Bola


Urat-urat kaki semakin lama kian menegang. Lantaran tak sering lagi digunakan untuk kecil-kecil berlarian. Atau juga untuk memainkan sebongkah bola. Saya mulai rindu kembali pada rerumputan lapangan yang kini tengah hijau-hijaunya.

Ngrasani bola, saya jadi ingat cerita nostalgia. Saat saya mulai bermain di lapangan sesungguhnya dengan bola dan bersepatu laiknya pemain bola betulan. Ini bukan kisah semata saya yang gemar bermain bola. Tapi lebih pada mengaitkan simpul-simpul kenangan. Di masa saya bermain bola bersama kawan lama. Rajutan yang tinggal kenangan itu dimulai ketika saya masih berseragam putih biru. Kelas tiga.

Mulanya gairah saya untuk memainkan bola tak setampuk waktu itu. Sejak kecil saya rajin main bola. Meski hanya di potongan jalan berlumpur. Dengan bola plastik yang mudah bocor meski hanya kena kuku jari kaki. Saya cukup lelah dan girang.

Kejadian itu masih melekat dalam ingatan saya hingga kini. Saya yang mudah mimisan sewaktu kecil. Mungkin hingga sekarang. Tapi  tak sekerap dulu. Ketika bola mengenai hidung, darah langsung mengalir deras. Atau ketika hidung terbentur selempangan tangan. Rasanya tak sakit sama sekali. Tapi darah yang mengalir melebihi seakan melukiskan kesakitan tingkat tinggi.

Bukan hanya karena saya main bola saya mimisan. Bahkan ketika tengah menulis di sela-sela sekolah tiba-tiba darah segar menitik dari lubang hidung. Hampir tiap hari pula ketika terlelap tidur darah serupa mengalir tak terasa. Tehunya, sebangun tidur. Bantal berlumuran darah yang sudah mulai meresap mongering. Dan naasnya, itu tak gampang dicuci.

Lalu, apa hubungannya dengan saya yang suka main bola? Saya rasa tak nyambung sama sekali. Hanya saja saya merasa tetap sehat. Meski tak pernah dengan berat badan ideal.

Laju cerita persepakbolaan saya tak hanya sampai di situ. Hingga saya berseragam putih abu-abu, saya semakin menggilai permainan ini. Kerap kali saya turut dalam laga antar sekolah. Karir terakhir saya meredup setelah tak berhasil mengeksekusi pinalti di ajang popda. Tendangan saya membumbung tinggi. Dengan kata lain itu titik puncak saya menggeluti sepak bola.

Bakat dan kesenangan saya harus kandas. Ketika saya harus menuntut ilmu di kota. Untuk bisa menata hidup yang didamba kedepannya. Meski saya membawa seperangkat alat bola. Satu stel sepatu, bola dan kaos.

Tapi saya tetap saja tak dapat memainkan permainan sesungguhnya. Karena ini adalah permainan kelompok. 
Akhirnya saya kepaksa onani. Menghabiskan sisa waktu sore saya dengan menyundul-nyundul bola sendirian. Hingga saya fasih untuk memainkan bola dengan kepala. Menaruh bola di jidat tanpa jatuh. Dan selanjutnya kejenuhan melanda. Saya harus cari kesenangan lain. pikir saya kala itu.

Ternyata bermain bola, tak sepenuhnya bisa dijadikan tumpuan hidup yang memadahi. Paling tidak untuk saya dan orang senasib saya di tempat asal saya. Nyatanya saya masih harus kelimpungan ini-itu untuk bisa menyambung hidup. Begitu pula kawan sehobi saya.

Tak sedikit dari mereka harus merantau. Tak tanggung-tanggung malahan hingga banyak yang ke negri jiran. Jadi buruh bangunan dan buruh perkebunan. Ada pula dua dari sekian kawan saya yang sepulangnya dari perantauan tinggal nama. Alias mati. Ya, bisa dibilang dua kawan karib saya. Sering main bola bersama sewaktu kecil.

Tak puas dengan cerita itu, saya memutuskan jadi penikmat saja. Suguhan laga yang tayang tiap pekan cukup menghibur saya yang sekarang. Malahan berbagai permainan serupa wining eleven atau pro evolution soccer bisa saya mainkan tanpa harus berletih-letih. Untung-untung kalau dari laga itu saya bisa mendapat sedikit tambahan uang. Hasil dari pasang taruhan.

0 komen:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere