Berteman Binatang


Saya cinta pada binatang. Lalu kenapa sampai sekarang saya belum membuat tulisan tentangnya. Kan harusnya tulisan yang dibuat atas dasar cinta itu bisa lebih menggila. Seperti pemuda-pemudi yang lagi galau lantaran dilanda asmara. Bisa berbait-bait melahirkan puisi.

Saya selalu kelupaan untuk membuat cerita manis ketika bersama hewan piaraan saya. Saya kerap kali menceritakan ketika piaraan saya itu sudah tak lagi ada. Alias sudah pada mati. Karena rasa sedih yang cenderng datang meluap-luap. Mengalahkan kenangan manis yang ada.

Baik. Saya mulai. Saya lupa tepatnya ketika itu. Sekira seumuran anak SD yang baru bisa baca-tulis. Saya sudah menaruh perasaan suka pada setiap binatang. Pernah saya menangis gara-gara belalang. Belalang bersayap panjang yang harus putus daun sayapnya lantaran tali yang diikatkan di sayapnya ditarik. Saya menangis sejadinya. Minta untuk sayapnya dikembalikan utuh.

Belalang itu akan mati kelaparan. Pikir saya waktu itu. Kan sudah tak lagi bisa terbang untuk cari makan. Rasa iba saya mungkin kelewat batas kala itu. Lalu saya juga tak hentinya menitikkan air mata ketika anjing kecil saya kena racun.

Saya punya anjing kecil. Yang saya namai lebih bagus dari nama saya, Jecky. Tiba-tiba saya menjumpainya tergeletak dengan napas tersenggal-senggal. Matanya masih melek. Dan sedikit berair. Seperti mau menangis. Saya yang masih buta pengobatan, menungguinya hingga dia benar-benar tak ada nafasnya. Sambil sesenggukan saya menangis.

Harusnya saya berikan air degan. Biar bisa menawarkan indrim yang tak sengaja dia makan. Tapi saya masih seumuran SD. Ya, tak banyak tahu tentang mujarab kasiat yang dikandung kelapa muda. Hingga pada suatu saat, anjing tetangga kena racun pula. Lalu tak ingin mengulang kesalahan, saya menyuruh yang punya untuk meminumkan  air kelapa pada si anjing. Dan si anjing itu kembali melanjutkan kisah hidupnya.

Belum lagi cerita saya yang gemar mengambil anak burung yang masih di sarang. Saya mengambil untuk dijadikan teman main. Bukan untuk sekedar dijadikan piaraan. Dan terkadang, saat saya hendak tidur, saya menangis sendiri. Menyesali perbuatan yang telah memisahkan antara induk dan anaknya. Terlebih lagi kalau saya gagal merawat anaknya, hingga harus mati.

Kalau yang bisa bertahan hidup, burung-burung itu benar-benar bisa lulut alias jinak. Kalau-kalau lepas dari sangkar, ia tak hendak terbang menjauh. Ketika saya pulang sekolah, ia terbang-terbang menghampiri saya seraya lapar minta makan. Begitulah hingga saya mengembalikannya dalam sangkar.

Lalu pernah anakan tupai yang saya pelihara sejak kecil itu kabur dari kandang. Dia lari menjauh. Jauh memanjat tinggi pohon kelapa. Tak mau turun. Berjam-jam saya menungguinya di bawah pohon sambil membawakan irisan buah papaya kesukaannya. Tapi ia hanya melihati saya dari atas, dan tak menunjukan gelagat mau turun.

Akhirnya saya pulang. Sambil dalam hati saya berkata, semoga ia bisa cari makan sendiri. Dan tak lama, dia pun pulang. Dia merayap-rayap di atas genting. Saya girang bukan main. Saya tak menyangka ia ingat jalan pulang. Lantaran jauh sudah dia kabur. Akhirnya saya julurkan tangan, dan ia merayap perlahan di atasnya. Dengan rakus dia memakan papaya yang saya berikan. Saya kembali sumringah.

Itu cerita-cerita dulu. Swaktu saya masih tinggal di desa. Di lereng gunung sana. Pernah sekali saya membawa tiga anakan tupai ke kota ini. Tiap hari saja bermain-main bersama ketiganya. Hingga mereka tumbuh menjadi tupai dewasa yang piawai memanjat.

Tak pernah sekalipun satu dari tiga itu menggigit saya. Kandang dari kayu sudah tak lagi utuh. Karena tajam giginya yang mampu menembus batok kelapa telah menggerogotinya. Namun kejadian itu saya biarkan. Saya memberikan keleluasaan kalau-lakau mereka ingin jalan-jalan keluar kandang.

Sempat ketika saya tak dirumah, satu dari tiga tupai saya di tangkap orang. Lalu jempol kanannya digigit hingga berdrah. Dan larilah si tupai itu. Untung ada yang memberitahu saya. Saya bergegas mengambilnya. Tak mudah. Karena terlanjur ketakutan, tupai itu nampak stress. Tak mau didekati siapa saja. Namun dengan sabar dan perlahan, dia mau mendekat ketika saya menjulurkan tangan. Dan dia kembali pada saya.

Karena alasan tertentu, saya harus pulang ke desa. Matilah dua dari tiga tupai yang amat saya sayangi. Setelah hanya seminggu saja saya tinggal. Saya sudah berpesan kepada semua penghuni rumah untuk memberi makan. Tapi entah tak tahu pastinya sebab apa, yang jelas tinggal satu sekembali saya.

Saya seakan tak percaya. Berbulan-bulan saya bersama. Dan hanya kerena seminggu, dua dari tiga telah mati. Saya kecewa bukan main. Pada seisi rumah saya lampiaskan . Dan terakhir, satu-satunya tupai kesayangan saya, diberikan ke tetangga sebelah tanpa sepengetahuan saya. Saya amat gusar. Beberapa kali saya memaki adik saya yang saya anggap tolol dan super bodoh.

Kini, tanggal 20 Pebruari lalu saya membeli dua anakan luak. Saya merawatnya sunguh-sungguh. Saya buatkan kandang longgar dan cukup nyaman. Meski hanya kandang buatan tangan yang kurang cekatan. Tapi serupa kandang yang cukup luas kini jadi hunian kedua luak saya yang lucu.

Hampir sebulan penuh saya kerap menghabiskan sisa waktu bersama kedua luak. Meski sempat beberapa kali saya hampir kena giginya yang tajam. Selalu saya menyisihkan waktu tiap harinya untuk bermain. Mengelusnya. Menggendongnya. Lalu menungguinya berjam-jam bermain di rerumputan belakang rumah. Rasanya bisa bikin damai.

Melihatnya berlarian berkejaran. Kadang satu yang centil memainkan ekor sodaranya. Menggigit perlahan dan menarik-narik. Kadang melompati yang lain. Bersembunyi di balik dedaunan. Atau malah tiduran di balik tumpukan kayu. Saya dengan sabar menungguinya.

Mereka mendekat ketika saya julurkan tangan. Lalu mengendus jemari. Lalu  lari-lari kecil sambil melimpat seolah mengajak bermain. Mereka bisa berdiri dengan kedua kaki juga. Rupanya, mereka tahu dan memiliki insting kepada pemiliknya. Tak pernah saya merasa dikecewakan ketika saya bersama para teman piaraan saya.

Saya menghargai kemauannya jika mereka ingin pergi. Seperti kedua kura-kura saya. Yang lebih menghendaki meninggalkan kolam. Saya tahu betul kala itu. Hujan deras sekali. Air kolam penuh. Lama saya menatapnya. Nampaknya mereka menginginkan sebuah petualangan yang lebih daripada hidup di petakan kolam. Dan, saya tak menyesali ketika keesokan harinya mereka tak berada dikolam lagi.  

0 komen:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere