komen
Musim kali ini basah. Hujan selalu mengguyur. Siapa yang tidak tahu. Paling tidak untuk wilayah Jember dan sekitarnya. Malahan dua hari terakhir, sejak menutup hingga membuka mata, rinai hujan masih setia memeluk dingin mesra.

Kalau musim seperti ini, kira-kira pakaian mode apa yang klop? Kalau Ginanjar PU yang dilempar pertanyaan, pasti tak ada opsi jawaban lain kecuali Babebo. Maklum, saya dan dia kerap hunting pakaian di sana. Lumayan, bisa hemat dan cukup hangat.

Bola

0 komen

Urat-urat kaki semakin lama kian menegang. Lantaran tak sering lagi digunakan untuk kecil-kecil berlarian. Atau juga untuk memainkan sebongkah bola. Saya mulai rindu kembali pada rerumputan lapangan yang kini tengah hijau-hijaunya.

Ngrasani bola, saya jadi ingat cerita nostalgia. Saat saya mulai bermain di lapangan sesungguhnya dengan bola dan bersepatu laiknya pemain bola betulan. Ini bukan kisah semata saya yang gemar bermain bola. Tapi lebih pada mengaitkan simpul-simpul kenangan. Di masa saya bermain bola bersama kawan lama. Rajutan yang tinggal kenangan itu dimulai ketika saya masih berseragam putih biru. Kelas tiga.

Linsang di Balik Kerangkeng

0 komen

Saya harus menunda sementara untuk bisa bermain bersama berang-berang sepanjang waktu. Lantaran harganya yang tak bersahabat dengan kondisi keuangan saya. Saya hanya bisa sesekali mengelusnya. Dan itu pun saya harus ke pasar. Itu juga mungkin hanya untuk sementara waktu. Kalau sudah laku, ya tak bisa lagi untuk sekedar mengelus.

Apa daya, haruskah saya membayar seratus limapuluh ribu sebagai mahar pertemanan saya dengan berang-berang. Nampaknya memang begitu syarat sahnya. Hanya saja saya benar-benar tak punya cukup uang saat-saat ini. Harga itu masih lebih murah, ketimbang saya harus beli secara online. Yang mana saya harus keluar uang sedikitnya empat ratus ribu. Itu belum hitung-hitungan ongkos kirim.

Berteman Binatang

0 komen

Saya cinta pada binatang. Lalu kenapa sampai sekarang saya belum membuat tulisan tentangnya. Kan harusnya tulisan yang dibuat atas dasar cinta itu bisa lebih menggila. Seperti pemuda-pemudi yang lagi galau lantaran dilanda asmara. Bisa berbait-bait melahirkan puisi.

Saya selalu kelupaan untuk membuat cerita manis ketika bersama hewan piaraan saya. Saya kerap kali menceritakan ketika piaraan saya itu sudah tak lagi ada. Alias sudah pada mati. Karena rasa sedih yang cenderng datang meluap-luap. Mengalahkan kenangan manis yang ada.

Altar

0 komen

Ini tentang bagaimana saya memutar otak. Sebuah kerjaan yang selalu dan terus terjadi. Oia, ini awalnya juga hendak menyinggung sebaris tulisan usang yang masih mengusik pikiran saya. Dan saya tidak mau menjadi seperti  salah satu yang diacu dalam tulisan itu. ”Awalnya, banyak yang bilang ingin menjadi penulis. Tapi sedikit sekali mereka yang saya jumpai sebagai penulis.” 

Sebuah phobia yang selama ini menguntit langkah saya. Kembali lagi, otak saya tak secerdas dan sepintar orang kebanyakan. Bahkan saya sering ciut ketika harus berhadapan dengan orang lain. Ah, kok jadi gini sih. Gini aja, meski memori dan kemampuan otak tiap orang beda, namun semua masih bisa dilatih dan diasah. Bahkan diupgrade

Ini hanya bicara kesenangan. Ketika saya tiba-tiba jatuh cinta pada dunia ikan, saya melupakan dan meninggalkan bangunan kegemaran saya sebelumnya. Saya begitu terobsesi dengan kibasan ekor ikan-ikan kecil imut yang memukau. Sungguh! Lalu ada sebutir kakikukan yang turut mengalir dalam tiap tetes air di akuarium. 

Akankah saya berakhir dan berbelok menjadi seorang awam yang sebagian besar waktunya dihabiskan bersama ikan. Tidak adakah hal lain yang bisa dilakukan? Lalu bagaimana dengan niatan saya yang semula ingin blajar dan menjadi seorang penulis? 

Sungguh kacau saya. Sempat ragu dan gentar ketika sudah lama tak menorehkan sebuah tulisan, lalu muncul tuntutan profesi. Seperti menata kembali batu bata untuk mengokohkan bangunan lama. Dan itu sangat terasa kaku, tidak serenyah dan semengalir beberapa catatan saya dulu. 

Betapa dulu saya menyelesaikan sebuah tulisan tak lebih dari dua jam. Dan betapa saya mencoba menyulut semangat kawan-kawan untuk menulis, mengendarai tulisan saya yang serba mengalir bagai air dan udara yang berhembus. Dalam tulisan yang judulnya saya buat terpisah. Pertama seperti kebanyakan judul, diawal tulisan dan potongan pelengkapnya di akhir tulisan. saya meletakkan judul MENULIS ITU? Lalu seolah menjawab, MENYENANGKAN. 

Oai, ada sesuatu yang hampir kelupaan. Sempatkanlah membuka kembali dan membaca-baca catatan yang pernah dirampungkan. Siapa nyana nanti bisa menginspirasi. Atau sedikitnya menjadi barometer sebuah tulisan. Berkembang atau sama atau merosot. 

Saya sempat terkecoh. Mungkin tidak separah itu. Ketika saya begitu mengkultuskan seorang penulis, karena saya anggap tulisannya demikian apik, ternyata tak seperti itu tanggapan orang lain. Setiap orang punya idolanya masing-masing. Yang disesuaikan dengan diri tiap orang. 

Maksud saya, coba tengok juga beberapa penulis yang belum kita kenal. Karena gaya dan cara tiap orang mengekspresikan diri bisa jadi beda. Meski menyangkut subyek yang sama. Kini, saya mencoba dalam memerah otak untuk menulis, ya menggunakan cita dan cara saya. Karena saya merasa bisa menemukan sebuah kedifferenan diri saya. 

Dan saya hanya melakukan itu sebisa dan semampunya. Memunculkan pesaing juga boleh. Membakar semangat untuk menggungguli yang lain demi kebaikan. Saya paling benci terhadap orang yang selalu bisanya menjadi bayang-bayang. Tidak mau mandiri. Berkiblat boleh-boleh saja, namun jika berlebihan hingga harus menjadikan seolah dibawah bayang-bayang berketerusan, sungguh membuat saya muntab. Lha wong setiap orang punya pikiran sendiri kok bersembunyi di bawah bayang-bayang. Kalau dalam sebuah Warcraft, segeralah dirikan altar. Perkuat pasukan. Perang lalu menang. Pilihannya dua, pulang atau menang!! 

Seandainya Kawan Saya Jadi Penulis Hebat

0 komen

Bukan maksud saya mengatai bahwa kawan saya bukanlah penulis yang hebat. Saya yakin kawan-kawan saya penulis hebat. Tapi buat saya hanya ada seorang kawan yang benar-benar hebat. Tulisannya seringkali menghiasi koran maupun portal berkelas nasional. Bukankah itu sebuah prestasi yang patut diacungi jempol.

Karena tak banyak orang bisa seperti itu. Saya saja tak bisa berbuat banyak. Bahkan belum pernah sekalipun tulisan saya dimuat di media-media umum. Meski getol saya mencoba, tapi masih saja belum bisa tembus. Ini bukan perkara nasib. Tapi murni kepiawaian dalam merangkai sebuah tulisan.

Saya ingat betul, ketika tiap kali baca tulisannya. Gayanya yang ngepop. Ringan usil sekaligus selengekan. Itu yang bikin decak kagum saya selalu terlontar. Terlebih, isi tulisannya yang nyentring. Sebenarnya berat. Tapi dengan kelihaiannya, diolah seringan bulu angsa mengapung di permukaan air. Sungguh kecerdikan yang langka.

Bukan hanya itu. Sifat kerendahan hatinya yang tak suka aneh-aneh senantiasa membuat siapapun yang bersamanya nyaman. Dia tak suka memaksakan kehendak. Dia selalu mencari jalan tengah. Penuh kesahajaan perantauannya sebagai pelajar dijalani seperti anak kebanyakan. Padahal latarbelakan keluarganya bukan orang sembarangan.

Malahan, pernah suatu malam harus ngutang di cak Ndan. Karena betul-betul kehabisan uang. Setelah pesan Indomi goreng, kopi, dan beberapa lencer rokok utilan. Ternyata sisa-sisa uang di kantong tak cukup banyak hingga bisa membayar setengahnya saja. Sebuah lakon hidup benar-benar khas anak perantauan.

Saya ingin sekali bisa seperti dia. Meski takaran sebelas-lima belas. Bagi saya itu sudah jauh dari cukup. Tapi rasa-rasanya jauh pula dari mungkin. Mungkin karena otak saya yang selalu saja tak terlalu pandai. Juga hati saya yang tak seteduh hatinya. Sehingga tindakan saya cenderung konyol. Bikin orang di sekeliling saya mangkir kalau ketemu.

Panjang waktu saya habiskan bersamanya. Acapkali saya tak harus pulang. Berbagi kamar yang tak luas-luas amat dengan dia. Tapi ya gitu, kalau lagi berbincang isinya selalu tak pernah jelas. Ngetan-ngulon tak ada jluntrunge. Sembari ditemani ubi rebus yang masih hangat. Ubi yang kami beli di pasar Tanjung.

Pokoknya, dia seorang penulis hebat yang pernah menjadi kawan saya. Saya yang selalu kehabisan uang. Dan kalau kepaksa harus ngutang. Ke siapa lagi kalau bukan pada dia. Meski tak tampan-tampan amat, dia memang hebat. Buktinya seorang perempuan asal Balung berhasil dia kait hatinya. Lagi-lagi ini karena kehebatan yang dia miliki.

Beberapa kali juga dia diminta untuk menjadi pembicara dalam sebuah pelatihan menulis. Dengan gayanya yang sederhana dan selalu rendah hati, dia tak pernah menolak. Dan meski mengenakan pakaian seadanya, dia datang tepat waktu. Lalu menyampaikan seisi kepala lengkap dengan seluruh keahliannya. Tanpa ada yang disembunyikan. Ilmunya dengan mudah dibagi-bagikan.

Tragisnya, jalan tak semudah kelihatannya. Arah tujuan hidup berkata lain. Kini dia lebih menggeluti usaha lain. Di luar keahliannya untuk mengolah kata. Dia mendalami ilmu ayam. Sebagai sampingan usahanya sebagai saudagar muda. Mungkin petualangan sebagai penulis memang tak cepat bikin kaya. Atau karena alasan lain, saya tak tahu betul.

Saya tetap salut dengan jalan hidupnya. Tapi apa salahnya kalau-kalau keulungannya mengolah kata diwariskan ke saya terlebih dahulu. Saya akan berbesar hati menerimanya. Tapi kan itu tak semudah memindai tali toga. Kalau dibahasakan lugasnya tak mungkin. Alias imposibel.

Semoga saja perjalannan hidup kawan saya yang seorang Dono tak pernah putus di perjalannan. Tetap mengalir menuju luas samudra. Dan, selalu sisihkan sedikit waktu untuk sekedar melempar kail jauh-jauh ke tengah laut.

Kino dan Moon Light

0 komen

Sejak kecil saya tinggal di desa. Karena saya tulen orang desa. Nah, di desa tak banyak referensi yang menawarkan opsi makanan yang aneh-aneh. Yang ada ya itu yang dimakan. Salah satunya buah. Mari bicara buah. Buah jeruk dan apel saja. Yang  sebenarnya pohonnya tak banyak tumbuh di desa saya. Tapi tak apalah.  

Mungkin ini pengalaman terburuk saya. Seumur-umur baru kali ini saya makan jeruk rasa khas peceren. Namanya jeruk Kino Pakistan. Kalau diamati dari tampilan, jelaslah tak diragukan. Warna oranye cerah membulat rata. Pasti bikin kepincut. Aromanya semriwing bikin lidah kemecer. Sedap betul. Tapi naasnya, pada rasa. Ya, rasa yang beribu aneh.

Apa benar lidah saya yang lagi kesleo. Kok tiba-tiba rasanya membawa suasana peceran yang pernah tak sengaja keminum. Dulu sekali sewaktu saya kecil. Benar-benar tak terteka di muka lidah saya. Saya tidak sedang mengigau. Setelah selining rasanya rusak, saya coba lagi liningan lain. Eh rupanya tak ada beda. Bukan salah lidah saya berarti.

Sebelumnya saya sempat menaruh curiga. Gak biasanya jeruk ditaruh di meja bisa bertahan selama itu. 
Kalau-kalau kondisinya normal, pasti sudah ludes. Kayak jeruk mini itu. Jeruk ukuran sebola bekel warna oranye rasa mantap.

Dan lagi cerita tentang apel kudisan. Apel lokal murahan dengan bercak-bercak hitam. Selalu, buah sejenis ini tak akan kesentuh. Apalagi di rumah ini. Memang saya akui kalau Moon Light China rasanya sedikit lebih nonjok. Meski hanya sebelas-dua belas sih. Tapi dari segi tampilan, lima-dua puluh. Tampilannya oke banget.

Nah ini dia. Kan saya hanya numpang hidup di rumah saudara perempuan saya. Saya tak pernah beli buah. Karena saya tak banyak punya duit. Hanya ikut menikmati saja. Saya dapat sebuah praduga baru. Mungkin saudara saya itu kalau beli buah dilihat dari tampilannya saja. Menyoal rasa, nanti kalau sudah di rumah baru tau rasa. Alias kapok. Karena rasanya tak semanis kelihatannya.

Galau Secukupnya

0 komen

Mulanya saya iseng alih-alih usil. Membuka-buka kronologi di sebuah facebook orang. Dari sana saya mendapati sebuah tautan tulisan dengan judul Senyum Secukupnya. Ini menginspirasi saya buat menconteknya. Karena saya beranggapan judul seperti itu cukup unik dan menarik. 

Bukannya saya tukang contek. Meniru itu baik untuk sebuah kebaikan. Bukannya begitu? Apa lagi ini bisa sedikit memblokir laju galau yang sedang mendera saya. Semoga si empunya tautan dapat balasan yang pas. Ada yang bilang atm atau tiga n untuk menjadi ulung.

A adalah amati. T tiru. Dan M maksudnya modivikasi. Ini jurus lawas. Atau tiga n. N pertama niteni. Lalu nirokke. Dan selanjutnya Ngembangke. Bukannya saya bermaksud menggurui. Hanya membagi sedikit yang pernah saya baca. Kali aja Anda belum membaca. Kalau sudah ya untuk sekedar mengingatkan saja. tak ada ruginya. Apalagi kalau sedang dilanda galau tiada ujung. Laik saya. Mungkin akan berfaedah.

Saya yang galau adalah saya yang lupa cara untuk bersenang-senang. Selalu disibukkan dengan rutinitas itu melulu. Atau malah tak ada kesibukan sama sekali alias nganggur.(dot)com. Ini yang membikin saya pening tanpa musebab yang pasti. Tapi efeknya begitu nyata. Saya dibuat tak berdaya untuk melakukan apa-apa. Mengharubiru tragis. Tapi tak separah itu melulu juga.

Nyatanya kini saya bisa membagi pengalaman yang menimpa saya. Mungkin saja tak pelak muspro buat Anda di lain kesempatan. Aih, bukannya saya menghendaki Anda untuk menjadi galau. Hanya saja untuk sedia payung sebelum hujan. Kali aja bola liar kegalauan dioper ke Anda.

Jangan anggap saya orang yang amat parau. Karena banyak cetus ini itu. Tak ada tendeng aling-aling apa-apa. Kan ini semata niatan tulus saya untuk berbagi. Itu saja. tidak kurang dan tak lebih. Kalau kurang mohon dijangkepi. Kalau lebih, boleh Anda ambil.

Bayangkan saja. Saya yang berambut agak banyak. Bahkan tumbuh menjuntai hingga dagu. Dan beberapa seperti disemai di janggut. Lalu mukanya kusut-ringsek. Mungkin Anda akan takut untuk sekedar menyapa. Nah, siapa yang mau mengalami kegalauan sedemikian itu. Tak ada yang mau tentu.

Sudah dulu saya basa-basi ini-itunya. Nanti bisa-bisa saya kelewat galau. Apa jadinya? Sekarang giliran Anda untuk berbasa-basi.Tapi ingat. Basa-basi secukupnya.

Pondokatakata

0 komen

Kalau ada, saya ingin singgah di sebuah pondok kata-kata. Sebuah pondok yang di dalamnya menyediakan jutaan kata-kata yang belum pernah saya ketahui. Lalu saya akan datang dengan menyisihkan ruang kosong dalam kepala untuk menyimpan semampunya kata-kata itu. Lalu akan saya gunakan dalam setiap tulisan-tulisan yang saya buat. 

Bukankah itu tidak berlebihan. Dan bahkan sangat sederhana untuk dilakukan. Namun hingga saat ini belum pernah saya menjumpai pondok itu. Bagaimana wujudnya. Bagaimana rupa-warnanya, di mana tempatnya, masih saya cari.

Dan sepertinya itu tidak akan pernah ketemu. Atau mungkin saya belum mengenali apa sebenarnya pondok kata-kata itu. Padahal pondok kata-kata sudah ada di suatu tempat yang bagi saya jauh dan tersembunyi.
Namun sesungguhnya sangat teramat dekat. Atau pondok kata-kata itu hanya bualan saya karena malas. Malas mencari cara lain untuk memperbanyak koleksi kata-kata yang sebenarnya telah ada dalam kamus. Lalu saya memimpikan ada sebuah pondok kata-kata yang menyediakan berjuta kata. 

Yang dengan harapan besar dan serba keajaiban, ketika saya masuk, maka saya akan langsung bisa mengingat semua kata-kata yang ada. Lalu saya menjadi semacam ahli kata-kata. Setiap kata yang terucap, saya bisa memahami maknanya.

Sungguh, barangkali saya sedang mimpi di siang bolong. Tapi memang tidak bisa saya pungkiri, terkadang pikiran ini mengandaikan sesuatu yang jauh. Jauh dari jangkauan. Mungkin alasannya karena ketidakmampuan atau ketidakmauan. Sungguh, keduanya bagaikan hantu yang terus membuntuti setiap kali saya mencoba menekan keyboard.

Dan ternyata permasalahan saya dari sejak dulu tidak pernah beranjak dari ini semua. Padahal, semua telah jauh melejit. Melampaui segala keterbatasannya. Entahlah, saya tidak memedulikan hal itu. Biarkan saja mereka meluncur seperti roket. Karena, baru kemarin saya sadar. Menulis itu penting.

Tapi ternyata tidak semua isi di bumi ini dihiasi dengan tulisan. Terkadang juga butuh gambar, butuh suara, dan rasa. Saya ingin mencoba membuka pada hal baru (bagi saya) itu. Ternyata tidak semua bisa dituangkan dalam tulisan.

Saya sadar betul ketika saya menjelaskan tentang rasa apel. Saya menuliskannya pada sebuah pesan singkat. Tapi nampaknya, tulisan itu tidak bisa mewakili rasa apel, seperti saat seseorang benar-benar mengecap apel. Begitu pula saat saya menuliskan tentang sesosok perempuan ideal. Ternyata masih kurang lengkap tanpa melihat bentuk secara langsung.

Lalu ketika saya tulis suara di pabrik itu bising, memekakan telinga, belum tentu orang yang membaca tulisan saya telinganya terpekakan. Ya, masih banyak lagi. Intinya, menulis itu penting. Ada yang bilang,”Bila umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan.” Lalu sekarang ingin sekali saya bilang,”tulisan itu sambunglah lagi dengan gambar, suara, dan rasa.”  
 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere