Eh, senyum-senyum

0 komen
2 hari lalu, 13 Desember 2014, saya dikirimi sebuah alamat situs web oleh Parah. Seseorang yang tinggal berjauhan dengan saya saat ini. Setelah saya buka, ternyata sebuah hot treads-nya kaskus. Tentang 9 hal yang tidak didapatkan di Jakarta.

Tidak ada salahnya buat saya sebagai pendatang baru mencobai sebanyak-banyak referensi tentang Jakarta. Dari yang saya baca, benar juga yang dikarang entah siapa itu yang di kaskus. Namun, setelah kejadian hari ini, saya meyakini ada beberapa poin yang kurang bisa saya terima.

Ceritanya, dimulai dari pesan singkat yang saya terima. Isinya mengharuskan saya hadir untuk keperluan tertentu di sebuah kantor redaksi harian di Jakarta. Saya memilih berangkat nebeng seorang teman. Untuk pulangnya, saya ingin mencoba naik kendaraan umum saja.

Setelah saya niteni jalan-jalan krusial, yang dekat dengan akses busway, saya menata mental siap-siap untuk tersesat kemanapun. Untuk meminimalisir kesesatan, saya gunakan fasilitas maps di android. Meski demikian, saya tak lepas dari kebingungan yang entah dari mana munculnya. namun saya tahu, itu harus dilawan dan dilalui. 

Sore jam 5, urusan saya kelar di kantor redaksi itu. Saya berjalan menuju shutter busway terdekat. Dengan pede yang dipaksakan, saya beli tiket pertama yang ada nomer FF 3058162. Setelah beli, saya bertanya arah dan shutter mana saja saya harus transit. Saya perhatikan betul arahan dari mas-mas petugas itu. 

Rupanya, tidak sesulit yang saya bayangkan. Itu yang ada di pikiran saya setiba di kosan. Namun saat di jalan, tak tahulah apa yang saya pikirkan, yang kelewatlah, nyasarlah, kelamaanlah, dan lah-lah gak penting lainnya. Alhamdulilah saya tiba.

Oia, cerita dari treads di kaskus, salah satunya ialah senyum. Ya, yang tidak bisa didapatkan di Jakarta ialah senyum. Etapi  tidak demikian yang saya alami. Kejadian itu terjadi dalam busway tujuan Lebak Bulus.

Setelah sempat salah mengantri, tiba-tiba saya gabung di antrian wanita, palang, lantaran penuh sesaknya shutter. Saya dapat kursi dan duduk manis di sela-sela orang-orang yang pada berdiri. Semua aman terkendali berjalan sesuai SK Gub No 1912/2005.

Hingga tiba suatu ketika, saya menoleh ke sekeliling penumpang. Ada orang tua berdiri mengempit tas. Perempuan bermasker kaya shinobi Konoha Gakure. Tidak ada masalah sama sekali dengan mereka. 

Masalah yang mungkin sebenarnya bukan masalah lalu menjadi masalah karena saya memaknainya sebagai masalah ialah, saat mata saya bertemu mata dengan seseorang lelaki muda yang tengah berdiri. Tubuhnya lumayan gendut, tidak seberapa tinggi, menyelempangkan tas sebelah pundak, mengenakan jean ketat, kaos oblong berjaket dan bersandal japit. 

Dia menyunggingkan bibirnya. Senyumnya agak tertahan tertarik ke atas sudut bibirnya. Saya terhenyak. Saya kira dia salah orang saja saat melemparkan senyum itu. Pandangan saya langsung saya lempar keras-keras keluar busway hingga terjerembap di got berair putih keruh dan sudah pasti beraroma menyengat bau menjijikan.

Saya coba sedikit melirik. Eh dia masih senyum-senyum juga. Tak saya indahkan. Mungkin dia orang yang kenal saya, namun saya tak kenal dia. Bukankah itu sebuah hil yang musta alias mustahil. Ya, mustahil. Meski tidak ada yangmustahil di dunia ini. Saya paksakan itu mustahil.

Usut punya usut, berprasangka dan menduga, saya jadi takut-takut geli dengan pikiran saya sendiri. Jangan-jangan dia itu jangan, eh jaran, eh bukan. Kan pikiran saya jadi kemana-mana.

Bukan tanpa sebab, senyumnya itu makin menjadi-jadi setelah saya beranikan diri untuk menatap matanya. Ngeri. Geli. Jijay. Dan sebangsanya. Malahan dia sempat mencuri-curi pandang dengan memiring-miringkan badanya yang jelas-jelas terhalang orang yang berdiri di depanya untuk dapat melemparkan senyum bejatnya pada saya. Sungguh-sungguh pengalaman menggelikan dan menggilakan.

Tak banyak cakap, saat busway berhenti, saya turun saja. Berganti yang lain yang dapat menghembuskan kenyamanan dan kegelodakan sana sini, lantaran yang saya tumpangi bus tua dengan sepi penumpang. Ujungnya saya tiba dengan tidak kurang apapun, dompet, hape. Malahan saya dapat bonus. Bonus kenangan senyum mesum dari lelaki tambun yang rasanya ingin saya gantung jadikan samsak buat tinju tiap saat. 


Negeri Atas Awan Para Kurcaci

0 komen
"Seusai tidur di siang bolong ia bergegas. Sebelumnya, ia bermimpi yang begitu mengejutkan. Hingga membuatnya terbangun dengan napas terengah-engah.

Didapati waktu menunjuk jam satu, 37 jam setelah anak tetangganya meninggal. Ia yakin ada hubungan mistis antara mimpi dan kematian itu. "Toan Sombah, dia yang membawa anak itu." Kuburan Toan Sombah berada di kebun bawah bukit Tatak Kriak. Konon dicetritakan, Toan Sombah ialah tidak lain tidak bukan seoran pekerja belanda yang mati terjatuh dari kuda dia saat berkeliling kebun.

Tidak ingin kian tertekan dan terhanyut oleh mimpi anehnya, ia memaking perlengkapan kemping. Dia ingin menemui para kurcaci yang tinggal di negri atas awan. Kau tahu, dia benar-benar bertemu para kurcaci. Kau tahu, kurcaci sangat pemalu. Dan hanya pada orang-orang yang dirasa dekat saja mereka menunjukan diri. 

Malam itu hampir larut. Saat kurcaci secara ajaib berhamburan keluar. Sebenarnya, kala itu ia tidak benar-benar terjaga, ataupun terlelap. Kau tahu alam antara? Ya sepertinya ia berada di dalam itu. Di sanalah alam yang sangat memungkinkan menyatunya berbagai dimensi kehidupan.

Ia pun segera tak ingat apa-apa setelah benar-benar sadar. Yang ia tahu, orang pada berlalu-lalang riang berfoto ria. Dibelai hangat sinar mentari yang perkasa mulai menyobeki gelap dan melindas para kabut. Dia tetap saja bersamaku. Mengalahkan segala macam goda keindahan dalam nyaman pelukku."

B29. Menarik dan menantang. Kantong adrenalin benar-benar ditekan habis-habisan. Jalanan yang terjal dengan tataan batu oleh alam yang amburadul menancap di tanah basah dibasuh hujan, menciutkan nyali. Belum lagi tanah gundul tanpa bebatuan yang beberapa titik menganak kali, sungguh memukul jatuh keberanian. Eits, bagi saya iya. Tidak dengan mereka para petangguh warga lokal dan tentunya pegiat offroad.

Baik, cerita dimulai lewat tengah hari. 22 November 2014. Mulanya, memang tidak terencana dengan sengaja. Sejak pagi saya begitu ogah-ogahan untuk beranjak dari tempat tidur. Lantaran tiadanya kegiatan menarik di akhir pekan itu.

Sembari geletakan saya menghubungi seseorang yang mendekati seratus persen setuju bila diajak berpetualang. Parah. Tepat, dia meluluskan ajakan saya menuju tempat yang belum pernah saya tapaki. Deal. Jam  satu berangkat.

Eh, tanpa sadar saya terseret lagi ke dalam tidur. Alhasil, setengah jam dari kesepakatan awal, saya tergopoh-gopoh menyiapkan ini-itu. Satu kekawatiran saya bila berangkat lewat tengah hari. Hujan yang berduyun-duyun membasahi siapa dan apa saja tanpa ampun. Palang.

Rupanya para panitia hujan hari itu banyak yang bolos. Yeha, saya bergegas menghampiri Parah di kediamanan bapak emaknya. Perjalananpun dimulai jam setengah tigaan sore. Yah, hal-hal remeh temeh yang tak di siapkan sedari awal, mau tak mau turut menyita waktu.

Dibekali bakso campur mangli yang azib, rasanya tidak ada lagi yang kurang. Sejam setengah berlalu di jalanan berbaur debu dan asap knalpot, manibakan kami di Lumajang. Setalah memenuhi tangki motor dengan BBM yang subsidinya dicabut pak Jokowi, Senduro menjadi mata kompas yang harus kami tempuh.

Sedikit banyak bla bla bla di jalanan, tibalah di pertigaan menuju arah Ranupani. Namun bukan itu yang hendak kami tuju. Jadi lewat saja. Pura besar di jalan menanjak, lewat juga. Setelah kurang lebih 5 km--ambil kelebihanya, bila kurang tolong tambahi--ada plang di kiri jalan bertuliskan B29. Tada, ikuti strimlen, eh tanda plang ding.

Jalanan mulai naik dan menaik dan dingin dan mendingin--sungguh tidak eyede. Nah, rupanya panitia hujan tengah rapat besar-besaran di sini. Beberapa anggota yang nakal, menciprat-cipratkan air. 

Hemmm, dingin-dingin empuk. Makin naik, kabut makin turun. Entah berapa jengkal jarak kami lalui. Tikungan demi tikungan, tibalah di sebuah gapura. "NEGERI DI ATAS AWAN" Selamat datang kawasan wisata B29 Desa Argosari Kec. Senduro- Kab. Lumajang.

Oia, jangan kaget bila ada beberapa ghost rider, maksud saya pengendara motor biasa sih, yang turut menyambut dan mengarak perjalanan Anda. Mereka adalah pengendara tangguh alias pengojek-pengojek dengan skill mumpuni untuk negerinya.

Des des des, motor saya takhluk di terjalnya tanjakan. Yasudahlah, mau apa dan gimana lagi. Saya titipkan saja di rumah warga. Selanjutnya, hehe, ya ngojek lah. 40 ribu seorang. Tepat jelang petang dibalut dingin yang tidak seberapa, pucuk B29 berada di bawah surga. Alias telapak kaki saya, hehehehe...eits, bukan ya.

Pemandangan sungguh biasa. Ada bukit yang mengular, pohon melambai-lambai, kedai kecil-kecilan yang berderet, angin yang mendesau, dan beberapa pengunjung lain mengepulkan asap dari corong mulutnya. Perkara bagus gak bagus, indah gak indah, itu hak masing-masing orang untuk menerjemahkan segala yang ditangkap panca indra yang dibawa sarap menuju otak lalu diungkapkan oleh mulut--apik e--dan dipamerkan pada teman-temannya yang belum pernah ke sana. Dengan pamer beberapa foto tentunya.

Sudah, malam mulai membawa gelap. Derajat panas tubuh turun seiring berjalannya malam. Sak-masakan adalah bagian haram untuk dilewatkan saat kemping. En*rgen hangat lumayan meninggikan suhu badan. Hemmm, yumyyyyy. Lalu disambung untaian mi kuah hangat. Sambil dihibur dengungan lagu-lagu Banda Neira, Payung Teduh, Ost Gie, dan suara jelek Parah yang kadang turut melantun. Saya juga sih. :D

Malamnya, ada suara-suara aneh. Itu terjadi setelah gerimis kabut. Saya klaim saja itu suara para kurcaci. Mereka yang sangat pemalu. Saat saya buka tenda, mereka lenyap. Lalu selang berapa lama, muncul lagi. Ya, mari kita bikin kesepahaman bersama, bahwa mereka adalah para kurcaci yang tinggal di negeri atas awan. Gpp agak fiktif.

Paginya, orang-orang berhamburan keluar tenda menyambut mentari. Sunrise. Berfoto selfi, aneh-aneh. Yah, beberapa menit kemudian suasana kembali hening. Mereka pada pulang atau entah kemana. 

Saya dan Parah turun bersama, jalan kaki. Biar sehat sambil menikmati alam. Dan sudah,

Berlibur ke rumah uti

0 komen
Pada hari libur aku sangat bosan di rumah terus.
Dan aku langsung  keibu 
Ibuapakah mau ke rummahnya  uti rahasia dong?
Ibu ngapain nyiapkan bajuku dan bajunya semua 
Plis ke rumah uti 
Dan terus ibu memjawap iya sayang, 
Dan ayahku menelepo om roni.
Dan om roni datang ke rumahku, 
Dan aku masuk mobil nya om roni 
aku mengucapkan selamat tinggal bulik. 
Kerumah uti 8 jam.
Selama perjalanan,
Aku tidur. waktujam 12 aku 
Di bangunin sama ibu 
Aku kewarung selesai ke warung
Aku makan di sana 
Sama sama
Dan  aku melanjukan 
Perjalanan lagi. 
Kata ibu.
Sebentar lagi datang
Ternyata semuanya
Sudah menunggu
Aku .
Aku dan mbakku ,
asslinya aku mau ngagetin ,
mas arbi .
ooooooooo,......???????

Nb: Ditulis Nakhla, tidak ada olah apapun selain menambah ilustrasi


Bukan, Kepastian Yang Ku Tunggu

0 komen
Di bawah sinar bulan purnama
Ku merenung
Saat terpisah yang ku jalani
Bersamamu

Keindahan dalam bercinta
Tidaklah mudah
Cinta membutuhkan ketulusan
Dan pengorbanan

Satu keagungan cinta
Tak terpadamkan
Mengapa semua ini harus terjadi

Tanya hatimu benarkah dirimu
Masih mencintai aku
Bukankah dulu kau mau menunggu
Pernyataan cinta dariku

Tanya hasratmu benarkah dirimu
Masih membutuhkan aku
Bila tak berubah bicara padaku
Kepastianlah yang ku tunggu

Keindahan dalam bercinta
Tidaklah mudah
Cinta membutuhkan ketulusan
Dan pengorbanan

Satu keagungan cinta
Tak terpadamkan
Semua ini harus terjadi

Pucuk dicinta ulam tiba. Saat saya hendak membuat corat-coret tentang kepastian, bersua juga dengan ini. Ya, salah satu lagu yang dipopulerkan band kenamaan, Gigi. Tentu setiap orang akan menyukai, kepastian. Dalam apapun.
Pernah saya jumpai tulisan seperti ini; Perempuan itu suka es krim, suka coklat, namun mereka lebih suka kepastian. Tak ayal, itu memang benar. Dan saya rasa tidak hanya perempuan. Ya, lagi-lagi semua pasti suka dan mengharap kepastian.
Kisah buruk rupanya menimpa saya, mungkin beberapa dari Anda juga. Pinginnya sih juga yang pasti-pasti aja. Eh kok belakangan ini semua menjadi tidak pasti.
Pertama ada sebuah tawaran, semacam proyek kecil-kecilan. Dan saya bersedia menerimanya, meski saya tahu itu belum jelas kepastiannya. Dan dari ketidak-pastian itu, muncul beberapa harapan. Lalu harapan itu pupus digerogoti waktu. Dan parahnya, itu sudah sekian kalinya. Jadi bukan yang pertama, hahaha.
Dan masih ada bla bla bla dan bla lagi tentang ketidak pastian dalam keseharian saya. Itu juga karena saya memang menyukai kejutan. Saya tidak pandai menata hidup. Merencanakan semua dengan matang, sehingga mendekatkan dengan kepastian yang digadang. Tapi itulah saya, boleh percaya boleh tidak. Yang masih mau percaya sama saya, ya silahkan, yang tidak apa lagi.
Percayalah pada keajaiban, namun jangan memujanya. Itu. Iya kan? Dalam ketidak-pastian masih ada kok harapan. Meski itu harus disembunyikan dan ditata rapi. Mengalir. Yang tidak tahu mengalir itu selalu dikait-kaitkan dengan tidak adanya usaha. Tidak adanya tujuan. Tapi tidak dengan saya. Percayalah kali ini.
Sampai pada suatu ketika. Saya tersadar, bahwa, dalam kehidupan yang pasti adalah ketidak-pastian itu sendiri. Berat memang untuk melapangkan dada menerima semua itu. Pada awalnya saya tidak percaya. Lambat laun saya berbesar hati menerimanya. Bahwa ketidak-pastian adalah sesuatu yang nyata yang mungkin dilekatkan dalam bagian hidup saya.
Baiklah, jelas-jelas begitu, mulai sekarang saya akan mencoba berteman dengan ketidak pastian. Saya akan mencoba mengenalinya baik-baik. Mendekatinya, lalu akan memeluknya erat-erat. Sambil melepaskan harapan-harapan yang kian memilukan. Dengan begitu jalanya hidup tidak akan terasa memberatkan saya. Entah bagi orang lain.



Jangan Salah Paham, Saya Hanya Hematophobia

0 komen
Bertahun-tahun nanti, saat saya menghadapi regu berjarum dengan simbol palang merah, saya akan teringat senja yang samar ketika saya tergolek lemas.

Tak sedikitpun membesit dalam benak saya, hari itu. Saya tengah pakewuh menyiapkan keperluan untuk orientasi adik angkatan di kampus. Bersama Maliq, kami harus menjangkapkan beberapa peralatan. Dan nampaknya itu mengharuskan kami ke KSR—Korps Suka Rujaan, Korps Suka Raba-raba, Korps Sukarela.

Jangan salah paham dulu. Kepanjangan KSR itu saya dapat dari sebuah situs online http://ksrpmi.uin-malang.ac.id/. Tidak ada maksud apa-apa dari saya, namun memang jika ditelisik lebih dalam, saya dapat memahami maksud dari beberapa kepanjangan itu. Silahkan dikroscek jika masih ada yang penasaran.

Baiklah, kita kembali. KSR yang berada dibawah naungan PMI itu, tengah menghelat sebuah hajatan besar. Salah satu acaranya ialah donor darah. Setelah acacicu menyampaikan maksud dan tujuan, serta urusan kami beres, giliran anak-anak KSR menawarkan ajakan. Ya, tidak lain tidak bukan adalah mendonorkan darah.

Mendengar tawaran itu, antusias saya hilang sekejap. Lain dengan kawan saya, iya menerima tawaran itu dengan lugas. Dengan muka masam, saya berpura-pura mengiyakan. Dalam hati, saya hanya mengantarkan saja kawan saya itu. Pasalnya saya termasuk klasifikasi trypanophobia dan hematophobia.

Bergegas kami menuju tenda perhelatan itu di gelar. Sigap Maliq mengambil posisi. Petugas tanggap memulai prosedurnya. Saya dagdigdugser bergidig berdiri memandangi. Setelah serangkaian uji dilakukan, Maliq difonis tidak boleh berdonor. Pasalnya kadar hemoglobin dalam darah kurang dari angka normal, kata petugasnya.

Spot jantung dalam dada saya semakin menggila. Saya dipersilakan. Dengan pasrah, saya mengikuti alur saja. Dalam posisi ini, mending saya dihukum suruh ngeramasi rambut singa saja, atau menggosok giginya.

Setelah uji tinggi, berat badan, dan tekanan darah dinyatakan lolos. Saat alat tes darah ditempelkan ujung jari tengah saya, keringat dingin membanjiri telapak, tangan dan kaki. Lalu saya dikejutkan oleh sengatan jarum yang mulanya tak terlihat. Titik darah mulai menyembul. Ujung jari saya harus mendapat tekanan lebih untuk menitikkan beberapa tetes darah segar guna di cek lebih lanjut.

Sisi baiknya, saya tahu golongan darah dan rhesusnya. Untuk pertama kali dalam hidup saya. Dan sisi paling baiknya, saya memenuhi kualifikasi untuk tahapan selanjutnya, berdonor.

Ketakutan saya datang bersama seutas selang berujung kantong dan runcing jarum pada ujung sisi lainnya. Saya tidak berani menatap interaksi yang terjadi antara pembuluh darah dengan bibir jarum itu. Perut saya serasa kian diaduk-aduk. Rasanya sungguh tak sanggup.

Hingga ternyata saya dapati jarum itu mengait seperti lintah di lekukan lengan saya. Rasanya? Tidak semenakutkan yang saya bayangkan. Aliran darah mengalir seiring degup pompa dari jantung. Merah hitam mengenetal menyisir tiap rongga kantong yang saya duga dari plastik itu.

“Mas, tidak apa-apa?” tanya seorang petugas. Saya hanya menjawabnya dengan senyum yang dipaksakan. Dan saya tahu, dari jawaban saya, petugas itu menahan tawa. Saya dapat melihat dari sudut bibirnya yang tertarik-tarik dan sorot matanya yang hampir dilipat mrecing.


Apa sebutan yang pas buat saya. Saya yang niatnya hanya mengantarkan kawan, eh malah saya yang kena. Bukankah hidup memang sungguh adil. Mungkin ini sebuah anak tangga yang harus saya jajaki untuk jadi lebih baik. Dan saya menerima itu pada akhirnya.

Udang Melempar Batu

0 komen
Mungkin orangtuamu tidak pernah mendongen tentang amat bahayanya cerpen. Ya, cerpen. Sebuah tulisan yang isinya cerita-cerita pendek. Yang pasti tak asing buat kebanyakan khalayak. Namun apa iya mereka itu tahu bahayanya. Jika tidak tahu, ku harap kau menyimak cerita yang akan aku ceritakan ini.

Mulanya cerpen hanyalah cerpen. Berisi jajaran aksara yang tertata rapi. Membingkis kisah-kisah unik, romantik, heroik dan banyak lagi. Acap kali tulisan itu menjadi sumber inspirasi bagi pembacanya. Mendatangkan senyum, tawa, sedih, iba. Lalu, dimana letak bahaya yang sesungguhnya. Kau tahu?

Bisa jadi isi yang terbingkis dalam sebuah cerpen merubah hidup seseorang. Paling tidak memberikan arah yang berbeda dari jalur yang biasanya. Dan itu sangat sah-sah saja terjadi. Penulis tentu memiliki atau menyimpan hasratnya dalam bingkisan tulisan cerita yang ia buat itu. Lalu berharap akan memberi sebuah arti bagi pembacanya.

Kau tahu, bukan itu bahaya yang aku maksudkan. Mungkin lebih dari itu. Tapi apa bahaya itu, aku sendiri masih mereka-reka. Jadi harap lebih sabar untuk membacai tulisan ini.

Dalam benakku, senjata itu digunakan untuk menaklukan yang tidak bersenjata. Misalnya, SBY memiliki sebuah majalah Dzikir untuk mendongkrak popularitasnya. Hegemoni itu jelas terangkum dalam Dzikir untuk mempengaruhi para pembacanya. Isinya tentang apa saja demi memikat para pembaca biar pada klepek-klepek pada SBY. Itu sebuah alur yang lazim di dunia ini.

Dalam sinema drama kolosal Indonesia, pedang digunakan untuk menebas lawan yang hanya bertangan kosong. Tapi belum tentu tangan kosong kalah oleh pedang. Kan iya? Kau pasti tahu itu. Si pendekar berpedang mati oleh pedangnya sendiri. Dan itu sudah sering dan mudah di terka.

Lantas bagaimana dengan cerpen. Apa iya cerpen memiliki pola yang  sama dengan pedang.

Agaknya terlalu pelik buatku menjelaskan ini. Tapi biarlah ku coba dengan bahasaku yang kadang sulit dimengerti. Kau harus bersabar dan lebih sabar lagi. Dan biarkan pikiran itu bekerja sebagaimana mestinya. Membangunkan imaji-imajimu yang liar.

Harusnya aku bisa memperdaya pembaca dengan cerpenku. Karena aku dapat menyisipkan puing-puing hasratku. Agar para pembaca tahkluk dan terhipnotis melakukan apa mauku. Itulah seharusnya yang terjadi. Jika benar-benar kita bicara isi.

Namun naas, jika cerpen itu hanya alasan yang tak ubahnya trik anak SD yang berpura-pura pinjam buku pada orang yang ia maui. Yang sebenarnya ia mengingini orangnya, bukan bukunya. Jadi, seberapapun bagus buku itu, percuma saja. Karena buku itu tidak akan pernah sekalipun dibaca, jangankan dibaca, dibuka-buka saja tidak. Yang ia inginkan jelas, sebuah perhatian kecil-kecilan dari si pemilik buku.

Padahal harapan si pemilik buku amat tinggi. Buku itu bisa di baca-baca lalu menimbulkan kesan. Bahkan mempengaruhi. Jadi, bahaya cerpen bernasib sama dengan buku itu. Yang punya buku justru diperdaya. Sungguh lihai.

Mungkin tidak semua yang baca tulisan ini tahu maksudku. Tapi itu memang salah satu kelemahanku. Kesulitan menyampaikan maksudku dengan bahasa yang mudah dimengerti.


Tapi kenapa kau terbiasa ingin menjadi pembaca yang tolol. Pembaca yang selalu dimudahkan, dimanjakan oleh penulis dengan bahasa-bahasa yang langsung di cerna. Bahasa yang mudah dimengerti.  Tidak melalui proses berpikir dulu. Maka niscya selamanya kau akan jadi pembaca yang budiman. Nama lain—bahasa yang mudah dimengerti—para pembaca idiot.

Jambi, How Are You To Day

0 komen
Apa yang bikin kamu pengen ke Jambi? Menarik sekali bukan. Baik, saya akan jujur menjawab. Berhubung ini lomba, saya akan seolah-olah ingin pergi ke Jambi. Dengan memaparkan beberapa alasan yang sebenarnya saya karang, saya buat-buat. Saya kondisikan dengan keadaan saya sekarang. Untuk sebuah tujuan, memenangkan lomba ini. Sudah dan tidak lebih.

Alasan itu berupa, nggg, ini. Beberapa hari ini sungguh penat dan janggal. Penat, isi pikiran dan laku samasekali tak segendang sepenarian. Maunya apa yang dilakukan apa. Sungguh dan teramat menjengkelkan. Janggal, hawa yang semaunya berubah-ubah. Sebentar terik lengkap dengan panasnya, lalu hujan mendera dengan irama lebatnya. Menyisakan dingin di kemudian. Paduannya siap membikin tubuh yang dikerumuni suasana penat dan janggal menjadi rentan. Rentan dijalari penyakit-penyakit keparat.

Huh. Nampaknya butuh suasana baru. Dengan nutrisi-nutrisi baru pula. Yang siap menyegarkan pikiran sejenak. Melakukan sesuatu yang jauh dari penting mungkin dapat dicoba. Kadang hal-hal seperti itu mampu membangkitkan inspirasi. Untuk memulai atau melanjutkan lagi tanggungan yang sudah menunggu. Betuh sedikit kegokilan.

Apa, jawab dong. Baik, alasan untuk ke Jambi kali ini bukanlah muluk-muluk. Tidak untuk berbisnis memupuk kekayaan, atau melancong menghabiskan waktu dan uang. Pun juga mengunjungi sanak keluarga. Tidak juga karena menghadiri peresmian maupun prosesi macam itu.

Yang menarik saya, saya ingin mencobai bakso yang ada di seluruh Jambi. Selain itu, juga penjaja kopi yang haram untuk saya lewatkan begitu saja. Selain itu, mungkin untuk sesekali mengunjungi pasar hewan di sana. Barangkali ada yang cocok untuk menambah koleksi piaraan saya di rumah. Sudah itu saja dulu. Yang lainnya menyusul ketika saya sudah dapat uang dan betul-betul pergi ke Jambi.

Apa coba, bayangkan. Anda tidak punya kepentingan dengan Jambi. Tidak punya sanak keluarga di sana. Tidak punya rekanan bisnis. Tidak punya teman dekat. Tidak punya niatlah garis besarnya. Lalu tiba-tiba anda harus mempunyai keinginan untuk pergi ke Jambi.

Terkait hal itu, saya iseng-iseng mengadakan riset kecil-kecilan. Mungkin malahan jauh kalau disandingkan dengan riset seperti yang sudah-sudah, lebih tepatnya saya menanyai beberapa teman. Yang daftar namanya ada di android saya. Terkait dengan “Apa yang bikin kamu pengen ke Jambi?”

Mau tahu hasilnya? Baiklah, ini akan saya sampaikan dengan sejujur-jujurnya. Tanpa mengada-ada dan hanya apa adanya.

Jujur, memang sebagian orang yang saya tanyai, menjawab tidak ingin ke Jambi. Malah beberapa mereka balik tanya, ngapain ke Jambi. Yah, memang macam rupa jawaban yang muncul. Seperti kata H-nif Jrs, “Gak enek(ada) keinginan nang(ke) Jambi Jo. Iki(ini) aku persiapan tes CPNS Pemprov jo. Betapa lucu teman saya yang satu ini. Dia fresh graduate yang kerjanya mencari kerja.

Berikutnya ada sih yang berkeinginan ke Jambi. Tapi ya itu, sebatas jalan-jalan saja. Dia adalah Sarah. Seorang mahasiswi yang pastinya suka berpetualang. “Main, wisata,” kata dia.

Ada lagi jawaban seorang Ester yang agak unik. Katanya, “Buat nambah koleksi foto, buat ganti foto profil.” Ya itu alasan dia ingin pergi ke Jambi, selain traveling menjajaki kota baru bagi dia. Sungguh menggelitik ulah kawan-kawan saya.

Beda lagi kalau si Ipang. Katanya di Jambi ada Omnya yang paling kaya. Pingin dia kalau ke Jambi, “Gak muluk" seh,paling cumak(hanya) dicekeli(dipercaya) kebon sawit, dadi(jadi) bendino(tiap hari) gak usah(perlu) ngantor, cuman ngecek nek(kalau) kebone(kebunnya) digae(dipakai) panggon(tempat) maksiat opo(atau) nggak(tidak).”


Intinya, setiap orang memang memiliki hasrat yang berbeda-beda. Tentang mana alasan yang paling benar, paling menarik, dan dirasa paling benar, itu sungguh relatif. Seperti jawaban untuk pertanyaan, “Apa yang paling anda butuhkan di dunia ini?” Bagi yang sedang lapar akan menjawab makanan adalah yang paling penting. Bagi yang kedinginan akan menjawab kehangatan. Bagi yang tak punya rumah, rumahlah yang terpenting. Dan bagi anda, mungkin akan beda lagi. Yah, itulah indahnya dunia. Selalu banyak perbedaan tidak berarti buruk.





Postingan ini diikutsertakan dalam lomba blog http://www.pipetmagz.com/

Balada Gagal Paham

0 komen
Kau harus tahu, belakangan ini aku benar-benar tidak sudi meluangkan waktu untuk membuat tulisan. Aku tidak mendapat sekjumputpun pernyataan yang menantangku buat menulis. Jiwaku yang petualang lagi terkungkung. Di kotakan kamar, emperan belakang, ruang itu, dan itu melulu. Yang ku temui juga melulu itu-itu saja. Mungkin sesekali butuh masuk LP atau kejaksaan. Atau rumah para lonte. Fiuh...

Kejadian itu sanggup memberikanku sedikit ketenangan. Namun lebih banyak kegelisahan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk coba melakukan kebiasaan lamaku. Meraih buku yang dipenuhi debu di sebuah meja. Lalu membawanya ke emperan belakang. Meski hanya dengan modal sepotong sisa minat bacaku, sebuah tulisan telah rampung. Itupun dengan pemaksaan yang luar biasa.

Selanjutnya, cerita yang ku baca itu konyol. Tak lebih dari kebanyakan cerita sinetron di televisi Indonesia. Kau tahu, ini sangat tidak mendidik. Dan tidak lantas menganjurkan aku untuk membuat tulisan serupa. Tidak juga kau atau siapapun.

Mungkin kau akan beranggapan buku itu memang jauh dari bermutu setelah membaca ceritaku. Tapi jangan salah paham dulu. Bukan maksudku untuk mengarahkan pikiranmu menyamai isi pikiranku. Tentang buku itu, baiklah akan aku ceritakan.

Mulai dari penulisnya. Aku merasa sangat mengenal penulis buku itu. Dari tulisan-tulisannyalah aku banyak belajar menulis. Banyak mendapat yang aku anggap kekonyolan-kekonyolan, sebagai jalan kepenulisanku.

Dia memililiki banyak ruang untuk tiap tulisannya. Malahan sebagai pengasuh rubrik khusus di sebuah koran nasional. Keren bukan. Dari itu aku diam-diam nyolong trik menulis. Dan kadang suatu ketika, aku mencoba berkomunikasi dengan dia. Meski tidak secara langsung mata ketemu mata.

Bisa jadi, aku lebih mengenal dia daripada diriku sendiri. Apa lagi Presiden dan para pejabat negri ini. Dia pernah bercerita tentang ketiga anaknya. Meski hanya seklumit lalu. Dan dia acap menulis kebiasaan yang mirip dengan kebiasaanku. Bukan, bukan mirip, alih-alih aku memang meniru kebiasaan dia.

Sudahlah, aku rasa aku sudah cukup mengenalnya mendalam. Tapi so pasti dia tidak kenal dan tak mau tahu tentangku.

Sudah itu saja? Aku rasa belum. Sebagai penulis kesohor yang malang melintang di jagad olah kata, dia sesekali membuat buku. Saking tergila-gila padanya, aku selalu berupaya mendapatkan buku-buku itu. Tapi naas, buku itu tak pernah sampai mejaku. Apa daya distributor yang ogah-ogahan menjual buku-buku bermutu di kota sekecil ini.

Kabar baiknya, setelah lama malahan setelah sempat berganti sampul, aku berhasil mendapatinya. Sebuah buku—yang mulanya—ku kultuskan. Kau tahu, aku baru bisa tenang.

Buku itu berisi kumpulan cerita pendek. Beberapa diantaranya sungguh menarik. Meski pernah ku baca sebelumnya. Dan cerita itu tetap asik untuk diulang-ulang. Mungkin banyak yang tahu bahwasanya itu sebetulnya adalah produk gagal dari si penulis. Namun bagi pembacanya—kok bisa—tetap sakral. Mungkin kau tidaktahu ya.

Aku tadi bilang telah mengenalnya melebihi aku mengenal diriku. Ini bagian yang kemudian menjadikan buku itu tidak menarik lagi. Hanya menurutku, ingat. Karena setiap membaca awal tulisannya, aku merasa seolah-olah itu tulisanku. Dan aku tahu arah tulisan dan akan berakhir seperti apa. Bukankah itu menjadi sesuatu yang menyedihkan.

Akhirnya, buku itu bernasib naas. Setelah sekian lama mengonggok di meja. Tiba juga saatnya untuk dipinjamkan. Dan tragisnya, hujan ingin ikut-ikut menyelami tiap lembarnya. Meski itu tidak mengubah alur isi. Tapi buku—yang sudah tidak terlalu menarik buatku—itu kini lebih tampak menyedihkan. Jauh dari mulus, ada bagian yang mengembang dan menjadi tak seramping dulu alias gendut. Belum lagi di beberapa bagian lembar tubuhnya dijangkiti jamur-jamur. Sungguh mengerikan.

Mungkinkah jika aku menulis juga akan berakhir demikian. Tidak ada yang tahu. Tapi kau harus tahu, selalu ada akhir cerita buruk pada situasi tertentu. Sebaik apapun tulisan, dia tidak akan baik jika situasi ruang dan waktu tidak klop. Kuharap kau paham.

Seperti misalnya apakah kau pernah bertanya, menulis bisa mendapatkan gadis cantik. Paling tidak menarik sedikit perhatiannya. Ya, itu pernyataan yang tidak ada hubungannya. Namun bisa saja dipaksa dihubungkan.

Ketika kau tengah menyelesaikan tulisanmu, lalu ada gadis cantik lewat, apa dia akan memperhatikanmu. Pun belum tentu ketika ia benar-benar menghampirimu, kau bisa melanjutkan tulisanmu seenteng menenteng pantatmu kemana saja.


Sudahi saja ya, nampaknya mulai melantur tak tentu arah. Jangan keterusan! 

Mboh Ra Ngurus

0 komen
Saya hanya ingin sedikit bercerita. Jadi tolong perhatikan secara seksama. Ini bisa dibilang anekdot atau anehdot, saya tidak peduli. Ini tentang satu kebaikan untuk beberapa kebaikan lain. Di sini, mari kita bersama melawan ketidak mungkinan di lingkup sekitar kita. Dimulai dari situ dulu. Bukankah segala yang besar tidak jatuh dari langit begitu saja, melainkan harus dimulai dari yang kecil.

Idenya seperti ini. Tunggu, ini bukan murni dari pemikiran saya. Lantaran saya anggap ini baik, maka saya akan menceritakan ulang.

Baik, saya mulai saja. Ada seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Suatu ketika, gurunya meminta masing-masing murid untuk menceritakan keinginannya di masa depan, semacam cita-cita gitulah. Beberapa anak dengan antusias bercerita tentang astronot. Yang lain lagi tentang jendral lengkap dengan lencana aneka bentuk dan warna itu. Ada pula ingin jadi CEO di perusahaan terkenal, presiden dan banyak lagi.

Tibalah giliran si anak yang saya maksud. Dia mengambil kapur tulis. Lalu menggambar lingkaran-lingkaran kecil. Paling atas hanya satu lingkaran. Dari satu lingkaran itu ditariknya tiga garis kebawah dan diberi lingkaran pada ujung tiap-tiap garis. Dan begitu seterusnya.

Sementara itu teman sekelasnya kian bosan menyaksikan tingkah anak ini. Gurunya pun duduk menopang dagu sambil memutar-mutar pena di tangan lainnya. “Sudah selesai, begitu saja?” celetuk sang guru yang suaranya masih terdengar sangat jelas di antara riuh ramai murid yang lain.

“Belum.” Jawab dia. Dia menyambung kata-katanya “Lingkaran ini adalah lingkaran-lingkaran kebaikan. Setiap lingkaran akan menghasilkan...” “Iya baiklah. Cukup!” potong gurunya. Sebab terlalu bertele-tele dan tidak mudah dimengerti untuk anak seumuran sekolah dasar. Mungkin juga gurunya yang berpikiran kerdil. Akhirnya ia berhenti sebelum penjelasan dia selesaikan dan kembali duduk.

Tak lama berselang, bel petanda kelas berakhir menyudahi pelajaran hari itu. Ia pulang dengan sedikit mengantongi rasa kecewa. Atas tingkah teman-teman dan juga keputusan gurunya.

Oia, saya hampir lupa sesuatu. Dia punya seorang ayah yang bekerja di pabrik. Dan seorang ibu yang memiliki hubungan kurang harmonis di keluarganya. Sejujurnya ia tinggal bersama ayah dan neneknya. Kakeknya telah meninggal. Ibunya memiliki kediaman sendiri, meski tidaklah mewah.

Pada suatu ketika, anak itu pergi berjalan-jalan tidak jauh dari rumahnya. Lalu dia menjumpai seorang laki-laki dewasa yang masih lajang sedang duduk di deretan kursi taman. Si bocah menghampiri. Lalu dimulailah obrolan antara keduanya.

“Hari yang cerah, Paman,” “Iya nak. Kamu tidak pergi kesekolah?” “tidak Paman. Sekarang hari libur sekolahku.” “Oh begitu.” “Paman sendiri sedang apa di sini, Paman tidak bekerja?” “Paman sedang tidak bekerja.” “Oh, aku tahu, pasti ini hari libur juga ya di tempat Paman bekerja.” “Bukan begitu maksud Paman.” “Lalu apa?” “Paman berhenti bekerja dua hari lalu.”

Setelah itu pembicaraan mejadi hening. Mereka sama-sama melepaskan pandangan kosong ke arah depan sembari duduk. Tidak berapa lama kemudian, “Paman mari ikut aku.” “Kemana?” “Ayo Paman, Paman ikut saja.”

Mereka pergi berdua, menuju sebuah rumah. “Masuklah Paman, ini rumahku.” “Oia silakan duduk dulu.” Si anak meninggalkan Paman itu ke kamar. Lalu memecahkan tabungan dia yang terbuat dari lempung. Isinya memang tidak terlalu banyak. Namun lumayan untuk membantu Paman itu hingga dapat pekerjaan lagi.

“Paman ini uang tabunganku. Paman ambillah.” “Maaf, Panam tidak bisa mengambilnya.” Tidak apa-apa Paman. Ambil saja. Supaya paman bisa mendapatkan pekerjaan lagi.” “Baiklah. Tapi bagaimana Paman membalas kebaikanmu ini?” “Tidak usah terlalu dipikirkan Paman. Tapi jika Paman betul-betul ingin membalasnya, Paman lakukan saja kepada tiga orang lain yang lebih membutuhkan.” “Kamu tidak takut Paman bohongi?” “Melakukan kebaikan adalah cita-citaku Paman, jadi tidak masalah buatku.” “Baiklah. Terimakasih atas kebaikanmu nak. Paman pergi dulu. Sampai jumpa” “Iya Paman, sampai jumpa”

Begitu selanjutnya. Si Paman itu mendapat pekerjaan. Dan melakukan kebaikan kepada tiga orang yang berbeda. Dan tiga orang yang dibantunya itu juga melakukan hal yang sama. Perlahan tapi pasti, dan dimulai dari suatu yang kecil.

Hingga di sebuah kota yang jauh. Ada seorang yang sedang antri berobat. Penyakit asma yang mendera seorang anak orang kaya itu makin parah. Sedang antrian masih panjang hingga gilirannya. Pada kondisi itu, seorang laki-laki yang juga sedang mengantri, terpancing empatinya. Saat dokter keluar ruangan memanggil pasien dengan nomor urut terdepan, laki-laki itu mengeluarkan pistol dan menembakkannya sekali ke dinding. Semua orang berteriak.

Laki-laki itu menyuruh dokter segera menolong si anak yang asmanya kian memburuk. Orang tua si anak bilang terima kasih. Sedang si laki-laki itu harus berurusan dengan pihak berwajib. Kejadian itu tak luput dari perhatian wartawan. Silih berganti para wartawan menanyakan alasan laki-laki itu berbuat demikian.

Namun dia tidak pernah menjawab. Lalu orang tua yang merasa bahwa anaknya telah diselamatkan itu mendatanginya. Seraya berterima kasih dan hendak membalas kebaikan laki-laki itu. “Jika ingin membalas kebaikanku, lakukan pada tiga orang lain yang lebih membuthkan,” kata laki-laki itu.

“Dari mana pemikiran seperti itu?” “Ini pemikiranku sendiri.” “Tidak. Tidak mungkin. Tolong katakan yang sejujurnya. Barangkali saya bisa membalas kebaikan Anda kepada orang yang lebih berhak.” Akhirnya laki-laki itu bercerita panjang lebar. Tentang dia pernah ditolong seorang wanita dan disuruh melakukan seperti yang baru saja dia lakukan.

Dari kejauhan, nampaknya ada seorang juru warta tengah memperhatikan perbincangan itu. Lalu dia bergegas menelusuri wanita yang diacu. Selanjutnya ia menemui satu-persatu orang yang telah melakukan hal serupa. Sambil menyiarkan tiap hasil temuannya di headline televisi nasional. Hingga akhirnya tibalah dia pada sebuah rumah sederhana.

Saat itu si juru warta tidak lagi bekerja sendiri. Dia sudah menyiapkan segenap kru untuk bertemu satu-satunya yang diacu sebagai penggagas ide itu dan berniat menyiarkan pertemuannya secara langsung. Si juru warta dan krunya sedikit tercengang bahwa yang ditemuinya adalah seorang anak sekolah dasar. Tidak ada yang menyangka jika ide itu lahir dari kepala anak sekolah dasar yang bukan orang kaya.

Keluarganya kala itu sudah utuh—ayah, ibu, dan nenek—tinggal di rumah yang sama. Itu juga berkat kebaikan yang dilakukan anak itu. Setelah semakin populer, makin banyak orang yang percaya akan hal itu—kebaikan tidak selalu datang dari yang besar.

Saya tetap berusaha melakukan ini. Hingga sekarang. Sesuai kemampuan saya. Apakah ini akan berujung sia-sia—kalimat tanya itu tak pernah mengacau keteguhan pikiran saya. Bagi yang berkeinginan melakukan kebaikan-kebaikan, maka jangan menunggu besok-besok atau kapanpun. Cukup lakukan semampu Anda sekarang juga. Perkara hasil, itu urusan nanti. Karena dalam kamus hidup saya masih tertera dengan jelas bahwa proses adalah hasil. Dan hasil adalah bonus.


 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere