Aku mencoba membakar semangatku lagi untuk menulis. Tanpa mempedulikan seperti apa nanti hasilnya. Yang pasti satu inginku, ada sebuah tulisan yang bisa dibaca. Kegalauan pikiran bukan saatnya lagi menguasai tubuh ini. Apa jadinya kalau setiap penulis mogok menulis karena pikirannya sedang tidak enak. Akan kebingungan seorang yang kesehariannya dugunakan untuk membaca, jika tidak ada yang menulis lagi.
Perutku terasa perih. Terakhir aku makan kemarin siang. Itu pun numpang di rumah seorang teman. Hari ini memasuki tanggal tiga puluhan, uang sakuku telah ludes sejak beberapa hari yang lalu. Agaknya gak nyambung ya,hehe.
Memang tidak dapat dipungkiri, jika ingin menulis bagus itu sulit. Tapi tidak pernah menulis dan mengharap sesekali menulis hasilnya akan bagus itu mustahil. Dari sekian banyak penulis-penulis yang sempat aku kenal, semua berkata, ”hanya satu jika ingin menjadi penulis yang baik, menulislah terus!” Begitulah kurang lebih.
Suatu ketika ada yang bilang tulisanku ini jelek. Dan bahkan hingga sekarang masih tetap saja jelek. Tapi tidak kupungkiri itu. Bagiku itu tidak penting. Karena jika mengkungkungkan pikiran pada hal itu, tidak jadi nulis lak an aku. Bagiku sesuatu yang penting justru terletak pada prosesnya, bukan sekadar tulisan ini.
Bagi yang belum pernah menulis seperti ini, aku yakin tidak akan pernah mengalami apa yang aku rasakan. Pikiran ini serba takut kalau dihadapkan dengan kewajiban menghasilkan tulisan yang bagus. Rasa takut kalau-kalau tulisan ini tidak runtut. Kalau kata-kata yang aku gunakan jelek. Kalau bahasanya tidak baik dan kaku. Dan masih banyak kalau-kalau yang lain.
Saat itu begitu mendebarkan. Jantung berdetak-detak seperti biasa, lebaih dech. Kegeraman begitu membuncah. Rasanya ingin tumpah bersamaan. Ya, seperti yang aku bilang tadi, bagi yang tidak pernah menulis, tentu tidak merasakan apa yang aku rasakan.
Kadang ada yang menganggap tulisan-tulisanku ini bagus. Mampu menginspirasi. Ah bagiku itu berlebihan. Siapa saja yang menemui tulisanku ini akan menganggapnya biasa-biasa saja. Bahkan bisa saja dimasukkan dalam kategori jelek.
Kalau kataku yang bisa mengispirasi bukan semata-mata tulisanku yang jelek ini. Tapi saat aku menceritakan bagaimana tulisan ini dibuat. Karena di situ, ada banyak pertautan dan pertentangan yang aku alami. Juga tidak jauh beda seperti yang mereka alami saat menulis.
Tapi kini bagiku menulis menjadi bagian yang menarik. Apa-apa yang ada dalam pikiranku bisa aku tuangkan melalui tulisan. Jadi tidak terus-menerus muter-muter di dalam tempurung kepala. Yang akhirnya menambah sesak pikiran. Bukankah itu hal yang biasa.
Sebelumnya, aku paling tidak suka ada istilah atau kata hal pada setiap tulisan. Minimal aku selalu mencobanya mengganti dengan obyek yang jelas. Aku ingat kembali sedikit pelajaran bahasa indonesia saat kelas tiga esempe.
Saat itu guruku mengajarkan untuk tidak membiasakan menggunakan kata ganti itu untuk menunjuk obyek. Kalau-kalau ada yang mengerjakan tugas masih sering menggunakan kata itu, langsung tanpa kompromi dikasih tanda silang. Dan ditarik tanda panah dengan keterangan, pada waktu itu ia sering menyontohkan nama orang, nama-nama orang yang pernah dia tahu. Aneh memang menurutku saat itu.
Baiklah, kalau masih belum bisa menangkap apa maksudku, aku akan menyontohkan kata yang salah. Begini misalnya. Pedagang itu, orang itu, dan itu-itu yang lain. Langsung dengan nada kesal ia menyebutkan beberapa nama untuk menggantikan pedagang itu atau orang itu.
Baiklah kembali lagi kepada pikiran yang muter-muter dalam batok kepala. Tidak bisa disangkal memang. Dari banyak cerita, menulis itu sebegitu sulit. Berat. Menyebalkan. Tapi bagiku itu semua bohong belaka. Sudah sering pula aku menyerahkan buku catatanku untuk ditulisi. Buku itu aku serahkan kepada beberapa teman yang selalu mengeluh jika menyinggung kata menulis.
Aku mengintruksikan untuk menulis sesuai apa yang ia mau. Malahan aku sempat heran, apa benar tulisan yang ada di buku catatanku itu ia yang buat. Tulisannya bisa berlembar-lembar. Bahkan katanya masih banyak lagi yang belum sempat ia tuliskan. Bukankah itu aneh? Padahal ia sering mengeluh, untuk menuliskan satu kalimat saja membutuhkan waktu yang lama.
Kalau menggunakan komputer, biasanya tombol backspace sering ditekan daripada tombol yang bertuliskan alfabet. Kalau pun menulis di kertas, pandangannya melongo. Melihat sekitar seperti orang sedang linglung. Dan kertas itu, yang seharusnya hanya berisi tulisan, tampak seperti di-layout. Karena juga berhiaskan goresan-goresan yang tidak membentuk huruf.
Dari situ ada sebuah pelajaran yang sering luput dari kesadaran mereka. Sebenarnya sama seperti yang aku alami. Aku juga pernah bercerita itu kepada mereka. Kalau di saat menulis tiba-tiba buntu, tidak nyambung, atau bosen. Kalau aku, ya aku tulis aja apa yang ada di pikiranku. Entah itu kata, ”pikiranku tiba-tiba buntu. Tidak tahu lagi apa yang hendak aku tulis.” Atau juga,”aku sedang bosen. Masa aku disuruh menulis sampai larut malam seperti ini, sedang yang lainnya enak-enakan tidur. Memang kurang ajar redakturku itu. ingin rasanya tak cabik-cabik.” Begitu dan seterusnya.
Hingga rasa tiba-tiba buntu atau bosen itu hilang dengan sendirinya. Karena telah ikut ditumpahkan dalam tiulisan. Lalu kalau ingin lanjut menulis, ya langsung saja. Nanti tidak usah bingung bagaimana cara menyambungkannya dengan tulisan yang digagas di awal. Cukup tuliskan,” baiklah, aku telah kembali.” Atau, ”kembali pada pembicaraan semula.” Biarkan saja tulisan-tulisan yang berisikan tentang keluhan ’pikiran yang buntu’ atau ’pikiran yang bosen’ itu tetap ada.
Karena, pertama: kalau kita lihat tulisan yang sulit kita buat itu tadi, sudah lama nulis kok kelihatannya masih sedikit, kan bisa nampak lebih banyak jika diselinggi tulisan-tulisan tentang keluhan itu. Dan biasanya kalau tulisan nampak lumayan banyak, giroh untuk melanjutkannya itu akan segera muncul. Dan ada rasa senang tersendiri.
Kedua: paling tidak kalau tulisan itu dibaca redaktur atau siapa pun, mereka pasti akan tertawa. Mereka akan terhibur. Paling tidak dengan keluhan atau umpatan kepada redaktur tadi. Saat meng-edit mungkin ia akan sedikit marah bercampur geli. Tapi biarkan saja itu. Satu keyword-nya, keberanian! Aku belum melihat itu ada pada beberapa penulis pemula. Meraka kalah dengan rasa takutnya.
Untuk mengalahkan kebuntuan di kala tengah menulis. Akhirnya menulis terasa sulit. Ya, seperti yang aku bilang tadi. ”semua pikiran ingin tumpah ruah bersama saat kita mulai menulis.” Tapi itu tidak baik. Karena akan membingungkan kita.
Rasanya tidak ada lagi yang ingin aku sampaikan. Hanya saja coba lakukan. jangan terpancing ikut-ikutan gaya penulisan yang aneh-aneh. Cukup gunakan bahasamu sendiri saja. Karena memikirkan untuk memilih kata-kata yang mendayu-dayu sendiri akan menguras pikiran. Dan menyita waktu untuk menulis. Yang paling mendasar adalah esensi yang ingin kita sampaikan itu mengena kepada pembaca. Bukankah sesederhana itu! Ke tahapan berikutnya.
Kalau ingin menambah perbendaharaan kata, maka keyword-nya adalah membaca. Bisa membaca komik, cerpen, atau novel. Biasanya dari bacaan-bacaan itu ada kata-kata yang bisa kita tiru. Lalu kita kembangkan. Katanya proses untuk menjadi ahli itu ada tiga tahapan. Untuk mudahnya diingat, biasa disebut ATM. Amati, Tiru, Modivikasi.
Dari membaca, banyak yang akan kita gali. Tapi ada formula sederhana jika ingin menjadi penulis. Menulislah dulu dengan bahasamu, untuk menulis sederhana. Lalu membacalah untuk menulis dengan menggunakan gaya bahasa atau istilah yang lebaih. Yang saya sesalkan, tulisan ini hanya akan menjadi bahan bacaan saja. Setelah itu tidak diaplikasikan. Dan akhirnya tidak berguna.
Aku sadar, sorang pembaca berhak datang dan pergi seperti apa yang ia mau untuk sebuah tulisan. Tanpa ada kehendak memaksa dari penulis kepada pembaca melakukan apa yang ada dalam tulisan. Namun tak ada yang aku sesalkan. Dengan menulis, bagiku ada kebanggan tersendiri yang itu lebih dari segala-galanya.
Dan itu hanya bisa dirasakan oleh seorang penulis saja. Utamanya penulis yang telah merampungkan tulisannya. Rasa lelah, otot kaku semua terbayar tuntas. Kalau kata Sujewo Tedjo, jadilah Easy going, menganggap enteng segala sesuatu, adalah petruk. Juga selalu membantah, tapi bener, seperti bagong. Menyenangkan!