Aho di antara J-Rock dan Amargyla

0 komen

Siapa yang tidak tahu lagu beken era 80an. Judulnya Kemesraan. Saya sering mendengar lagu itu dibawakan seorang musisi kenamaan, Iwan Fals. Rasanya begitu indah dan mendamaikan. Khas irama lawas sedikit cempreng serasa menyeret ke masa-masa banyak tahun silam. Fantastik.

Lain zaman lain cerita. Ada sebuah lagu dengan judul serupa. Reff-nya pun masih sama persis. Hanya untuk lirik yang lainnya diganti. Disesuaikan dengan lirik kekinian anak muda zaman edan. Tiada lain kalau bukan Amargyla, band indi asal Malang.

Buat saya, liriknya sangat kocak dan menawarkan alternatif yang tidak wajar di jagad permusikan yang pernah saya dengar. Kalau yang lainnya kebanyakan bicara cinta-cintaan, yang ini beda. Saya takjub skaligus kagum pada band indi yang saya kenal dari seorang kawan yang menjejak pendidikan S2 di Malang ini.

Cerita Saya dari Mereka

0 komen
Sekira tiga tahun lalu, saya tidak sengaja menjumpai seorang tunadaksa di Kapolsek Bondowoso. Saya tak pakewuh urusan apa yang ia kerjakan. Tangkas rasa iba saya berhamburan. Dengan maksud menyembunyikan keibaan itu, lantas tidak peduli. Malahan isi pikiran ini melantur kemana-mana. Sebuah sloganistik yang selalu berbunyi bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna, kandas seketika itu.

Lalu, saya yang hanya mampir untuk sekadar santap siang di kantin, harus lagi-lagi meretas kisah pelik yang sungguhpun tak saya ingini. Seorang tunadaksa yang tak saya tahu nama maupun asal-usulnya itu mendekati saya perlahan. Saya menebar sedikit senyum memicing dan dia membalasnya. Entah mula dari mana dan apa kata pertama yang dai ucapkan, hanya seingat saya ada beberapa hal yang hingga kini lekat kuat di pikiran.

Dia bicara tentang hak yang sepenuhnya jelas wajib ditepati pemerintah, yang mana saya sangat alpha terhadap yang ia maksud. Lambat laun saya paham setelah dijelaskan dia. Tentang berapa anggka persen pembagian dalam tiap perusahaan yang harus melibatkan didalamnya kesempatan yang sama bagi para saudara kita yang disabilitas.

Kena Tipu

0 komen


Harinya sabtu malam. Bertempat di jalan apa gitu, saya lupa. Dihelat sebuah diskusi kecil-kecilan. Tajuknya bedah buku yang dikemas diskusi santai lesehan di Kampung Baca. Saya juga lupa nama si penulis buku dan pengelola kampung baca yang penuh kesederhanaaan itu. Yah, momentum itu dimeriahkan sekira 27 para pegiat olah logika. Saya tidak masuk diantaranya. Karena saya tak cukup energi untuk mengaktifkan logika.

Boleh dikata jam karet, uwelek, ramutu, bekicooooot buat saya yang datang tiga puluh menitan menjelang acara itu usai. Mulanya saya ragu. Saya sudah sampai lokasi yang diacu. Tapi jam sudah agak larut untuk sebuah helatan acara. Akhirnya saya hanya memutuskan niat balik kompas sesampai di parkiran saja

Tulungi Brey

0 komen

Mungkin Anda bisa bantu saya. Saya butuh mesiu untuk meledakkan guci permasalahan yang sering mengungkung saya. Ini ceritanya. Kala saya membuat tulisan yang isinya clometan kayak gini, mudahnya bukan main. Kata demi katanya mengalir deras. Segampang kawan saya Uje melakukan ce el setelah ce efan. Lain halnya ketika saya hendak membuat tulisan yang agak serius. Dua rius atau tiga rius mungkin. Sulitnya minta ampun.

Kalau-kalau, jadinya amburadul. Saya sendiri saja mrecing-mrecing membacanya. Cat cet cot gak nyambung dengan karep yang saya gadang. Nah, jika sudah kepalang basah seperti ini, mau apa lagi coba. Mana mungkin saya bisa memperbaiki tatanan perekonomian kantong saya. Puh, rasanya jiamput tenan.

Cek-ecek

0 komen
Ini kadang bikin saya hepi. Ketika lagi nganggur soro duduk termenung di lungguhan bermaterial adukan semen dan pasir yang kokoh dan keras. Tiba-tiba serentetan lantunan lagu yang saya kenal mendendang merayapi telinga. Liriknya mengaitkan puing-puing ingatan yang mulai memudar. Merayu saya berelegi sambil berdansa mesra dalam imaji. Asik beut.

Kalau sudah begini, saya tak peduli amat. Yang penting ada bunyi-bunyian yang rela berkeliling menemani kesendirian. Sebuah elegi yang mendengung dari pojokkan barisan komplek ukm. Meski tak jarang liriknya tiba-tiba putus. Timbul tenggelam seraya napas yang terseok-seok dipaksakan. Atau lantas lupa lirik berikutnya. Asoy brey.

Mode Pakaian

0 komen
Musim kali ini basah. Hujan selalu mengguyur. Siapa yang tidak tahu. Paling tidak untuk wilayah Jember dan sekitarnya. Malahan dua hari terakhir, sejak menutup hingga membuka mata, rinai hujan masih setia memeluk dingin mesra.

Kalau musim seperti ini, kira-kira pakaian mode apa yang klop? Kalau Ginanjar PU yang dilempar pertanyaan, pasti tak ada opsi jawaban lain kecuali Babebo. Maklum, saya dan dia kerap hunting pakaian di sana. Lumayan, bisa hemat dan cukup hangat.

Bola

0 komen

Urat-urat kaki semakin lama kian menegang. Lantaran tak sering lagi digunakan untuk kecil-kecil berlarian. Atau juga untuk memainkan sebongkah bola. Saya mulai rindu kembali pada rerumputan lapangan yang kini tengah hijau-hijaunya.

Ngrasani bola, saya jadi ingat cerita nostalgia. Saat saya mulai bermain di lapangan sesungguhnya dengan bola dan bersepatu laiknya pemain bola betulan. Ini bukan kisah semata saya yang gemar bermain bola. Tapi lebih pada mengaitkan simpul-simpul kenangan. Di masa saya bermain bola bersama kawan lama. Rajutan yang tinggal kenangan itu dimulai ketika saya masih berseragam putih biru. Kelas tiga.

Linsang di Balik Kerangkeng

0 komen

Saya harus menunda sementara untuk bisa bermain bersama berang-berang sepanjang waktu. Lantaran harganya yang tak bersahabat dengan kondisi keuangan saya. Saya hanya bisa sesekali mengelusnya. Dan itu pun saya harus ke pasar. Itu juga mungkin hanya untuk sementara waktu. Kalau sudah laku, ya tak bisa lagi untuk sekedar mengelus.

Apa daya, haruskah saya membayar seratus limapuluh ribu sebagai mahar pertemanan saya dengan berang-berang. Nampaknya memang begitu syarat sahnya. Hanya saja saya benar-benar tak punya cukup uang saat-saat ini. Harga itu masih lebih murah, ketimbang saya harus beli secara online. Yang mana saya harus keluar uang sedikitnya empat ratus ribu. Itu belum hitung-hitungan ongkos kirim.

Berteman Binatang

0 komen

Saya cinta pada binatang. Lalu kenapa sampai sekarang saya belum membuat tulisan tentangnya. Kan harusnya tulisan yang dibuat atas dasar cinta itu bisa lebih menggila. Seperti pemuda-pemudi yang lagi galau lantaran dilanda asmara. Bisa berbait-bait melahirkan puisi.

Saya selalu kelupaan untuk membuat cerita manis ketika bersama hewan piaraan saya. Saya kerap kali menceritakan ketika piaraan saya itu sudah tak lagi ada. Alias sudah pada mati. Karena rasa sedih yang cenderng datang meluap-luap. Mengalahkan kenangan manis yang ada.

Altar

0 komen

Ini tentang bagaimana saya memutar otak. Sebuah kerjaan yang selalu dan terus terjadi. Oia, ini awalnya juga hendak menyinggung sebaris tulisan usang yang masih mengusik pikiran saya. Dan saya tidak mau menjadi seperti  salah satu yang diacu dalam tulisan itu. ”Awalnya, banyak yang bilang ingin menjadi penulis. Tapi sedikit sekali mereka yang saya jumpai sebagai penulis.” 

Sebuah phobia yang selama ini menguntit langkah saya. Kembali lagi, otak saya tak secerdas dan sepintar orang kebanyakan. Bahkan saya sering ciut ketika harus berhadapan dengan orang lain. Ah, kok jadi gini sih. Gini aja, meski memori dan kemampuan otak tiap orang beda, namun semua masih bisa dilatih dan diasah. Bahkan diupgrade

Ini hanya bicara kesenangan. Ketika saya tiba-tiba jatuh cinta pada dunia ikan, saya melupakan dan meninggalkan bangunan kegemaran saya sebelumnya. Saya begitu terobsesi dengan kibasan ekor ikan-ikan kecil imut yang memukau. Sungguh! Lalu ada sebutir kakikukan yang turut mengalir dalam tiap tetes air di akuarium. 

Akankah saya berakhir dan berbelok menjadi seorang awam yang sebagian besar waktunya dihabiskan bersama ikan. Tidak adakah hal lain yang bisa dilakukan? Lalu bagaimana dengan niatan saya yang semula ingin blajar dan menjadi seorang penulis? 

Sungguh kacau saya. Sempat ragu dan gentar ketika sudah lama tak menorehkan sebuah tulisan, lalu muncul tuntutan profesi. Seperti menata kembali batu bata untuk mengokohkan bangunan lama. Dan itu sangat terasa kaku, tidak serenyah dan semengalir beberapa catatan saya dulu. 

Betapa dulu saya menyelesaikan sebuah tulisan tak lebih dari dua jam. Dan betapa saya mencoba menyulut semangat kawan-kawan untuk menulis, mengendarai tulisan saya yang serba mengalir bagai air dan udara yang berhembus. Dalam tulisan yang judulnya saya buat terpisah. Pertama seperti kebanyakan judul, diawal tulisan dan potongan pelengkapnya di akhir tulisan. saya meletakkan judul MENULIS ITU? Lalu seolah menjawab, MENYENANGKAN. 

Oai, ada sesuatu yang hampir kelupaan. Sempatkanlah membuka kembali dan membaca-baca catatan yang pernah dirampungkan. Siapa nyana nanti bisa menginspirasi. Atau sedikitnya menjadi barometer sebuah tulisan. Berkembang atau sama atau merosot. 

Saya sempat terkecoh. Mungkin tidak separah itu. Ketika saya begitu mengkultuskan seorang penulis, karena saya anggap tulisannya demikian apik, ternyata tak seperti itu tanggapan orang lain. Setiap orang punya idolanya masing-masing. Yang disesuaikan dengan diri tiap orang. 

Maksud saya, coba tengok juga beberapa penulis yang belum kita kenal. Karena gaya dan cara tiap orang mengekspresikan diri bisa jadi beda. Meski menyangkut subyek yang sama. Kini, saya mencoba dalam memerah otak untuk menulis, ya menggunakan cita dan cara saya. Karena saya merasa bisa menemukan sebuah kedifferenan diri saya. 

Dan saya hanya melakukan itu sebisa dan semampunya. Memunculkan pesaing juga boleh. Membakar semangat untuk menggungguli yang lain demi kebaikan. Saya paling benci terhadap orang yang selalu bisanya menjadi bayang-bayang. Tidak mau mandiri. Berkiblat boleh-boleh saja, namun jika berlebihan hingga harus menjadikan seolah dibawah bayang-bayang berketerusan, sungguh membuat saya muntab. Lha wong setiap orang punya pikiran sendiri kok bersembunyi di bawah bayang-bayang. Kalau dalam sebuah Warcraft, segeralah dirikan altar. Perkuat pasukan. Perang lalu menang. Pilihannya dua, pulang atau menang!! 

Seandainya Kawan Saya Jadi Penulis Hebat

0 komen

Bukan maksud saya mengatai bahwa kawan saya bukanlah penulis yang hebat. Saya yakin kawan-kawan saya penulis hebat. Tapi buat saya hanya ada seorang kawan yang benar-benar hebat. Tulisannya seringkali menghiasi koran maupun portal berkelas nasional. Bukankah itu sebuah prestasi yang patut diacungi jempol.

Karena tak banyak orang bisa seperti itu. Saya saja tak bisa berbuat banyak. Bahkan belum pernah sekalipun tulisan saya dimuat di media-media umum. Meski getol saya mencoba, tapi masih saja belum bisa tembus. Ini bukan perkara nasib. Tapi murni kepiawaian dalam merangkai sebuah tulisan.

Saya ingat betul, ketika tiap kali baca tulisannya. Gayanya yang ngepop. Ringan usil sekaligus selengekan. Itu yang bikin decak kagum saya selalu terlontar. Terlebih, isi tulisannya yang nyentring. Sebenarnya berat. Tapi dengan kelihaiannya, diolah seringan bulu angsa mengapung di permukaan air. Sungguh kecerdikan yang langka.

Bukan hanya itu. Sifat kerendahan hatinya yang tak suka aneh-aneh senantiasa membuat siapapun yang bersamanya nyaman. Dia tak suka memaksakan kehendak. Dia selalu mencari jalan tengah. Penuh kesahajaan perantauannya sebagai pelajar dijalani seperti anak kebanyakan. Padahal latarbelakan keluarganya bukan orang sembarangan.

Malahan, pernah suatu malam harus ngutang di cak Ndan. Karena betul-betul kehabisan uang. Setelah pesan Indomi goreng, kopi, dan beberapa lencer rokok utilan. Ternyata sisa-sisa uang di kantong tak cukup banyak hingga bisa membayar setengahnya saja. Sebuah lakon hidup benar-benar khas anak perantauan.

Saya ingin sekali bisa seperti dia. Meski takaran sebelas-lima belas. Bagi saya itu sudah jauh dari cukup. Tapi rasa-rasanya jauh pula dari mungkin. Mungkin karena otak saya yang selalu saja tak terlalu pandai. Juga hati saya yang tak seteduh hatinya. Sehingga tindakan saya cenderung konyol. Bikin orang di sekeliling saya mangkir kalau ketemu.

Panjang waktu saya habiskan bersamanya. Acapkali saya tak harus pulang. Berbagi kamar yang tak luas-luas amat dengan dia. Tapi ya gitu, kalau lagi berbincang isinya selalu tak pernah jelas. Ngetan-ngulon tak ada jluntrunge. Sembari ditemani ubi rebus yang masih hangat. Ubi yang kami beli di pasar Tanjung.

Pokoknya, dia seorang penulis hebat yang pernah menjadi kawan saya. Saya yang selalu kehabisan uang. Dan kalau kepaksa harus ngutang. Ke siapa lagi kalau bukan pada dia. Meski tak tampan-tampan amat, dia memang hebat. Buktinya seorang perempuan asal Balung berhasil dia kait hatinya. Lagi-lagi ini karena kehebatan yang dia miliki.

Beberapa kali juga dia diminta untuk menjadi pembicara dalam sebuah pelatihan menulis. Dengan gayanya yang sederhana dan selalu rendah hati, dia tak pernah menolak. Dan meski mengenakan pakaian seadanya, dia datang tepat waktu. Lalu menyampaikan seisi kepala lengkap dengan seluruh keahliannya. Tanpa ada yang disembunyikan. Ilmunya dengan mudah dibagi-bagikan.

Tragisnya, jalan tak semudah kelihatannya. Arah tujuan hidup berkata lain. Kini dia lebih menggeluti usaha lain. Di luar keahliannya untuk mengolah kata. Dia mendalami ilmu ayam. Sebagai sampingan usahanya sebagai saudagar muda. Mungkin petualangan sebagai penulis memang tak cepat bikin kaya. Atau karena alasan lain, saya tak tahu betul.

Saya tetap salut dengan jalan hidupnya. Tapi apa salahnya kalau-kalau keulungannya mengolah kata diwariskan ke saya terlebih dahulu. Saya akan berbesar hati menerimanya. Tapi kan itu tak semudah memindai tali toga. Kalau dibahasakan lugasnya tak mungkin. Alias imposibel.

Semoga saja perjalannan hidup kawan saya yang seorang Dono tak pernah putus di perjalannan. Tetap mengalir menuju luas samudra. Dan, selalu sisihkan sedikit waktu untuk sekedar melempar kail jauh-jauh ke tengah laut.

Kino dan Moon Light

0 komen

Sejak kecil saya tinggal di desa. Karena saya tulen orang desa. Nah, di desa tak banyak referensi yang menawarkan opsi makanan yang aneh-aneh. Yang ada ya itu yang dimakan. Salah satunya buah. Mari bicara buah. Buah jeruk dan apel saja. Yang  sebenarnya pohonnya tak banyak tumbuh di desa saya. Tapi tak apalah.  

Mungkin ini pengalaman terburuk saya. Seumur-umur baru kali ini saya makan jeruk rasa khas peceren. Namanya jeruk Kino Pakistan. Kalau diamati dari tampilan, jelaslah tak diragukan. Warna oranye cerah membulat rata. Pasti bikin kepincut. Aromanya semriwing bikin lidah kemecer. Sedap betul. Tapi naasnya, pada rasa. Ya, rasa yang beribu aneh.

Apa benar lidah saya yang lagi kesleo. Kok tiba-tiba rasanya membawa suasana peceran yang pernah tak sengaja keminum. Dulu sekali sewaktu saya kecil. Benar-benar tak terteka di muka lidah saya. Saya tidak sedang mengigau. Setelah selining rasanya rusak, saya coba lagi liningan lain. Eh rupanya tak ada beda. Bukan salah lidah saya berarti.

Sebelumnya saya sempat menaruh curiga. Gak biasanya jeruk ditaruh di meja bisa bertahan selama itu. 
Kalau-kalau kondisinya normal, pasti sudah ludes. Kayak jeruk mini itu. Jeruk ukuran sebola bekel warna oranye rasa mantap.

Dan lagi cerita tentang apel kudisan. Apel lokal murahan dengan bercak-bercak hitam. Selalu, buah sejenis ini tak akan kesentuh. Apalagi di rumah ini. Memang saya akui kalau Moon Light China rasanya sedikit lebih nonjok. Meski hanya sebelas-dua belas sih. Tapi dari segi tampilan, lima-dua puluh. Tampilannya oke banget.

Nah ini dia. Kan saya hanya numpang hidup di rumah saudara perempuan saya. Saya tak pernah beli buah. Karena saya tak banyak punya duit. Hanya ikut menikmati saja. Saya dapat sebuah praduga baru. Mungkin saudara saya itu kalau beli buah dilihat dari tampilannya saja. Menyoal rasa, nanti kalau sudah di rumah baru tau rasa. Alias kapok. Karena rasanya tak semanis kelihatannya.

Galau Secukupnya

0 komen

Mulanya saya iseng alih-alih usil. Membuka-buka kronologi di sebuah facebook orang. Dari sana saya mendapati sebuah tautan tulisan dengan judul Senyum Secukupnya. Ini menginspirasi saya buat menconteknya. Karena saya beranggapan judul seperti itu cukup unik dan menarik. 

Bukannya saya tukang contek. Meniru itu baik untuk sebuah kebaikan. Bukannya begitu? Apa lagi ini bisa sedikit memblokir laju galau yang sedang mendera saya. Semoga si empunya tautan dapat balasan yang pas. Ada yang bilang atm atau tiga n untuk menjadi ulung.

A adalah amati. T tiru. Dan M maksudnya modivikasi. Ini jurus lawas. Atau tiga n. N pertama niteni. Lalu nirokke. Dan selanjutnya Ngembangke. Bukannya saya bermaksud menggurui. Hanya membagi sedikit yang pernah saya baca. Kali aja Anda belum membaca. Kalau sudah ya untuk sekedar mengingatkan saja. tak ada ruginya. Apalagi kalau sedang dilanda galau tiada ujung. Laik saya. Mungkin akan berfaedah.

Saya yang galau adalah saya yang lupa cara untuk bersenang-senang. Selalu disibukkan dengan rutinitas itu melulu. Atau malah tak ada kesibukan sama sekali alias nganggur.(dot)com. Ini yang membikin saya pening tanpa musebab yang pasti. Tapi efeknya begitu nyata. Saya dibuat tak berdaya untuk melakukan apa-apa. Mengharubiru tragis. Tapi tak separah itu melulu juga.

Nyatanya kini saya bisa membagi pengalaman yang menimpa saya. Mungkin saja tak pelak muspro buat Anda di lain kesempatan. Aih, bukannya saya menghendaki Anda untuk menjadi galau. Hanya saja untuk sedia payung sebelum hujan. Kali aja bola liar kegalauan dioper ke Anda.

Jangan anggap saya orang yang amat parau. Karena banyak cetus ini itu. Tak ada tendeng aling-aling apa-apa. Kan ini semata niatan tulus saya untuk berbagi. Itu saja. tidak kurang dan tak lebih. Kalau kurang mohon dijangkepi. Kalau lebih, boleh Anda ambil.

Bayangkan saja. Saya yang berambut agak banyak. Bahkan tumbuh menjuntai hingga dagu. Dan beberapa seperti disemai di janggut. Lalu mukanya kusut-ringsek. Mungkin Anda akan takut untuk sekedar menyapa. Nah, siapa yang mau mengalami kegalauan sedemikian itu. Tak ada yang mau tentu.

Sudah dulu saya basa-basi ini-itunya. Nanti bisa-bisa saya kelewat galau. Apa jadinya? Sekarang giliran Anda untuk berbasa-basi.Tapi ingat. Basa-basi secukupnya.

Pondokatakata

0 komen

Kalau ada, saya ingin singgah di sebuah pondok kata-kata. Sebuah pondok yang di dalamnya menyediakan jutaan kata-kata yang belum pernah saya ketahui. Lalu saya akan datang dengan menyisihkan ruang kosong dalam kepala untuk menyimpan semampunya kata-kata itu. Lalu akan saya gunakan dalam setiap tulisan-tulisan yang saya buat. 

Bukankah itu tidak berlebihan. Dan bahkan sangat sederhana untuk dilakukan. Namun hingga saat ini belum pernah saya menjumpai pondok itu. Bagaimana wujudnya. Bagaimana rupa-warnanya, di mana tempatnya, masih saya cari.

Dan sepertinya itu tidak akan pernah ketemu. Atau mungkin saya belum mengenali apa sebenarnya pondok kata-kata itu. Padahal pondok kata-kata sudah ada di suatu tempat yang bagi saya jauh dan tersembunyi.
Namun sesungguhnya sangat teramat dekat. Atau pondok kata-kata itu hanya bualan saya karena malas. Malas mencari cara lain untuk memperbanyak koleksi kata-kata yang sebenarnya telah ada dalam kamus. Lalu saya memimpikan ada sebuah pondok kata-kata yang menyediakan berjuta kata. 

Yang dengan harapan besar dan serba keajaiban, ketika saya masuk, maka saya akan langsung bisa mengingat semua kata-kata yang ada. Lalu saya menjadi semacam ahli kata-kata. Setiap kata yang terucap, saya bisa memahami maknanya.

Sungguh, barangkali saya sedang mimpi di siang bolong. Tapi memang tidak bisa saya pungkiri, terkadang pikiran ini mengandaikan sesuatu yang jauh. Jauh dari jangkauan. Mungkin alasannya karena ketidakmampuan atau ketidakmauan. Sungguh, keduanya bagaikan hantu yang terus membuntuti setiap kali saya mencoba menekan keyboard.

Dan ternyata permasalahan saya dari sejak dulu tidak pernah beranjak dari ini semua. Padahal, semua telah jauh melejit. Melampaui segala keterbatasannya. Entahlah, saya tidak memedulikan hal itu. Biarkan saja mereka meluncur seperti roket. Karena, baru kemarin saya sadar. Menulis itu penting.

Tapi ternyata tidak semua isi di bumi ini dihiasi dengan tulisan. Terkadang juga butuh gambar, butuh suara, dan rasa. Saya ingin mencoba membuka pada hal baru (bagi saya) itu. Ternyata tidak semua bisa dituangkan dalam tulisan.

Saya sadar betul ketika saya menjelaskan tentang rasa apel. Saya menuliskannya pada sebuah pesan singkat. Tapi nampaknya, tulisan itu tidak bisa mewakili rasa apel, seperti saat seseorang benar-benar mengecap apel. Begitu pula saat saya menuliskan tentang sesosok perempuan ideal. Ternyata masih kurang lengkap tanpa melihat bentuk secara langsung.

Lalu ketika saya tulis suara di pabrik itu bising, memekakan telinga, belum tentu orang yang membaca tulisan saya telinganya terpekakan. Ya, masih banyak lagi. Intinya, menulis itu penting. Ada yang bilang,”Bila umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan.” Lalu sekarang ingin sekali saya bilang,”tulisan itu sambunglah lagi dengan gambar, suara, dan rasa.”  

Saya yang gak sukses-sukses

0 komen
Anehnya, dalam setiap tulisan saya selalu berisi curhat tentang yang saya alami. Dan naasnya, itu sama sekali tidak penting buat kebanyakan orang. Sebenarnya ini kan catatan pribadi saya. Yang sengaja saya isengkan biar bisa sedikit menyumbang kelucuan. Tapi kalau dirasa mekso ya wajarlah.

Lagi-lagi saya harus kesal. Dan marah diri. Bayangkan saja, selama enam tahunan saya belajar nulis. Dan itu sungguh waktu yang lumayan panjang. Sama halnya saya sekolah esde lagi. Dan buruknya, ya kaya gini ini hasil tulisannya. Tidak ada yang menarik buat dibaca. Tidak mendidik samasekali. Mungkin karena saya sering kurang serius. Kebanyakan mainnya.

Nah, kalau sudah gini, apa yang bisa saya banggakan. Apa waktu saya masih kurang panjang. Karena setiap saya menemui bacaan yang menyuguhkan kisah sukses seseorang, mesti butuh waktu bertahun-tahun. Malahan ada yang lima puluh tahun. Seperti kisah sukses penyanyi rock asal inggris, Roderick David Stewart. Yang malang melintang di belantika musik hampir limapuluh tahun.

Kalau dibanding dia sih saya masih jauh dari bau kencur. Dan lagi salah satu penjaja kuliner rawon nguling, yang konon duapuluh tahun dihabiskan untuk berkutat meramu resep jitu. Memang, saya mengakui, tidak ada jalan pintas atau potong kompas menjadi sukses. Dan kebanyakan dari kita sam-sama tahu hal itu.

Hanya saja, kenapa saya tak bisa sejenius enstein. Kalau tidak salah dengar, ceritanya dia itu nakal bin meler. Nah, saya sudah dapat nakalnya, tapi jeniusnya kok hilang. Apa mungkin sudah dipatok ayam. Gara-gara saya bangunnya selalu kesiangan. Bisa jadi.

Makanya itu, saya suka makan ayam. Kepala, otaknya yang paling saya suka. Ya mungkin saja ketika ayam itu sudah mematok banyak rejeki dan kejeniusan orang. Lalu bisa nyangkut ke saya setelah saya cerna. Tapi begitu banyak orang piara ayam. Sedang rejekinya kok gak ludes ya dipatoki ayamnya. Apa si orang itu tak pernah bangun kesiangan. Atau malahan tak pernah tidur. Ya biar sajalah. Namanya juga rejeki orang beda-beda.

Dangdut minggu-minggu

0 komen
Minggu sore, sekira jam tigaan. Saya melesat ke alun-alun kota. Bukan lantaran hendak lari-lari seperti biasanya. Atau menjajakan asongan. Kan pekael sudah dilarang beredar. Tapi hanya sedikit jalan-jalan membuang sampah. Sampah kotor dalam kepala. Biar bisa lagi diisi macam-macam.

Yah, tebak apa yang saya jumpai. Orang-orang main bola, benar. Para sketboarter, tentu. Penjaja kaki lima, juga ada. Ini yang hot, para gadis bercelana super ketat jogging, juga benar. Ini ni, kalau katanya Ape (singkaan nama) harga susu naik turun. Apa lagi ya, pokoknya ya gitu deh. Sebuah keramaian di sore hari yang cerah. Hahaha.

Tapi rupanya ada yang tak biasa. Tak serupa hari biasanya, ternyata sedang ada event. Saya tidak menyimak betul event utamanya. Yang jelas motor offroad memenuhi sepanjang jalan depan kantor bupati. Sebagian lagi ada yang dijalannan melintas. Dan beberapa diparkir di atas mobil pickup. Sepintas saya lihat, sepertinya ada yang dari kota luar. Saya tahu, dari plat nomornya.

Sebuah event yang lumayan gede nampaknya. Nah, disela-sela rehat setelah kegiatan, ada semacam konser. Ya bertempat di alun-alun itu. Kalo saya hemat dari beberapa lagu yang dinyanyikan, jelas lah dangdut. Dengan cirinya yang khas, pakaian artis yang seksi dengan goyangan yang meliuk-liuk. Diramaikan dengan beberapa biker yang naik panggung joget bareng.

Mulanya saya suka musik dangdut. Tapi kalau sudah kaya gini, rasanya tak karuan. Ngelihat saja ngrasa geli-geli gimana gitu. Apa lagi goyang yang maliuk-liuk itu. Meminjam istilah ge em, saru katanya. Wah-wah benar-benar.

Benar-benar asik buat mereka, dan agak saru buat saya. Kalau saja saya jadi mereka dan mereka jadi saya, enak kali ya. Tapi tak apalah, sedikit-dikit saya curi-curi pandang. Menikmati liukan pantat si penyanyi. Dengan span yang panjangnya tak lebih sejengkal saya. Hu, mak syur. Ah, kenapa saya jadi terlalu jujur ya. Kan harusnya tak usah saya katakana. Biar saya simpan saja dalam hati.

Memang dasarnya saya suka jujur. Malahan terlalu kejujuren. Kalau ngomong sering menyinggung orang. Padahal yang saya katakana itu jujur. Kalau di iklannya sebuah produk rokok yang tentakelnya telah menghiasi alun-alun, yang lain bersandiwara-gue apa adanya. Bagus juga. Kreatif.

Yang khas, saya

0 komen
Memang sulit diakui. Bahwa setiap orang lahir dengan kepiawaian dan ketololan masing-masing. Mungkin diksi ketololan yang membikin sulit diakui. Ini yang selalu membuat saya takjub tak henti-hentinya. Ketika saya membaca buah pena dari beberapa orang. Saya merasa ada kekhasan dari setiap pengarsiteknya. Dan itu serasa begitu unik. Sulit untuk dijiplak. Sungguh menawan.

Dan ini pula yang menampar pikiran saya dengan kerasnya. Saat saya mengidolakan seseorang dan ingin menyerupainya. Sungguhpun itu mustahil. Kalau-kalau kesampaian, hanya sebongkah kebetulan semata. Dan tak tahan lama. Maka, mending tetap saja. menjadi saya yang apa adanya. Meski adanya hanya kecerobohan dan ketololan sana-sini. Tapi inilah gue. Yang bikin beda dengan yang lain.

Ini juga. Coba cermati tulisan-tulisan saya. Pasti isinya tak karuan. Itu melukiskan kepribadian saya yang semrawut. Dipenuh-sesaki dengan fantasi-fantasi yang kelewat wajar. Yang kadang bikin orang jengkel dan mecucu.

Kalau saya ijinkan, mungkin mereka segera menendang keras-keras bokong saya. Sampai saya berteriak ampus bon. Saya tidak akan bertingkah lagi.

Tapi saya tetaplah saya. Saya jadi ketawa geli sendiri. Ketika mendapati cerita dari kawan yang pernah baca tulisan saya yang lain. Apa saya gak malu, naruh tulisan-tulisan kaya gini di muka umum. Gitu intinya. Ya, saya jadi cekikikan.

Saya malunya kalu naruh tulisan ini di muka saya. Karena orang jadi tahu betul macam apa orang yang bikin tulisan aneh bin ngawur ini. Bisa-bisa saya langsung kena serangan tanpa alasan. Ceplak-ceplok dari berbagai arah. Ogah ah.

Lalu saya mawas diri. Apa yang salah dengan yang saya lakukan. Saya nulis apa yang saya tahu dan rasakan. Dan itu juga sudah umum diketahui orang. Apa yang aneh. Begitu kata dalam hati saya.

Memang, saya tidak piawai untuk membuat sesuatu mahakarya seperti Ghandi. Jangankan Ghandi, Gani yang tetangga rumah saja, saya tak bisa tiru. Bagaimana mau niru, kalau bisanya nangis njempling-njempling seperti hidup di hutan. Jelas gak mau saya.

Iya, inilah saya. Yang nulisnya asal nulis. Mau jadi penulis bayaran, ya gak ada yang ngebayarin. Mau jadi pejuang lewat tulisan, saya sendiri lagi belepotan nulisnya. Mau jadi penulis kesohor, masih banyak tu penulis kesohornya. Belum pada mati. Mau nulis buku, saya aja malas baca buku. Apa lagi orang lain suruh baca buku saya. Ya pokoknya seperti ini nih. Khas dengan berjuta kegoblokan dan banyak bersyukur.

blog dunia AXIS

0 komen

Beraninya sebatas di jalan, kasihan

0 komen
http://duniaaxis.co.id
Saya hendak menuliskan kisah tentang HP. Ini betul-betul nyata tentang hubungan baik yang terjalin erat antara saya dan HP. Mulanya begini. Entah karena terbawa pengaruh teman atau juga iklan yang bahasanya benar-benar merajuk-merayu, saya menjadi terobsesi untuk memiliki sebuah HP.

Rasa yang sungguh mengelitik-mengusik itu memaksa saya untuk mengumpulkan beberapa lembaran uang. Bukan dari maling ataupun nyopet. Melainkan dari sedikit ketekunan dan kepandaian saya yang tidak akan saya ceritakan kali ini. Anggap saja saya mendadak sudah mengantongi beberapa lembar uang. Nah, setelah itu ada lagi permasalahan kasik. Ini tentang apriori orang tua terhadap anaknya. 

Perihal kepemilikan HP yang diduga akan menurunkan prestasi di sekolah. Terang saja saat itu saya menapak kelas tiga esema. Komentar, makian, dan sebangsanya akibat apriori ortu yang tulen orang desa, begitu deras menghujani. Masuk telinga kiri. Masuk lagi telinga kanan. Dan keluar entah lewat mana lagi. 

Huuuh, itu benar kisah nyata kawan. Dan saya berani mempertaruhkan setengah uang jajan saya, bahwa kejadian itu kini sudah dianggap legenda yang tidak mungkin terulang. Laiknya kisah tentang Angling Dharma atau juga Gajah Mada. Tidak ada lagi jaman ketika seorang ingin HP, dicerca marah. Malahan setahu saya, betapa manja anak sekarang yang seusia saya ketika itu. 

Kunfayakun, orang tua nurut. Entah japa mantra apa yang dikomat-kamitkan para anak jaman sekarang. Sekali minta, bolehlah. Saya ingat betul, bahwa seyakin sumpah serapah uang yang saya anggarkan itu sungguh halal dan secara defacto milik saya. Hasil usaha jerih payah yang tidak seberapa anakan kelas tiga esema. 

Sudah uang milik sendiri, masih tidak boleh lagi. Padahal saya sudah sakau akibat iming-iming dan hasrat yang tidak jelas ujungnya dari iklan yang menggelontor dari pusparagam cara dan media. Tanpa banyak basi-basa, ya saya belikan HP. Lha wong saya itu orangnya serba otomatis. Tanpa disuruh, ya beli. Tapi ini jugalah sifat ajaib saya. Salah seorang asli golkar. Golongan karepe dewe. Ketika hal itu sudah menjadi karep, maka betapa keras batu menghadang, saya suruh orang memindahkan. Membuang jika perlu. 

Itu baru selintas kisah yang tak detail dan seperti bajing yang hobi meloncat dari dedahanan. Sejak permulaan saya menaruh hati pada sang HP. Ending-nya, sebuah HP—meski tidaklah tersegel—berpindah tangan secara tidak tertulis pada genggaman. Ah, lega betul mulanya. Kegirangan serasa memancar dari setiap helai rambut saya yang tidak lurus. Lalu, seiring hadirnya si HP, seolah aura yang dibawanya—si HP—mampu membungkam cercaan yang hilir mudik di telinga. Selanjutnya, telinga saya banyak dimanjakan oleh ringtone polyphonik dari si HP. So sweet...

Ah, lagi-lagi adegan itu menjadi usang benar. Ketika saya yang sekarang sudah memiliki sebuah HP touchscreen berfitur internet  dan sekira empat HP lainya. Bukan saya bermaksud jumawa. Tapi memang itu nyata. Entah harus disebut megaya atau megoblok, hanya yang mau iseng yang berhak melempar komentar. Nah saya tanya, bagaimana dengan kisah sejarah Anda?
****
Ada yang punya cukup waktu untuk dibung-buang? Mari ikuti saya. Kita pergi bersama. Lalu nongkrong di kantin. Jangan jauh-jauh. Cukup kantin di sekitaran kampus saja. Alasannya. Kan harga kopi akrab nyangkruk hanya duaribu perak. Selain itu pasti ada lagi. Apa ya? Karena elok pakaian para perempuan di sini. Begitu tertampil dengan asoypakdhe. Terlalu sayang untuk dilewatkan.

Bisa-bisa malah putus asa. Sudah dirias dengan mentok sana-sini, pakai bedak gincu eyeshadow eh gak ada yang ngelirik. Kan kasihan. Sia-sia deh usahanya untuk menggapai sebuah kepuasan atas jerih payah yang tak murah. Meski kadang dipandangnya malah murahan. Maaf, bukan maksud saya apa-apa. Hanya saya bicara blak-blakan.

Ya, begitulah adanya. Ini baru di kantin. Belum lagi kalau nongkrongnya di warung-warung pinggiran jalan. Wah, rasanya mata benar-benar dimanjakan dengan pemandangan yang asoy geboy. Buat saya sih, yang sedikit tengik dan penggurau.

Bagaimana tidak. Berseliweran gadis anak orang dengan sepan yang panjangnya tak lebih sejengkal. Juga kaos oblong ala yunomisoel hingga sengaja menunjukkan belahan dadanya. Wah-wah, betapa menawan mereka menata rias penampilannya. Bukan maksud saya bicara yang porno. Lagi-lagi saya hanya bicara apa adanya.

Tidak sampai di sini saja. Otak saya tak rela kalau hanya mata yang dapat kesempatan bersenang-senang. Pikiran saya juga ikut iseng. Bukankah kata orang, dari mata turun kehati. Tidak buat saya. Dari mata naik ke otak. Lalu jatuh kemulut. Weh..weh..weh…

 Apa semempesona itu mereka menata pikirannya. Otaknya maksud saya. Apa sudah seimbang dengan penampilan yang juara. Betapa sempurna, penampilan ngejreng, prestasi mentereng.

Perempuan di kampus saya. Otaknya seencer merias tubuhnya. Ini harusnya judul tulisan ini. Tapi benarkah? Gak papalah, yang penting eksistensi nomer satu. Yang tampak kan penampilan luar. Biar mata membawanya kehati. Urusan otak nomer tujuh belas. Begitukah?

Atau saya sanksi. Bahwa hanya penampilan saja yang tampak ngejreng. Sedang logikanya samasekali kethol. Alamak. Ini hanya pikiran saya yang semata-mata saya sebagai lelaki kurang pandai saja. Kurang pandai untuk berpikir yang baik-baik. Semoga saja ini hanya ada dalam pikiran saya. Dan katakan kepada saya bahwa yang ada dihadapan saya itu semta adalah kebohongan besar.

Ya itu terserah saja. Kalau saya, meski gak ganteng-ganteng amat, yang penting otak harus smart. Kalau mau eksis, rawat tu otak biar tak disarangi lebel-lebel dari butik atau mall-mall. Biar selalu fresh untuk menghadapi segala macam keadaan.

Belum lagi para klub motor. Yang sering memutar gasnya penuh. Hingga knalpot menjerit segilanya. Bikin teingan kesumbat rasanya. Mungkin dengan itu mereka merasa mendunia. Menyedot perhatian banyak orang. Menyuguhkan panorama eksotik.

Aih, ndeso amat sih. Kata dalam hati saya. Bukan maksud menyela atau membodohi. Ini jaman sudah segini. Ada yang memfilmkan tahunnya kiamat. Ada semacam ramalan yang senada. Tapi saya tak mudah percaya.

Yang ada dalam benak saya simpel. Kalau benar-benar mereka tak hanya ingin dilihat segelintir orang, ya cari jalan lain. Untuk semakin menambah daya dobrak biar dikenal kalangan seisi jagad. Kan banyak media. Utamanya dengal semakin membuminya internet. Kembangkan kreatifitasnya.

Dan buat teman-teman saya. Kalau mau curi-curi perhatian, kan sudah gak jamannya hanya dipinggiran jalan. Atau di petakan ruang kampus. Dunia cyber sudah gamblang dibuka. Sudah jamannya berselancar memikat perhatian dunia lewat jembatan internet.

Sayang, ajang unjuk gigi hanya tercecer di sepanjang jalan. Yang tak berumur panjang. Siap menguap disapu panas. Kintir terbawa aliran air hujan. Bayangkan, kalau itu bisa dibawa ke dalam luas samudra cyber. Bukankah akan lebih mendunia. Tak lagi seperti katak dalam tempurung.

Ini hanya isi lamunan saya. Ketika tak kunjung muncul sebuah inspirasi untuk membuat tulisan. Seperti kebiasaan, iseng saya yang muncul. Yah, tapi entahlah. Sedap dipandang. Nikmat diimajikan. Dan ujungnya, diceritakan dalam tulisan.

Untung yang saya buat hanya semak-semak aksara yang rimbun. Bukan sebatang rudal yang lengkap dengan racun bio kimiannya. Saya sih pinginnya juga buat rudal. Tapi saya modif sedemikian rupa hingga efek racunya bisa bikin ketawa.

Tapi apalah daya, saya hanya tamatan S1 yang belum tamat-tamat. Jurusan ya hanya jurusan biasa, umum. Bukan spesifik pernukliran. Bagai pungguk merindukan bulan untuk bisa buat kalau gini. Sudahlah. Bikin ini aja, tulisan. Ada pepatah lama bilang: Kalau umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan, bukan dengan rudal. Hahaha….

Dan ini salah satu cara saya untuk memanjangkan umur.

Bisa saja

0 komen
Bukan maksud saya tidak suka pada sikap perempuan yang aneh. Tapi memang begitu adanya. Kemarin saya menulis gini di status facebook. Saya nggak ngeh dengan kemauan perempuan, masa beli tas mahal-mahal, padahal isinya cuma plastik bekas dan sobekan kertas yang digumpal-gumpal. Hwadowww...

Saya heran bukan kepalang. Lama gitu saya menunggu. Mengantarkan seseorang perempuan. Memilah tas di Elizabeth. Hingga akhirnya saya melakukan beberapa kekonyolan. Iseng-iseng mencobai topi yang sedianya dijual untuk perempuan. Saya cuek abis dilirik sama embak-embak yang kerjanya disana.

Malah, mereka saya lempar dengan senyum manis beberapa kali. Dan saya yakin itu membuatnya sedikit sulit tidur malamnya. Hingga akhirnya saya menemukan sebuah potongan sofa teronggok dipojok bawah tangga. Nah, di situlah saya mbedingkrang melepas pantat merebah. Empuk juga.

Lagi-lagi saya ditanyai, ini sama ini bagus mana? Wah, kayaknya ni orang ngajak berantem di tampat orang jualan. Sudah tau saya ini masih nggak ngeh sama selera mereka, eh masih dimintai pendapat. Ya pastinya kalo diajak carok langsung saya iyakan. Tapi janganlah. Masa kelahi sama perempuan. Kan gak nikmat.

Lalu ada lagi. Ketika saya membuang-buang waktu di dalam kotak sampah yang dinamai televisi. Saya juga anyel melihatnya. Seorang perempuan meloncat dari libomnya. Berlarian di atas mobil orang yang kena macet. Dan dia pake rok yang tak begitu panjang. Cantik pula orangnya. Apa yang terjadi jika dia menginjak mobil Anda?

Untung ini hanya iklan. Sebuah eskrim yang siap meleleh. Namun harganya nggepuk’i. Buat saya sih. Yang ada di pikiran saya, kok bisa ya. Perempuan cantik lari di atas mobil. Apa lagi pakai rok yang panjangnya tak lebih dari sepertiga pahanya. Kenapa tidak lewat trotoar aja. Kata orang kan lebih sopan. Lha wong juga tak ada pekael jualan. Takutnya dia jatuh. Atau…hehe (pikiran kita sama)

Sudahlah. Biarkan perempuan berpolah sesukanya. Gak biasanya saya ngurus tetekbengek perempuan. Tapi kok aneh gitu kalau tak terurus. Oia, bentar lagi tanggal 14. Pebruari lagi. Pasti banyak tingkah yang aneh-aneh lagi.

Saya jadi ingat semasa esema. Saat saya mesih sedikit lugu. Ya gitu deh. Meski jelek-jelek gini saya pernah juga suka perempuan. Dan, bisa pula berbuat sedikit beradab pada perempuan. Biar saya ceritakan saja.

Kejadiannya sama. Maksud saya waktunya. Tanggal-tanggal segini di bulan pebruari. Si perempuan ini sudah menggebu-gebu harus dibalikan coklat. Buat tanggal 14 nanti sih. Apesnya, jangankan beli coklat, uang jajan saja tak pernah saya punya. Harga coklat kala itu setera uang saku saya seminggu. Betapa miskin saya.

Akhirnya dengan muka setebal dinding, saya tak belikan. Biarin. Meski rai gedek ndas teng. Saya cuek bebek. Tapi tidak hanya sampai di situ. Pikiran saya selangkah lebih maju darinya. Setahu saya, bulan berikutnya dia berulang tahun. Nah ini saya harus mempersiapkan segalanya mati-matian. Sesekali berbuat yang benar.  

Setibanya di hari h, saya masih belum terentaskan dari kemiskinan. Gaya hidup elit masih saja melekati saya. Ekonomi sulit. Uang yang saya sisihkan masih jauh dari cukup untuk membeli hadiah yang saya anggap pantas. Kalau sudah kepepet, ati karep bondo cupet, jalan pasti kebuka. Walhasil uang spp kena tilep. Jadilah sebuah kado istimewa yang tak terduga. Romantis bukan? Tapi si dia tetap tak boleh tahu kalau ini duit panas. Yang penting heppy.

Nah, ulah apa yang sekiranya Anda bikin tiga hari kedepan. Bikinlah ulah yang unik. Biar nanti bisa menambah file catatan saya. Dan sedikit memberikan cerita konyol. Terutama Anda yang berperempuan tapi tak berduit. Laik saya.

Ayo menulis

0 komen

Aku mencoba membakar semangatku lagi untuk menulis. Tanpa mempedulikan seperti apa nanti hasilnya. Yang pasti satu inginku, ada sebuah tulisan yang bisa dibaca. Kegalauan pikiran bukan saatnya lagi menguasai tubuh ini. Apa jadinya kalau setiap penulis mogok menulis karena pikirannya sedang tidak enak. Akan kebingungan seorang yang kesehariannya dugunakan untuk membaca, jika tidak ada yang menulis lagi.
Perutku terasa perih. Terakhir aku makan kemarin siang. Itu pun numpang di rumah seorang teman. Hari ini memasuki tanggal tiga puluhan, uang sakuku telah ludes sejak beberapa hari yang lalu. Agaknya gak nyambung ya,hehe.
Memang tidak dapat dipungkiri, jika ingin menulis bagus itu sulit. Tapi tidak pernah menulis dan mengharap sesekali menulis hasilnya akan bagus itu mustahil. Dari sekian banyak penulis-penulis yang sempat aku kenal, semua berkata, ”hanya satu jika ingin menjadi penulis yang baik, menulislah terus!” Begitulah kurang lebih.
Suatu ketika ada yang bilang tulisanku ini jelek. Dan bahkan hingga sekarang masih tetap saja jelek. Tapi tidak kupungkiri itu. Bagiku itu tidak penting. Karena jika mengkungkungkan pikiran pada hal itu, tidak jadi nulis lak an aku. Bagiku sesuatu yang penting justru terletak pada prosesnya, bukan sekadar tulisan ini.
Bagi yang belum pernah menulis seperti ini, aku yakin tidak akan pernah mengalami apa yang aku rasakan. Pikiran ini serba takut kalau dihadapkan dengan kewajiban menghasilkan tulisan yang bagus. Rasa takut kalau-kalau tulisan ini tidak runtut. Kalau kata-kata yang aku gunakan jelek. Kalau bahasanya tidak baik dan kaku. Dan masih banyak kalau-kalau yang lain.
Saat itu begitu mendebarkan. Jantung berdetak-detak seperti biasa, lebaih dech. Kegeraman begitu membuncah. Rasanya ingin tumpah bersamaan. Ya, seperti yang aku bilang tadi, bagi yang tidak pernah menulis, tentu tidak merasakan apa yang aku rasakan.
Kadang ada yang menganggap tulisan-tulisanku ini bagus. Mampu menginspirasi. Ah bagiku itu berlebihan. Siapa saja yang menemui tulisanku ini akan menganggapnya biasa-biasa saja. Bahkan bisa saja dimasukkan dalam kategori jelek.
Kalau kataku yang bisa mengispirasi bukan semata-mata tulisanku yang jelek ini. Tapi saat aku menceritakan bagaimana tulisan ini dibuat. Karena di situ, ada banyak pertautan dan pertentangan yang aku alami. Juga tidak jauh beda seperti yang mereka alami saat menulis.
Tapi kini bagiku menulis menjadi bagian yang menarik. Apa-apa yang ada dalam pikiranku bisa aku tuangkan melalui tulisan. Jadi tidak terus-menerus muter-muter di dalam tempurung kepala. Yang akhirnya menambah sesak pikiran. Bukankah itu hal yang biasa.
Sebelumnya, aku paling tidak suka ada istilah atau kata hal pada setiap tulisan. Minimal aku selalu mencobanya mengganti dengan obyek yang jelas. Aku ingat kembali sedikit pelajaran bahasa indonesia saat kelas tiga esempe.
Saat itu guruku mengajarkan untuk tidak membiasakan menggunakan kata ganti itu untuk menunjuk obyek. Kalau-kalau ada yang mengerjakan tugas masih sering menggunakan kata itu, langsung tanpa kompromi dikasih tanda silang. Dan ditarik tanda panah dengan keterangan, pada waktu itu ia sering menyontohkan nama orang, nama-nama orang yang pernah dia tahu. Aneh memang menurutku saat itu.
Baiklah, kalau masih belum bisa menangkap apa maksudku, aku akan menyontohkan kata yang salah. Begini misalnya. Pedagang itu, orang itu, dan itu-itu yang lain. Langsung dengan nada kesal ia menyebutkan beberapa nama untuk menggantikan pedagang itu atau orang itu.
Baiklah kembali lagi kepada pikiran yang muter-muter dalam batok kepala. Tidak bisa disangkal memang. Dari banyak cerita, menulis itu sebegitu sulit. Berat. Menyebalkan. Tapi bagiku itu semua bohong belaka. Sudah sering pula aku menyerahkan buku catatanku untuk ditulisi. Buku itu aku serahkan kepada beberapa teman yang selalu mengeluh jika menyinggung kata menulis.
Aku mengintruksikan untuk menulis sesuai apa yang ia mau. Malahan aku sempat heran, apa benar tulisan yang ada di buku catatanku itu ia yang buat. Tulisannya bisa berlembar-lembar. Bahkan katanya masih banyak lagi yang belum sempat ia tuliskan. Bukankah itu aneh? Padahal ia sering mengeluh, untuk menuliskan satu kalimat saja membutuhkan waktu yang lama.
Kalau menggunakan komputer, biasanya tombol backspace sering ditekan daripada tombol yang bertuliskan alfabet. Kalau pun menulis di kertas, pandangannya melongo. Melihat sekitar seperti orang sedang linglung. Dan kertas itu, yang seharusnya hanya berisi tulisan, tampak seperti di-layout. Karena juga berhiaskan goresan-goresan yang tidak membentuk huruf.
Dari situ ada sebuah pelajaran yang sering luput dari kesadaran mereka. Sebenarnya sama seperti yang aku alami. Aku juga pernah bercerita itu kepada mereka. Kalau di saat menulis tiba-tiba buntu, tidak nyambung, atau bosen. Kalau aku, ya aku tulis aja apa yang ada di pikiranku. Entah itu kata, ”pikiranku tiba-tiba buntu. Tidak tahu lagi apa yang hendak aku tulis.” Atau juga,”aku sedang bosen. Masa aku disuruh menulis sampai larut malam seperti ini, sedang yang lainnya enak-enakan tidur. Memang kurang ajar redakturku itu. ingin rasanya tak cabik-cabik.” Begitu dan seterusnya.
Hingga rasa tiba-tiba buntu atau bosen itu hilang dengan sendirinya. Karena telah ikut ditumpahkan dalam tiulisan. Lalu kalau ingin lanjut menulis, ya langsung saja. Nanti tidak usah bingung bagaimana cara menyambungkannya dengan tulisan yang digagas di awal. Cukup tuliskan,” baiklah, aku telah kembali.” Atau, ”kembali pada pembicaraan semula.” Biarkan saja tulisan-tulisan yang berisikan tentang keluhan ’pikiran yang buntu’ atau ’pikiran yang bosen’ itu tetap ada.
Karena, pertama: kalau kita lihat tulisan yang sulit kita buat itu tadi, sudah lama nulis kok kelihatannya masih sedikit, kan bisa nampak lebih banyak jika diselinggi tulisan-tulisan tentang keluhan itu. Dan biasanya kalau tulisan nampak lumayan banyak, giroh untuk melanjutkannya itu akan segera muncul. Dan ada rasa senang tersendiri.
Kedua: paling tidak kalau tulisan itu dibaca redaktur atau siapa pun, mereka pasti akan tertawa. Mereka akan terhibur. Paling tidak dengan keluhan atau umpatan kepada redaktur tadi. Saat meng-edit mungkin ia akan sedikit marah bercampur geli. Tapi biarkan saja itu. Satu keyword-nya, keberanian! Aku belum melihat itu ada pada beberapa penulis pemula. Meraka kalah dengan rasa takutnya.
Untuk mengalahkan kebuntuan di kala tengah menulis. Akhirnya menulis terasa sulit. Ya, seperti yang aku bilang tadi. ”semua pikiran ingin tumpah ruah bersama saat kita mulai menulis.” Tapi itu tidak baik. Karena akan membingungkan kita.
Rasanya tidak ada lagi yang ingin aku sampaikan. Hanya saja coba lakukan. jangan terpancing ikut-ikutan gaya penulisan yang aneh-aneh. Cukup gunakan bahasamu sendiri saja. Karena memikirkan untuk memilih kata-kata yang mendayu-dayu sendiri akan menguras pikiran. Dan menyita waktu untuk menulis. Yang paling mendasar adalah esensi yang ingin kita sampaikan itu mengena kepada pembaca. Bukankah sesederhana itu! Ke tahapan berikutnya.
Kalau ingin menambah perbendaharaan kata, maka keyword-nya adalah membaca. Bisa membaca komik, cerpen, atau novel. Biasanya dari bacaan-bacaan itu ada kata-kata yang bisa kita tiru. Lalu kita kembangkan. Katanya proses untuk menjadi ahli itu ada tiga tahapan. Untuk mudahnya diingat, biasa disebut ATM. Amati, Tiru, Modivikasi.
Dari membaca, banyak yang akan kita gali. Tapi ada formula sederhana jika ingin menjadi penulis. Menulislah dulu dengan bahasamu, untuk menulis sederhana. Lalu membacalah untuk menulis dengan menggunakan gaya bahasa atau istilah yang lebaih. Yang saya sesalkan, tulisan ini hanya akan menjadi bahan bacaan saja. Setelah itu tidak diaplikasikan. Dan akhirnya tidak berguna.
Aku sadar, sorang pembaca berhak datang dan pergi seperti apa yang ia mau untuk sebuah tulisan. Tanpa ada kehendak memaksa dari penulis kepada pembaca melakukan apa yang ada dalam tulisan. Namun tak ada yang aku sesalkan. Dengan menulis, bagiku ada kebanggan tersendiri yang itu lebih dari segala-galanya.
Dan itu hanya bisa dirasakan oleh seorang penulis saja. Utamanya penulis yang telah merampungkan tulisannya. Rasa lelah, otot kaku semua terbayar tuntas. Kalau kata Sujewo Tedjo, jadilah Easy going, menganggap enteng segala sesuatu, adalah petruk. Juga selalu membantah, tapi bener, seperti bagong. Menyenangkan!
 
Copyright 2009 Nulisae ning kene
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere