Udang Melempar Batu

0 komen
Mungkin orangtuamu tidak pernah mendongen tentang amat bahayanya cerpen. Ya, cerpen. Sebuah tulisan yang isinya cerita-cerita pendek. Yang pasti tak asing buat kebanyakan khalayak. Namun apa iya mereka itu tahu bahayanya. Jika tidak tahu, ku harap kau menyimak cerita yang akan aku ceritakan ini.

Mulanya cerpen hanyalah cerpen. Berisi jajaran aksara yang tertata rapi. Membingkis kisah-kisah unik, romantik, heroik dan banyak lagi. Acap kali tulisan itu menjadi sumber inspirasi bagi pembacanya. Mendatangkan senyum, tawa, sedih, iba. Lalu, dimana letak bahaya yang sesungguhnya. Kau tahu?

Bisa jadi isi yang terbingkis dalam sebuah cerpen merubah hidup seseorang. Paling tidak memberikan arah yang berbeda dari jalur yang biasanya. Dan itu sangat sah-sah saja terjadi. Penulis tentu memiliki atau menyimpan hasratnya dalam bingkisan tulisan cerita yang ia buat itu. Lalu berharap akan memberi sebuah arti bagi pembacanya.

Kau tahu, bukan itu bahaya yang aku maksudkan. Mungkin lebih dari itu. Tapi apa bahaya itu, aku sendiri masih mereka-reka. Jadi harap lebih sabar untuk membacai tulisan ini.

Dalam benakku, senjata itu digunakan untuk menaklukan yang tidak bersenjata. Misalnya, SBY memiliki sebuah majalah Dzikir untuk mendongkrak popularitasnya. Hegemoni itu jelas terangkum dalam Dzikir untuk mempengaruhi para pembacanya. Isinya tentang apa saja demi memikat para pembaca biar pada klepek-klepek pada SBY. Itu sebuah alur yang lazim di dunia ini.

Dalam sinema drama kolosal Indonesia, pedang digunakan untuk menebas lawan yang hanya bertangan kosong. Tapi belum tentu tangan kosong kalah oleh pedang. Kan iya? Kau pasti tahu itu. Si pendekar berpedang mati oleh pedangnya sendiri. Dan itu sudah sering dan mudah di terka.

Lantas bagaimana dengan cerpen. Apa iya cerpen memiliki pola yang  sama dengan pedang.

Agaknya terlalu pelik buatku menjelaskan ini. Tapi biarlah ku coba dengan bahasaku yang kadang sulit dimengerti. Kau harus bersabar dan lebih sabar lagi. Dan biarkan pikiran itu bekerja sebagaimana mestinya. Membangunkan imaji-imajimu yang liar.

Harusnya aku bisa memperdaya pembaca dengan cerpenku. Karena aku dapat menyisipkan puing-puing hasratku. Agar para pembaca tahkluk dan terhipnotis melakukan apa mauku. Itulah seharusnya yang terjadi. Jika benar-benar kita bicara isi.

Namun naas, jika cerpen itu hanya alasan yang tak ubahnya trik anak SD yang berpura-pura pinjam buku pada orang yang ia maui. Yang sebenarnya ia mengingini orangnya, bukan bukunya. Jadi, seberapapun bagus buku itu, percuma saja. Karena buku itu tidak akan pernah sekalipun dibaca, jangankan dibaca, dibuka-buka saja tidak. Yang ia inginkan jelas, sebuah perhatian kecil-kecilan dari si pemilik buku.

Padahal harapan si pemilik buku amat tinggi. Buku itu bisa di baca-baca lalu menimbulkan kesan. Bahkan mempengaruhi. Jadi, bahaya cerpen bernasib sama dengan buku itu. Yang punya buku justru diperdaya. Sungguh lihai.

Mungkin tidak semua yang baca tulisan ini tahu maksudku. Tapi itu memang salah satu kelemahanku. Kesulitan menyampaikan maksudku dengan bahasa yang mudah dimengerti.


Tapi kenapa kau terbiasa ingin menjadi pembaca yang tolol. Pembaca yang selalu dimudahkan, dimanjakan oleh penulis dengan bahasa-bahasa yang langsung di cerna. Bahasa yang mudah dimengerti.  Tidak melalui proses berpikir dulu. Maka niscya selamanya kau akan jadi pembaca yang budiman. Nama lain—bahasa yang mudah dimengerti—para pembaca idiot.

Jambi, How Are You To Day

0 komen
Apa yang bikin kamu pengen ke Jambi? Menarik sekali bukan. Baik, saya akan jujur menjawab. Berhubung ini lomba, saya akan seolah-olah ingin pergi ke Jambi. Dengan memaparkan beberapa alasan yang sebenarnya saya karang, saya buat-buat. Saya kondisikan dengan keadaan saya sekarang. Untuk sebuah tujuan, memenangkan lomba ini. Sudah dan tidak lebih.

Alasan itu berupa, nggg, ini. Beberapa hari ini sungguh penat dan janggal. Penat, isi pikiran dan laku samasekali tak segendang sepenarian. Maunya apa yang dilakukan apa. Sungguh dan teramat menjengkelkan. Janggal, hawa yang semaunya berubah-ubah. Sebentar terik lengkap dengan panasnya, lalu hujan mendera dengan irama lebatnya. Menyisakan dingin di kemudian. Paduannya siap membikin tubuh yang dikerumuni suasana penat dan janggal menjadi rentan. Rentan dijalari penyakit-penyakit keparat.

Huh. Nampaknya butuh suasana baru. Dengan nutrisi-nutrisi baru pula. Yang siap menyegarkan pikiran sejenak. Melakukan sesuatu yang jauh dari penting mungkin dapat dicoba. Kadang hal-hal seperti itu mampu membangkitkan inspirasi. Untuk memulai atau melanjutkan lagi tanggungan yang sudah menunggu. Betuh sedikit kegokilan.

Apa, jawab dong. Baik, alasan untuk ke Jambi kali ini bukanlah muluk-muluk. Tidak untuk berbisnis memupuk kekayaan, atau melancong menghabiskan waktu dan uang. Pun juga mengunjungi sanak keluarga. Tidak juga karena menghadiri peresmian maupun prosesi macam itu.

Yang menarik saya, saya ingin mencobai bakso yang ada di seluruh Jambi. Selain itu, juga penjaja kopi yang haram untuk saya lewatkan begitu saja. Selain itu, mungkin untuk sesekali mengunjungi pasar hewan di sana. Barangkali ada yang cocok untuk menambah koleksi piaraan saya di rumah. Sudah itu saja dulu. Yang lainnya menyusul ketika saya sudah dapat uang dan betul-betul pergi ke Jambi.

Apa coba, bayangkan. Anda tidak punya kepentingan dengan Jambi. Tidak punya sanak keluarga di sana. Tidak punya rekanan bisnis. Tidak punya teman dekat. Tidak punya niatlah garis besarnya. Lalu tiba-tiba anda harus mempunyai keinginan untuk pergi ke Jambi.

Terkait hal itu, saya iseng-iseng mengadakan riset kecil-kecilan. Mungkin malahan jauh kalau disandingkan dengan riset seperti yang sudah-sudah, lebih tepatnya saya menanyai beberapa teman. Yang daftar namanya ada di android saya. Terkait dengan “Apa yang bikin kamu pengen ke Jambi?”

Mau tahu hasilnya? Baiklah, ini akan saya sampaikan dengan sejujur-jujurnya. Tanpa mengada-ada dan hanya apa adanya.

Jujur, memang sebagian orang yang saya tanyai, menjawab tidak ingin ke Jambi. Malah beberapa mereka balik tanya, ngapain ke Jambi. Yah, memang macam rupa jawaban yang muncul. Seperti kata H-nif Jrs, “Gak enek(ada) keinginan nang(ke) Jambi Jo. Iki(ini) aku persiapan tes CPNS Pemprov jo. Betapa lucu teman saya yang satu ini. Dia fresh graduate yang kerjanya mencari kerja.

Berikutnya ada sih yang berkeinginan ke Jambi. Tapi ya itu, sebatas jalan-jalan saja. Dia adalah Sarah. Seorang mahasiswi yang pastinya suka berpetualang. “Main, wisata,” kata dia.

Ada lagi jawaban seorang Ester yang agak unik. Katanya, “Buat nambah koleksi foto, buat ganti foto profil.” Ya itu alasan dia ingin pergi ke Jambi, selain traveling menjajaki kota baru bagi dia. Sungguh menggelitik ulah kawan-kawan saya.

Beda lagi kalau si Ipang. Katanya di Jambi ada Omnya yang paling kaya. Pingin dia kalau ke Jambi, “Gak muluk" seh,paling cumak(hanya) dicekeli(dipercaya) kebon sawit, dadi(jadi) bendino(tiap hari) gak usah(perlu) ngantor, cuman ngecek nek(kalau) kebone(kebunnya) digae(dipakai) panggon(tempat) maksiat opo(atau) nggak(tidak).”


Intinya, setiap orang memang memiliki hasrat yang berbeda-beda. Tentang mana alasan yang paling benar, paling menarik, dan dirasa paling benar, itu sungguh relatif. Seperti jawaban untuk pertanyaan, “Apa yang paling anda butuhkan di dunia ini?” Bagi yang sedang lapar akan menjawab makanan adalah yang paling penting. Bagi yang kedinginan akan menjawab kehangatan. Bagi yang tak punya rumah, rumahlah yang terpenting. Dan bagi anda, mungkin akan beda lagi. Yah, itulah indahnya dunia. Selalu banyak perbedaan tidak berarti buruk.





Postingan ini diikutsertakan dalam lomba blog http://www.pipetmagz.com/

Balada Gagal Paham

0 komen
Kau harus tahu, belakangan ini aku benar-benar tidak sudi meluangkan waktu untuk membuat tulisan. Aku tidak mendapat sekjumputpun pernyataan yang menantangku buat menulis. Jiwaku yang petualang lagi terkungkung. Di kotakan kamar, emperan belakang, ruang itu, dan itu melulu. Yang ku temui juga melulu itu-itu saja. Mungkin sesekali butuh masuk LP atau kejaksaan. Atau rumah para lonte. Fiuh...

Kejadian itu sanggup memberikanku sedikit ketenangan. Namun lebih banyak kegelisahan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk coba melakukan kebiasaan lamaku. Meraih buku yang dipenuhi debu di sebuah meja. Lalu membawanya ke emperan belakang. Meski hanya dengan modal sepotong sisa minat bacaku, sebuah tulisan telah rampung. Itupun dengan pemaksaan yang luar biasa.

Selanjutnya, cerita yang ku baca itu konyol. Tak lebih dari kebanyakan cerita sinetron di televisi Indonesia. Kau tahu, ini sangat tidak mendidik. Dan tidak lantas menganjurkan aku untuk membuat tulisan serupa. Tidak juga kau atau siapapun.

Mungkin kau akan beranggapan buku itu memang jauh dari bermutu setelah membaca ceritaku. Tapi jangan salah paham dulu. Bukan maksudku untuk mengarahkan pikiranmu menyamai isi pikiranku. Tentang buku itu, baiklah akan aku ceritakan.

Mulai dari penulisnya. Aku merasa sangat mengenal penulis buku itu. Dari tulisan-tulisannyalah aku banyak belajar menulis. Banyak mendapat yang aku anggap kekonyolan-kekonyolan, sebagai jalan kepenulisanku.

Dia memililiki banyak ruang untuk tiap tulisannya. Malahan sebagai pengasuh rubrik khusus di sebuah koran nasional. Keren bukan. Dari itu aku diam-diam nyolong trik menulis. Dan kadang suatu ketika, aku mencoba berkomunikasi dengan dia. Meski tidak secara langsung mata ketemu mata.

Bisa jadi, aku lebih mengenal dia daripada diriku sendiri. Apa lagi Presiden dan para pejabat negri ini. Dia pernah bercerita tentang ketiga anaknya. Meski hanya seklumit lalu. Dan dia acap menulis kebiasaan yang mirip dengan kebiasaanku. Bukan, bukan mirip, alih-alih aku memang meniru kebiasaan dia.

Sudahlah, aku rasa aku sudah cukup mengenalnya mendalam. Tapi so pasti dia tidak kenal dan tak mau tahu tentangku.

Sudah itu saja? Aku rasa belum. Sebagai penulis kesohor yang malang melintang di jagad olah kata, dia sesekali membuat buku. Saking tergila-gila padanya, aku selalu berupaya mendapatkan buku-buku itu. Tapi naas, buku itu tak pernah sampai mejaku. Apa daya distributor yang ogah-ogahan menjual buku-buku bermutu di kota sekecil ini.

Kabar baiknya, setelah lama malahan setelah sempat berganti sampul, aku berhasil mendapatinya. Sebuah buku—yang mulanya—ku kultuskan. Kau tahu, aku baru bisa tenang.

Buku itu berisi kumpulan cerita pendek. Beberapa diantaranya sungguh menarik. Meski pernah ku baca sebelumnya. Dan cerita itu tetap asik untuk diulang-ulang. Mungkin banyak yang tahu bahwasanya itu sebetulnya adalah produk gagal dari si penulis. Namun bagi pembacanya—kok bisa—tetap sakral. Mungkin kau tidaktahu ya.

Aku tadi bilang telah mengenalnya melebihi aku mengenal diriku. Ini bagian yang kemudian menjadikan buku itu tidak menarik lagi. Hanya menurutku, ingat. Karena setiap membaca awal tulisannya, aku merasa seolah-olah itu tulisanku. Dan aku tahu arah tulisan dan akan berakhir seperti apa. Bukankah itu menjadi sesuatu yang menyedihkan.

Akhirnya, buku itu bernasib naas. Setelah sekian lama mengonggok di meja. Tiba juga saatnya untuk dipinjamkan. Dan tragisnya, hujan ingin ikut-ikut menyelami tiap lembarnya. Meski itu tidak mengubah alur isi. Tapi buku—yang sudah tidak terlalu menarik buatku—itu kini lebih tampak menyedihkan. Jauh dari mulus, ada bagian yang mengembang dan menjadi tak seramping dulu alias gendut. Belum lagi di beberapa bagian lembar tubuhnya dijangkiti jamur-jamur. Sungguh mengerikan.

Mungkinkah jika aku menulis juga akan berakhir demikian. Tidak ada yang tahu. Tapi kau harus tahu, selalu ada akhir cerita buruk pada situasi tertentu. Sebaik apapun tulisan, dia tidak akan baik jika situasi ruang dan waktu tidak klop. Kuharap kau paham.

Seperti misalnya apakah kau pernah bertanya, menulis bisa mendapatkan gadis cantik. Paling tidak menarik sedikit perhatiannya. Ya, itu pernyataan yang tidak ada hubungannya. Namun bisa saja dipaksa dihubungkan.

Ketika kau tengah menyelesaikan tulisanmu, lalu ada gadis cantik lewat, apa dia akan memperhatikanmu. Pun belum tentu ketika ia benar-benar menghampirimu, kau bisa melanjutkan tulisanmu seenteng menenteng pantatmu kemana saja.


Sudahi saja ya, nampaknya mulai melantur tak tentu arah. Jangan keterusan! 

Mboh Ra Ngurus

0 komen
Saya hanya ingin sedikit bercerita. Jadi tolong perhatikan secara seksama. Ini bisa dibilang anekdot atau anehdot, saya tidak peduli. Ini tentang satu kebaikan untuk beberapa kebaikan lain. Di sini, mari kita bersama melawan ketidak mungkinan di lingkup sekitar kita. Dimulai dari situ dulu. Bukankah segala yang besar tidak jatuh dari langit begitu saja, melainkan harus dimulai dari yang kecil.

Idenya seperti ini. Tunggu, ini bukan murni dari pemikiran saya. Lantaran saya anggap ini baik, maka saya akan menceritakan ulang.

Baik, saya mulai saja. Ada seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Suatu ketika, gurunya meminta masing-masing murid untuk menceritakan keinginannya di masa depan, semacam cita-cita gitulah. Beberapa anak dengan antusias bercerita tentang astronot. Yang lain lagi tentang jendral lengkap dengan lencana aneka bentuk dan warna itu. Ada pula ingin jadi CEO di perusahaan terkenal, presiden dan banyak lagi.

Tibalah giliran si anak yang saya maksud. Dia mengambil kapur tulis. Lalu menggambar lingkaran-lingkaran kecil. Paling atas hanya satu lingkaran. Dari satu lingkaran itu ditariknya tiga garis kebawah dan diberi lingkaran pada ujung tiap-tiap garis. Dan begitu seterusnya.

Sementara itu teman sekelasnya kian bosan menyaksikan tingkah anak ini. Gurunya pun duduk menopang dagu sambil memutar-mutar pena di tangan lainnya. “Sudah selesai, begitu saja?” celetuk sang guru yang suaranya masih terdengar sangat jelas di antara riuh ramai murid yang lain.

“Belum.” Jawab dia. Dia menyambung kata-katanya “Lingkaran ini adalah lingkaran-lingkaran kebaikan. Setiap lingkaran akan menghasilkan...” “Iya baiklah. Cukup!” potong gurunya. Sebab terlalu bertele-tele dan tidak mudah dimengerti untuk anak seumuran sekolah dasar. Mungkin juga gurunya yang berpikiran kerdil. Akhirnya ia berhenti sebelum penjelasan dia selesaikan dan kembali duduk.

Tak lama berselang, bel petanda kelas berakhir menyudahi pelajaran hari itu. Ia pulang dengan sedikit mengantongi rasa kecewa. Atas tingkah teman-teman dan juga keputusan gurunya.

Oia, saya hampir lupa sesuatu. Dia punya seorang ayah yang bekerja di pabrik. Dan seorang ibu yang memiliki hubungan kurang harmonis di keluarganya. Sejujurnya ia tinggal bersama ayah dan neneknya. Kakeknya telah meninggal. Ibunya memiliki kediaman sendiri, meski tidaklah mewah.

Pada suatu ketika, anak itu pergi berjalan-jalan tidak jauh dari rumahnya. Lalu dia menjumpai seorang laki-laki dewasa yang masih lajang sedang duduk di deretan kursi taman. Si bocah menghampiri. Lalu dimulailah obrolan antara keduanya.

“Hari yang cerah, Paman,” “Iya nak. Kamu tidak pergi kesekolah?” “tidak Paman. Sekarang hari libur sekolahku.” “Oh begitu.” “Paman sendiri sedang apa di sini, Paman tidak bekerja?” “Paman sedang tidak bekerja.” “Oh, aku tahu, pasti ini hari libur juga ya di tempat Paman bekerja.” “Bukan begitu maksud Paman.” “Lalu apa?” “Paman berhenti bekerja dua hari lalu.”

Setelah itu pembicaraan mejadi hening. Mereka sama-sama melepaskan pandangan kosong ke arah depan sembari duduk. Tidak berapa lama kemudian, “Paman mari ikut aku.” “Kemana?” “Ayo Paman, Paman ikut saja.”

Mereka pergi berdua, menuju sebuah rumah. “Masuklah Paman, ini rumahku.” “Oia silakan duduk dulu.” Si anak meninggalkan Paman itu ke kamar. Lalu memecahkan tabungan dia yang terbuat dari lempung. Isinya memang tidak terlalu banyak. Namun lumayan untuk membantu Paman itu hingga dapat pekerjaan lagi.

“Paman ini uang tabunganku. Paman ambillah.” “Maaf, Panam tidak bisa mengambilnya.” Tidak apa-apa Paman. Ambil saja. Supaya paman bisa mendapatkan pekerjaan lagi.” “Baiklah. Tapi bagaimana Paman membalas kebaikanmu ini?” “Tidak usah terlalu dipikirkan Paman. Tapi jika Paman betul-betul ingin membalasnya, Paman lakukan saja kepada tiga orang lain yang lebih membutuhkan.” “Kamu tidak takut Paman bohongi?” “Melakukan kebaikan adalah cita-citaku Paman, jadi tidak masalah buatku.” “Baiklah. Terimakasih atas kebaikanmu nak. Paman pergi dulu. Sampai jumpa” “Iya Paman, sampai jumpa”

Begitu selanjutnya. Si Paman itu mendapat pekerjaan. Dan melakukan kebaikan kepada tiga orang yang berbeda. Dan tiga orang yang dibantunya itu juga melakukan hal yang sama. Perlahan tapi pasti, dan dimulai dari suatu yang kecil.

Hingga di sebuah kota yang jauh. Ada seorang yang sedang antri berobat. Penyakit asma yang mendera seorang anak orang kaya itu makin parah. Sedang antrian masih panjang hingga gilirannya. Pada kondisi itu, seorang laki-laki yang juga sedang mengantri, terpancing empatinya. Saat dokter keluar ruangan memanggil pasien dengan nomor urut terdepan, laki-laki itu mengeluarkan pistol dan menembakkannya sekali ke dinding. Semua orang berteriak.

Laki-laki itu menyuruh dokter segera menolong si anak yang asmanya kian memburuk. Orang tua si anak bilang terima kasih. Sedang si laki-laki itu harus berurusan dengan pihak berwajib. Kejadian itu tak luput dari perhatian wartawan. Silih berganti para wartawan menanyakan alasan laki-laki itu berbuat demikian.

Namun dia tidak pernah menjawab. Lalu orang tua yang merasa bahwa anaknya telah diselamatkan itu mendatanginya. Seraya berterima kasih dan hendak membalas kebaikan laki-laki itu. “Jika ingin membalas kebaikanku, lakukan pada tiga orang lain yang lebih membuthkan,” kata laki-laki itu.

“Dari mana pemikiran seperti itu?” “Ini pemikiranku sendiri.” “Tidak. Tidak mungkin. Tolong katakan yang sejujurnya. Barangkali saya bisa membalas kebaikan Anda kepada orang yang lebih berhak.” Akhirnya laki-laki itu bercerita panjang lebar. Tentang dia pernah ditolong seorang wanita dan disuruh melakukan seperti yang baru saja dia lakukan.

Dari kejauhan, nampaknya ada seorang juru warta tengah memperhatikan perbincangan itu. Lalu dia bergegas menelusuri wanita yang diacu. Selanjutnya ia menemui satu-persatu orang yang telah melakukan hal serupa. Sambil menyiarkan tiap hasil temuannya di headline televisi nasional. Hingga akhirnya tibalah dia pada sebuah rumah sederhana.

Saat itu si juru warta tidak lagi bekerja sendiri. Dia sudah menyiapkan segenap kru untuk bertemu satu-satunya yang diacu sebagai penggagas ide itu dan berniat menyiarkan pertemuannya secara langsung. Si juru warta dan krunya sedikit tercengang bahwa yang ditemuinya adalah seorang anak sekolah dasar. Tidak ada yang menyangka jika ide itu lahir dari kepala anak sekolah dasar yang bukan orang kaya.

Keluarganya kala itu sudah utuh—ayah, ibu, dan nenek—tinggal di rumah yang sama. Itu juga berkat kebaikan yang dilakukan anak itu. Setelah semakin populer, makin banyak orang yang percaya akan hal itu—kebaikan tidak selalu datang dari yang besar.

Saya tetap berusaha melakukan ini. Hingga sekarang. Sesuai kemampuan saya. Apakah ini akan berujung sia-sia—kalimat tanya itu tak pernah mengacau keteguhan pikiran saya. Bagi yang berkeinginan melakukan kebaikan-kebaikan, maka jangan menunggu besok-besok atau kapanpun. Cukup lakukan semampu Anda sekarang juga. Perkara hasil, itu urusan nanti. Karena dalam kamus hidup saya masih tertera dengan jelas bahwa proses adalah hasil. Dan hasil adalah bonus.


Lebaran 1434

0 komen


Suara takbir itu terdengar bising sekali. Hingga harus membangunkanku dari lelap tidur. Sayup-sayup di pagi yang buta dan terus-menerus melantun. Mulanya aku menyangka derap nada bertalu-talu itu berasal dari rekaman ataupun radio. Biasanya jam segini orang-orang sudah pada teler.

Dugaanku ada benarnya. Suara takbir itu memang rekaman. Lalu dugaanku menjadi salah ketika nada mulai terdengar lain. Kedapatan seseorang meraih mikropon dan melakukan takbir alakadarnya dengan suara terbata-bata. Dan kadang diselingi senda gurau. Ya, kali ini memang manusia yang masih terjaga dalam pelukan malam yang dingin.

Tahu kah kau, bahwa hawa malam di rumahku yang udik memang dingin. Dimulai dari suasana alam yang digin inilah sebuah keluarga penuh kehangatan dibangun. Inilah tempatku menempa otot-otot tubuh ini. Hingga kini, beginilah adanya.

Lama sudah. Dari rumah sederhana ini memang semua berawal. Rumahku tidak mewah. Malahan jauh dari kata bagus. Tungku selalu saja mengepul memberikan sebagian kehangatan. Dan hanya padam ketika semua telah terlelap. Dan kembali menebar hangat dan baranya saat orang-orang mulai terbangun.

Begitulah. Aku tiba-tiba ingat jaman yang sudah lama berlalu. Saat harus dibangunkan pagi-pagi yang benar dinginya. Lalu sambil kelopak mata ini lengket beradu, apa yang aku lakukan. Ialah duduk termangu di depan tunggku. Menghangatkan badan. Setelah hangat, jadi tambah malas mandi. Setelah mandi, lagi-lagi menghangatkan tubuh di muka tungku yang membara.

Lalu, lantaran kena panas yang berlebih, kulit pada dengkul dan kaki ku seperti telo bakar. Kering mbekisik. Dan nampak seperti tidak pernah kena air. Sungguh nggilani waktu itu. Lalu jarak yang cukup jauh harus aku tundukkan untuk mencapai sekolahan. Tidak ada angkutan umum, tidak usum  antar jemput. Ya, aku memang harus berdiri kokoh di kaki sendiri.

Sekolah SD ku adalah sekolah paling bagus kala itu. Lantaran ada beberapa sekolah yang memang hancur di daerah tetangga. Dan aku tidak pernah setidaknya pergi ke kota untuk membandingkannya dengan sekolah lain. Aku pergi kekota hanya sekali setahun. Menjelang lebaran untuk belanja pakaian dan sepatu baru. Atau kalau harus terpaksa berobat sebab sedang didera penyakit.

Mungkin kau tahu, aku ini sangat ringkih. Bila dibanding dua sodaraku. Badanku kecil, sehingga kepalaku nampak lebih besar. Dan setiap hari mimisan. Hampir tiap malam aku mimisan. Saat tidur, aku harus menengadahkan hidungku bila terasa sesuatu hendak mengalir dari lubang hidung. Jika tidak, maka bercak-bercak tetesan darah akan kian banyak menghiasi sawal bantalku. Kadang saat sedang menulis di sekolah, darah itu tiba-tiba menetes dari hidung. Dan sungguhpun tidak ada yang merisaukan tentang itu. Karena aku memang dikenal sebagai tukang mimisan.

Anehnya, saat diperiksakan ke dokter, tidak ditemukan sebuah gejala yang berbahaya. Katanya tidak apa-apa. Dan ternyata memang tidak apa-apa, paling tidak sejauh ini. Mimisan sudah jarang ku alami. Hanya saja, saat tubuh ini dibekap penyakit yang agak parah, maka mimisan akan kambuh. Dan buatku, aku menganggap jika mimisan sudah kambuh, itu petanda aku akan sembuh dari penyakitku. Dan itu sering benar, meski juga tidak.

Tapi aku tidak seringkih itu. Kau tahukan. Itu cerita lama. Bukankah kau kenal aku yang sekarang. Yang tidak lagi nampak seperti anak berkepala besar. Meski masih dengan daun telinga yang lebar. Dan bertubuh tidak seperti tulang lunak.

Masa-masa itu memang manis untuk dikenang. Meski dulu rasanya berat untuk dijalani. Kini waktu sudah jauh melangkah ke depan. Usiaku sudah seperempat abad. Tiga sodaraku sudah membingkai keluarga sendiri dengan rapi. Memiliki rumah dambaan masing-masing. Dan jauh dari udik rumah tempat kami tumbuh.

Mungkin benar katamu, sobat. Aku harus pulang. Paling tidak untuk tiap lebaran. Karena ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa berkumpul kembali sebagai keluarga besar. Aku harus menahan egoku untuk menikmati suasana beda seperti yang selalu aku inginkan. Lebaran di suatu tempat yang jauh dari rumah.

Inilah keluargaku. Keluarga besarku yang hangat. Dan rumahku. Rumah yang sederhana dengan orang-orang luar biasa, anggapku.

Tahu kah kau, aku akan selalu tidur di kursi ruang tamu. Di rumah ini ada enam tempat tidur. Memang saat semua kumpul itu menjadi kurang. Tapi bayangkan saat hanya tinggal dua orang saja. Dan aku akan tetap setia tidur di kursi panjangku. Dengan atau tanpa sisa kamar yang masih kosong. Karena dengan begitu, aku selalu bisa melihat akuarium yang aku hias sendiri. Dengan beberapa ikan molek berenang. Meski tak sebagus itu, aku tetap bersikukuh inilah yang paling bagus. karena ini muliku, bagian dari keluarga besarku.

Seperti aku tahu, aku berharap kau pun tahu. Bahwa menulis adalah sebuah cerita yang tidak pernah berkesudahan. Mungkin aku akan menyudahi tulisan atau cerita ini. Tapi aku siap untuk membuat cerita atau tulisan lagi di lain kesempatan. Entah masih dengan isi yang sama atau beda. Dan, ku harap kau memang benar-benar tahu.
Selesai jam 03.36 pagi

Tukang Omong Tok

0 komen


Orang tua berambut putih setengah botak dan bercambang itu datang menghampiriku. Entah karena sebab apa aku sudah duduk termangu di tepi sungai menyanding kopi susu panas. Orang tua itu duduk di sebelah bahu kiriku tepat. Dari gurat kerut kulitnya, mungkin usianya lebih dari delapan puluh tahun.

Di sebelah kiri orang itu ada lagi seseorang. Harusnya aku kenal dia. Tapi aku sungguh tidak punya kemampuan untuk mengingatnya. Lalu ada dua orang yang lagi-lagi tak pernah aku kenali namanya. Tapi aku rasa mereka penduduk sekitar tempat itu. Rembutnya ikal yang seorang. Seorang lagi cepak dengan warna kulit lumayan kusam sawo matang

Aku tengah duduk di bawah sebatang pohon yang tinggi menjulang. Dengan beberapa akar besar muncul di permukaan tanah. Pohon itu sepertinya beringin. Ya, lengkap—seperti banyak dituliskan orang—dengan akar menjuntainya.

Sepertinya, aku menghadap timur. Karena seolah sinar matahari datang menabrak mataku. Sebenarnya waktu itu pagi atau sore aku tidak sungguh tahu. Yang pasti aku tahu, aliran sungai itu. Mengarah sebelah kanan aku menghadap. 

Kepada dua orang yang ku kira orang lokal itu aku seolah bertanya. Aku menjorokan badan agak kebelakang. Sambil menunjuk si tua sebelah kiriku itu, seolah kau berkata, “Pram?” namun tidak bersuara. Sambil menghadap orang lokal itu. Yang berambut ikal menjawab, “Mbak Pramo.” “Oh,” pikirku. 

Lelaki tua itu sungguh mirip dengan Pram. Hanya saja dia tak sebotak yang ada di sampul-sampul belakang buku buah karyanya. Ya, dia memang berjamban putih laik rambutnya. Pram si penulis kesohor itu. Dan aku masih menduga bahwa dia memang Pram, meski orang-orang memanggilnya Mbah Pramo.

“Dulu aku kerjasama dengan Gareng, lalu menulis. Sekarang omong-omong tok.” mendadak Pram, eh Mbah Pramo nyeletuk sambil tertawa lebar. Lantas aku berpikir lagi, sepertinya dia benar-benar Pram, Pramudya Ananta Toer. Hanya saja aku tak tahu siapa itu Gareng. Mungkin ia kawan akrabnya ketika menjalani masanya. Dan sepertinya Mbah Pramo mengetahui apa yang aku lakukan tiga hari kemarin. Iya memang, omong-omong tok.

Tiga hari lalu aku dan tiga orang lainnya terlibat dalam pembicaraan sengit. Tentang yang tidak banyak orang pikirkan. Tentang pilihan hidup yang harus dijalani. Hingga menjelang subuh, kami berempat pulang membawa tanda tanya besar dalam kepala. Jalan seperti apa yang layak untuk kami pilih. 

Dari cara Mbah Pramo nyeletuk dan mimik mukanya, Mbah Pramo memang tahu pembicaraan itu. Sebab itu dia menyindirku yang tengah duduk di tepi sungai. Tapi, dari mana dia bisa tahu pembicaraan itu, aku penasaran. Setahuku kalau ia benar-benar Pram, Pramudya Ananta Toer, ia sudah mati. Apa mungkin orang yang sudah mati bergentayangan nguping pembicaraan orang. Sudahlah, itu tidak mungkin. Hanya di layar kaca yang tidak bermutu-mutu amat itu terjadi. 

Lalu Mbah Pramo menenggak kopi susuku. Sambil mengacungkan jempol kanannya dia bilang, “Manis,” lengkap dengan senyum itu. Lalu seolah dia nyemplung sungai dan menghilang. Sungai berarus deras sewarna dengan kopi susuku yang ditenggaknya, coklat.

Lalu aku terbangun dari mimpiku. Sungguh mimpi yang singkat dan aneh. Dan aku tak akan buang-buang waktu. Biar tidak dikatai “Omong-omong tok” oleh Mbah Pramo yang aku yakini dia sebenarnya adalah Pram. Maka aku menuliskannya.

Kepo Mah Biasa

0 komen

Katanya ini istilah gaul—gaya uler. Entah diadopsi dari bahasa mana saya tidak tahu. Tidak, bukan saya tidak tahu, tapi tidak kepingin tahu. Biar tidak dianggap kepo. Yang jelas setahu saya, kepo tidak ada dalam kamus. Kamus saya.

Lain lubuk lain ilalang memang. Kalau kata Blora, kepo itu nyata ada dalam KBBI, yakni Knowing Every Particular Object. Persetan dengan artinya, silahkan anda artikan sendiri. Kalau tidak ingin saya katai kepo.

Pablik figur ini loh mbok ya memberi sesuatu yang bermanfaat. Selalu saja sensasi yang tidak bersensasi ditebar semau udele dewe. Yang alay lah, sotoy lah, jayus tambunan lah, dan akhir-akhir ini Blora coba memboomingkan istilah “bapak rugi.” Lagi-lagi saya tidak ingin kepo pada mereka. Maksutnya?

Siapa tidak naik pitam, kalau selalu dikatai kepo. Sungguh sial sekali bukan. Tiap tanya dijawab kepo. Duh gusti, apa salah hambamu ini. “Kok kamu kepo,” jawab Gusti. Sialkan kalau digitukan. Apapun yang berbau unsur tanya, kepolah jawabannya.

Rasanya ingin tak sobek-sobek mulutmu. Biar sekalian gak bisa bilang apa-apa. Sungguh biadab si kepo ini. Namun, yang paling enak itu kalau ada yang nanya, trus saya jawab,”Kok kepo seh.” Buwahahahaha, lumayan juga kan, bisa membalas sesekali.

Harusnya sama-sama dipahami aturan main. Buanglah kepo pada tempatnya. Biar gak sedikit-sedikit bilang kepo. Masa bilang kepo kok sedikit-sedikit. Loh kan saya jadi semrawut. 

Saya tidak habis pikir jika kepo ini meradang ke seluruh organ kehidupan di alam indonesia raya. Saat murid-murid sekolah ditanya gurunya, “PR-nya sudah dikerjakan?” ”Pak Guru kok kepo.” Terus lagi jika ada yang tanya, “Mas, Puger sebelah mana?” “Dasar kepo!” Agaknya bisa runyam betul bangsa ini. Hanya berangkat dari sebuah kepo yang disalah artikan.

“Mbak, harganya berapa?” “Kamu kepingin tak kepo?”  Nah, kalau ini dialog apaan ya? 

Untuk ngatasi kepo mah kecil. Gak semua teladan itu oke. Gak semua juga gak oke. Kadang ada teladan yang njancuk’i. Nah, ini teladan yang saya gadang-gadang bisa menandingi kata kepo. Jancuk.

Untuk melawan virus kepo yang merebak, perlu diturunkan serdadu-serdadu dari Republik Jancukkers. Saya rasa itu sangat perlu. Apalagi kini kepo sudah menjangkit ranah yang bukan pada tempatnya. Kepo sembarangan.

“Mbak, mau kemana?” “Kamu kok kepo.” “Jancuk!” Nah kan, jelas sudah maksud saya. Tapi ingat, serdadu dari Republik Jancukkers juga tidak bisa disalah turunkan di semua medan. Bisa-bisa mulut anda kena tonyor. Sekian. Ciyus, miapah?

 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere