Kalau ada, saya ingin singgah di sebuah pondok kata-kata. Sebuah pondok yang di dalamnya menyediakan jutaan kata-kata yang belum pernah saya ketahui. Lalu saya akan datang dengan menyisihkan ruang kosong dalam kepala untuk menyimpan semampunya kata-kata itu. Lalu akan saya gunakan dalam setiap tulisan-tulisan yang saya buat.
Bukankah itu tidak berlebihan. Dan bahkan sangat sederhana untuk dilakukan. Namun hingga saat ini belum pernah saya menjumpai pondok itu. Bagaimana wujudnya. Bagaimana rupa-warnanya, di mana tempatnya, masih saya cari.
Dan sepertinya itu tidak akan pernah ketemu. Atau mungkin saya belum mengenali apa sebenarnya pondok kata-kata itu. Padahal pondok kata-kata sudah ada di suatu tempat yang bagi saya jauh dan tersembunyi.
Namun sesungguhnya sangat teramat dekat. Atau pondok kata-kata itu hanya bualan saya karena malas. Malas mencari cara lain untuk memperbanyak koleksi kata-kata yang sebenarnya telah ada dalam kamus. Lalu saya memimpikan ada sebuah pondok kata-kata yang menyediakan berjuta kata.
Yang dengan harapan besar dan serba keajaiban, ketika saya masuk, maka saya akan langsung bisa mengingat semua kata-kata yang ada. Lalu saya menjadi semacam ahli kata-kata. Setiap kata yang terucap, saya bisa memahami maknanya.
Sungguh, barangkali saya sedang mimpi di siang bolong. Tapi memang tidak bisa saya pungkiri, terkadang pikiran ini mengandaikan sesuatu yang jauh. Jauh dari jangkauan. Mungkin alasannya karena ketidakmampuan atau ketidakmauan. Sungguh, keduanya bagaikan hantu yang terus membuntuti setiap kali saya mencoba menekan keyboard.
Dan ternyata permasalahan saya dari sejak dulu tidak pernah beranjak dari ini semua. Padahal, semua telah jauh melejit. Melampaui segala keterbatasannya. Entahlah, saya tidak memedulikan hal itu. Biarkan saja mereka meluncur seperti roket. Karena, baru kemarin saya sadar. Menulis itu penting.
Tapi ternyata tidak semua isi di bumi ini dihiasi dengan tulisan. Terkadang juga butuh gambar, butuh suara, dan rasa. Saya ingin mencoba membuka pada hal baru (bagi saya) itu. Ternyata tidak semua bisa dituangkan dalam tulisan.
Saya sadar betul ketika saya menjelaskan tentang rasa apel. Saya menuliskannya pada sebuah pesan singkat. Tapi nampaknya, tulisan itu tidak bisa mewakili rasa apel, seperti saat seseorang benar-benar mengecap apel. Begitu pula saat saya menuliskan tentang sesosok perempuan ideal. Ternyata masih kurang lengkap tanpa melihat bentuk secara langsung.
Lalu ketika saya tulis suara di pabrik itu bising, memekakan telinga, belum tentu orang yang membaca tulisan saya telinganya terpekakan. Ya, masih banyak lagi. Intinya, menulis itu penting. Ada yang bilang,”Bila umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan.” Lalu sekarang ingin sekali saya bilang,”tulisan itu sambunglah lagi dengan gambar, suara, dan rasa.”
0 komen:
Post a Comment