Seandainya Kawan Saya Jadi Penulis Hebat


Bukan maksud saya mengatai bahwa kawan saya bukanlah penulis yang hebat. Saya yakin kawan-kawan saya penulis hebat. Tapi buat saya hanya ada seorang kawan yang benar-benar hebat. Tulisannya seringkali menghiasi koran maupun portal berkelas nasional. Bukankah itu sebuah prestasi yang patut diacungi jempol.

Karena tak banyak orang bisa seperti itu. Saya saja tak bisa berbuat banyak. Bahkan belum pernah sekalipun tulisan saya dimuat di media-media umum. Meski getol saya mencoba, tapi masih saja belum bisa tembus. Ini bukan perkara nasib. Tapi murni kepiawaian dalam merangkai sebuah tulisan.

Saya ingat betul, ketika tiap kali baca tulisannya. Gayanya yang ngepop. Ringan usil sekaligus selengekan. Itu yang bikin decak kagum saya selalu terlontar. Terlebih, isi tulisannya yang nyentring. Sebenarnya berat. Tapi dengan kelihaiannya, diolah seringan bulu angsa mengapung di permukaan air. Sungguh kecerdikan yang langka.

Bukan hanya itu. Sifat kerendahan hatinya yang tak suka aneh-aneh senantiasa membuat siapapun yang bersamanya nyaman. Dia tak suka memaksakan kehendak. Dia selalu mencari jalan tengah. Penuh kesahajaan perantauannya sebagai pelajar dijalani seperti anak kebanyakan. Padahal latarbelakan keluarganya bukan orang sembarangan.

Malahan, pernah suatu malam harus ngutang di cak Ndan. Karena betul-betul kehabisan uang. Setelah pesan Indomi goreng, kopi, dan beberapa lencer rokok utilan. Ternyata sisa-sisa uang di kantong tak cukup banyak hingga bisa membayar setengahnya saja. Sebuah lakon hidup benar-benar khas anak perantauan.

Saya ingin sekali bisa seperti dia. Meski takaran sebelas-lima belas. Bagi saya itu sudah jauh dari cukup. Tapi rasa-rasanya jauh pula dari mungkin. Mungkin karena otak saya yang selalu saja tak terlalu pandai. Juga hati saya yang tak seteduh hatinya. Sehingga tindakan saya cenderung konyol. Bikin orang di sekeliling saya mangkir kalau ketemu.

Panjang waktu saya habiskan bersamanya. Acapkali saya tak harus pulang. Berbagi kamar yang tak luas-luas amat dengan dia. Tapi ya gitu, kalau lagi berbincang isinya selalu tak pernah jelas. Ngetan-ngulon tak ada jluntrunge. Sembari ditemani ubi rebus yang masih hangat. Ubi yang kami beli di pasar Tanjung.

Pokoknya, dia seorang penulis hebat yang pernah menjadi kawan saya. Saya yang selalu kehabisan uang. Dan kalau kepaksa harus ngutang. Ke siapa lagi kalau bukan pada dia. Meski tak tampan-tampan amat, dia memang hebat. Buktinya seorang perempuan asal Balung berhasil dia kait hatinya. Lagi-lagi ini karena kehebatan yang dia miliki.

Beberapa kali juga dia diminta untuk menjadi pembicara dalam sebuah pelatihan menulis. Dengan gayanya yang sederhana dan selalu rendah hati, dia tak pernah menolak. Dan meski mengenakan pakaian seadanya, dia datang tepat waktu. Lalu menyampaikan seisi kepala lengkap dengan seluruh keahliannya. Tanpa ada yang disembunyikan. Ilmunya dengan mudah dibagi-bagikan.

Tragisnya, jalan tak semudah kelihatannya. Arah tujuan hidup berkata lain. Kini dia lebih menggeluti usaha lain. Di luar keahliannya untuk mengolah kata. Dia mendalami ilmu ayam. Sebagai sampingan usahanya sebagai saudagar muda. Mungkin petualangan sebagai penulis memang tak cepat bikin kaya. Atau karena alasan lain, saya tak tahu betul.

Saya tetap salut dengan jalan hidupnya. Tapi apa salahnya kalau-kalau keulungannya mengolah kata diwariskan ke saya terlebih dahulu. Saya akan berbesar hati menerimanya. Tapi kan itu tak semudah memindai tali toga. Kalau dibahasakan lugasnya tak mungkin. Alias imposibel.

Semoga saja perjalannan hidup kawan saya yang seorang Dono tak pernah putus di perjalannan. Tetap mengalir menuju luas samudra. Dan, selalu sisihkan sedikit waktu untuk sekedar melempar kail jauh-jauh ke tengah laut.

0 komen:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere